"ASN biasa dengan keahlian seni mengelola yang tak terucap. Spesifikasi khusus menerjemahkan kebisingan dunia menjadi sinyal yang bermakna."
Karnaval di kampung itu selalu ajaib. Ekonomi katanya seret, harga beras bikin pening, tapi begitu ada karnaval, warga langsung berubah jadi sultan dadakan. Kostum mewah, sound system bikin telinga bergetar, bahkan properti pawai yang kalau dijual mungkin bisa buat bayar listrik tiga bulan. Jikalau Emile Durkheim masih hidup, beliau mungkin tersenyum. Baginya, ini collective effervescence alias ekstase bareng-bareng "semua orang jadi lupa masalah, ikut tertawa, teriak, dan merasa kompak". Inilah solidaritas mekanis versi Durkheim, kebersamaan yang lahir dari sama-sama heboh di jalan. Masalahnya, setelah pesta bubar dompet tetap tipis, utang warung tetap ada, cicilan motor tetap nyengir. Karnaval kita jadinya mirip drama di “panggung depan” semua tampak kaya raya, di “belakang panggung” tetap rebutan promo minyak goreng. Ya begitulah, karnaval jadi obat sementara yang membuat bahagia, membuat lupa, meski hanya sebentar. Pertanyaannya, sampai kapan kita merayakan solidaritas dengan cara yang bikin perut ikut menjerit?
M. FAJAR DERMAWAN
@drmwnfjr
Karnaval di kampung itu selalu ajaib. Ekonomi katanya seret, harga beras bikin pening, tapi begitu ada karnaval, warga langsung berubah jadi sultan dadakan. Kostum mewah, sound system bikin telinga bergetar, bahkan properti pawai yang kalau dijual mungkin bisa buat bayar listrik tiga bulan. Jikalau Emile Durkheim masih hidup, beliau mungkin tersenyum. Baginya, ini collective effervescence alias ekstase bareng-bareng "semua orang jadi lupa masalah, ikut tertawa, teriak, dan merasa kompak". Inilah solidaritas mekanis versi Durkheim, kebersamaan yang lahir dari sama-sama heboh di jalan. Masalahnya, setelah pesta bubar dompet tetap tipis, utang warung tetap ada, cicilan motor tetap nyengir. Karnaval kita jadinya mirip drama di “panggung depan” semua tampak kaya raya, di “belakang panggung” tetap rebutan promo minyak goreng. Ya begitulah, karnaval jadi obat sementara yang membuat bahagia, membuat lupa, meski hanya sebentar. Pertanyaannya, sampai kapan kita merayakan solidaritas dengan cara yang bikin perut ikut menjerit?