Bangsa Indonesia sedang memasuki fase yang tidak mudah, ditandai dengan aneka problematika yang harus dihadapi bersama, ketika memasuki trimester I Tahun 2025 ini. Sungguh tidak mudah, tantangan seperti perlambatan ekonomi dan belum tercapainya target 8% yang dicanangkan Presiden RI era 2024 - 2029, yang tak lain adalah Presiden kedelapan Prabowo Subianto. Lalu ditambah pula maraknya temuan kasus korupsi terutama klasifikasi "liga korupsi" yang melibatkan Pertamina ini cukup membuat miris. Bagaimana tidak? Karena Pertamina adalah salah satu badan usaha plat merah yang mengurusi hajat hidup lebih dari 280 juta rakyat Indonesia yang esensial, yakni bahan bakar minyak dan energi gas. Tidak cukup sampai disitu, masifnya tindakan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang terjadi di pelbagai wilayah di Republik Indonesia juga membuat Kementerian Tenaga Kerja bersama dinas daerah terkait harus pusing tujuh keliling. Mereka harus bermanuver memutar trik dan strategi penyerapan tenaga kerja demi pertumbuhan ekonomi serta stabilitas moneter yang harus terjaga. Demonstrasi digulirkan pada beberapa kota besar di Indonesia, kerap digaungkan civitas academica dan masyarakat sipil terkait pengesahan RUU TNI yang sudah disahkan menjadi UU TNI. Nah, ada satu lagi rencana yang akan dibahas oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), yakni revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri. RUU Polri yang merupakan manifestasi rencana amandemen terhadap UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang juga harus dikawal dan dicermati secara lebih presisi. Memang, seperti dirilis Kantor Berita Antara, hingga Selasa, 25 Maret 2025, DPR belum menerima Surpres (Surat Presiden) RI terkait pembahasan RUU Polri di DPR. Namun, draf RUU Polri sudah banyak beredar didistribusikan pada berbagai platform media daring. Terlebih lagi, Presiden Prabowo diinformasikan sudah sempat menerbitkan Surpres Revisi RUU Polri (Kompas.com, 20 Februari 2025), namun DPR "mengaku" belum menerima surpres tersebut.
Oleh karena itu, publik tetap harus peduli dan antisipatif tentang apa dan bagaimana bilamana RUU Polri tersebut jadi dibahas atau bahkan disahkan di DPR. Publik harus ikut mengawasi, karena sedikit banyak, undang-undang tersebut akan berimplikasi pada sendi kehidupan khalayak luas. Belakangan, institusi Polri adalah salah satu instansi pemerintah di Republik Indonesia yang sering kali disorot masyarakat. Secara riil, bukan isapan jempol atau dongeng belaka, bahwa terjadi praktik penyalahgunaan wewenang dan kuasa, penyalahgunaan narkotika, maladministrasi serta arogansi oknum aparat merupakan diskursus yang tidak dapat ditutup-tutupi pada tatanan realitas bangsa dan negara kita. Kita bisa mulai dari hal mikro yang sangat mungkin bersinggungan dengan rutinitas keseharian publik, yakni pada transportasi dan lalu lintas jalan.
Ya, kita sama-sama tahu bahwa dalam Pasal 14 ayat 1 huruf a pada UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa salah satu tugas Polri adalah melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan. Namun, apa betul bahwa bunyi pasal ini sudah berjalan pada koridor peraturan perundangan yang berlaku?Padahal, salah satu poin krusial pada Pasal 14 UU Tahun 2002 -terkait petunjuk teknis pengawalan- informasinya ikut dijadikan bahan amandemen untuk revisi RUU Polri yang bakalan digodok oleh kalangan legislator Senayan.
Kita pasti tidak jarang berada dalam kepadatan atau kongesti lalu lintas. Lalu, tanpa didasari argumen dan alasan yang kuat, sekonyong-konyong muncul motor besar patroli lalu lintas yang "bertugas" mengawal mobil tertentu dilengkapi dengan lampu strobo dengan sirine berbunyi "tat tet tot" yang meminta privilese pada jalan yang sungguh macet nan padat.
Jika tidak diatur dengan ketat dan jelas, revisi RUU Polri terkhusus dalam teknis pengawalan di lapangan ini akan menimbulkan "keributan" dan potensi konflik horizontal "baru" antara aparat vis a vis masyarakat di lapangan. Mengapa demikian?
Sebab, secara empiris, lazim terjadi adu urat syaraf atau potensi friksi (gesekan) yang tak terhindarkan harus terjadi akibat fakta kasuistik seperti ini. Tidak semua pemakai jalan sudi menerima lantas memberikan jalan, bahkan ada yang bersikukuh tak memberikan akses jalan yang akan menaikkan eskalasi emosi dan temperamen antar manusia dalam kepadatan berlalu lintas. Ya, rasa-rasanya dapat dimaklumi, karena masyarakat juga merasa sebagai pengguna dan "pemilik saham" jalan raya, mengingat mereka adalah pembayar pajak kendaraan aktif tiap tahun. Disinilah prinsip egaliter atau asas kesetaraan harus diutamakan, sebab menyangkut jutaan pengguna lalu lintas jalan yang wajib mengedepankan norma keadilan.
Bagi mereka yang melek undang-undang, bahwa Pasal 134 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU Nomor 22 Tahun 2009 sudah cukup gamblang dan jelas menuturkan tentang siapa yang diberikan hak lebih pada konstitusi lalu lintas. Secara garis besar, ada lima kalangan yang memperoleh privilese dalam lalu lintas kita. Yakni, armada pemadam kebakaran, ambulans, pejabat/tamu negara, iring-iringan jenazah dan konvoi "kepentingan tertentu". Nah, bagi para oknum jangan coba-coba berkilah berlindung di balik terminologi "kepentingan tertentu" pada Pasal 134 huruf g UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ.
Pada bagian penjelasan, sudah diperinci bahwa terminologi "kepentingan tertentu" adalah untuk armada kendaraan yang menangani huru-hara, bom waktu dan bencana alam yang memerlukan penanganan segera. Jadi terminologi "kepentingan tertentu" tidak bisa ditafsirkan lain oleh oknum tertentu atau diartikan berbeda dari penjelasan UU diatas, karena sudah diatur dengan ketat. Tentu saja, UU (Undang-Undang) adalah produk atau regulasi hukum berkasta tinggi yang dijadikan acuan yuridis dalam berbangsa dan bernegara. Dengan penjelasan dan implementasi UU Nomor 22 Tahun 2009 eksisting tentang LLAJ ini saja, masyarakat dan pemerintah sudah harus berjibaku di lapangan dalam penegakannya. Khususnya dalam pengaturan konstelasi berlalu lintas.
Kita sebagai anak bangsa berharap tidak ada aturan yang tumpang tindih dan saling berlawanan (in contrario) dalam mekanisme pelaksanaannya. Dalam mewujudkan Asta Cita Presiden RI era 2024 - 2029 saja, masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dituntaskan bangsa ini. Mewujudkan dan menggapai Asta Cita adalah jauh lebih baik dan mulia dibandingkan memunculkan friksi dan riak-riak masalah baru.
Akhir kata "Vox Populi Vox Dei" masih relevan hingga kini, bahwa "Suara Rakyat adalah Suara Tuhan". Seperti dengan sangat lantang pernah disuarakan cendekiawan asal York, Inggris bernama Alcuin (732 - 804 M).
Sumber Referensi :
•https://peraturan.bpk.go.id (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan)
•http://www.quotationspage.com (The Quotations Page of Alcuin, Anglo-Saxon)
•https://www.antaranews.com/berita/4735389/puan-tegaskan-dpr-belum-terima-surpres-ruu-polri (Kantor Berita Antara)
•https://nasional.kompas.com/read/2025/02/20/16120581/prabowo-dikabarkan-terbitkan-surpres-revisi-uu-polri-dpr-mengaku-belum