Karnaval di kampung itu selalu ajaib. Ekonomi katanya seret, harga beras bikin pening, tapi begitu ada karnaval, warga langsung berubah jadi sultan dadakan. Kostum mewah, sound system bikin telinga bergetar, bahkan properti pawai yang kalau dijual mungkin bisa buat bayar listrik tiga bulan. Jikalau Emile Durkheim masih hidup, beliau mungkin tersenyum. Baginya, ini collective effervescence alias ekstase bareng-bareng "semua orang jadi lupa masalah, ikut tertawa, teriak, dan merasa kompak". Inilah solidaritas mekanis versi Durkheim, kebersamaan yang lahir dari sama-sama heboh di jalan. Masalahnya, setelah pesta bubar dompet tetap tipis, utang warung tetap ada, cicilan motor tetap nyengir. Karnaval kita jadinya mirip drama di “panggung depan” semua tampak kaya raya, di “belakang panggung” tetap rebutan promo minyak goreng. Ya begitulah, karnaval jadi obat sementara yang membuat bahagia, membuat lupa, meski hanya sebentar. Pertanyaannya, sampai kapan kita merayakan solidaritas dengan cara yang bikin perut ikut menjerit?
saat mereka menggunakan bedil, kita hanya berteguh pada keris. saat mereka menyiksa sampai mati rasa, yang kita punya hanya doa. kini, sejak 1945, kita merdeka. . H-1 Hari Pahlawan Indonesia
Indonesia adalah Negara Kesatuan, artinya kita beraneka ragam bukan satu ragam. Manusianya beragam, Rasnya beragam, Sukunya beragam, Kepercayaannya beragam, Pemikirannya beragam, namun satu landasan teori yang perlu kita satukan bersama: Ideologi Pancasila.
Presiden RI Joko Widodo menekankan komitmen pemerintah untuk terus mengawal tahapan pemilu agar berjalan dengan baik. Hal tersebut disampaikan oleh Presiden menanggapi pertanyaan mengenai putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait penundaan Pemilu. Selengkapnya dapat dibaca di sini: https://setkab.go.id/terkait-putusan-pn-jakpus-presiden-pemerintah-kawal-tahapan-pemilu-dengan-baik/
Abdimuda adalah sebuah komunitas bagi pegawai negeri muda di Indonesia yang berfokus pada membangun semangat dan memfasilitasi partisipasi aktif mereka dalam membangun masyarakat dan negara. Tujuan dari komunitas ini adalah untuk menjembatani para pegawai negeri muda agar bisa berkontribusi secara maksimal dan membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi selanjutnya. Komunitas ini memfokuskan pada pengembangan diri dan berkontribusi secara positif bagi masyarakat dan lingkungan.
Semua postingan telah ditampilkan
M. FAJAR DERMAWAN
@drmwnfjr
Karnaval di kampung itu selalu ajaib. Ekonomi katanya seret, harga beras bikin pening, tapi begitu ada karnaval, warga langsung berubah jadi sultan dadakan. Kostum mewah, sound system bikin telinga bergetar, bahkan properti pawai yang kalau dijual mungkin bisa buat bayar listrik tiga bulan. Jikalau Emile Durkheim masih hidup, beliau mungkin tersenyum. Baginya, ini collective effervescence alias ekstase bareng-bareng "semua orang jadi lupa masalah, ikut tertawa, teriak, dan merasa kompak". Inilah solidaritas mekanis versi Durkheim, kebersamaan yang lahir dari sama-sama heboh di jalan. Masalahnya, setelah pesta bubar dompet tetap tipis, utang warung tetap ada, cicilan motor tetap nyengir. Karnaval kita jadinya mirip drama di “panggung depan” semua tampak kaya raya, di “belakang panggung” tetap rebutan promo minyak goreng. Ya begitulah, karnaval jadi obat sementara yang membuat bahagia, membuat lupa, meski hanya sebentar. Pertanyaannya, sampai kapan kita merayakan solidaritas dengan cara yang bikin perut ikut menjerit?