Akhir-akhir ini tuntutan alih status PPPK menjadi PNS menjadi topik hangat dalam diskursus birokrasi Indonesia. Dasarnya jelas mereka hadir sebagai solusi cepat untuk mengisi kebutuhan tenaga profesional, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Banyak yang telah bertahun-tahun mengabdi sebelum akhirnya memperoleh legalitas sebagai ASN melalui skema PPPK. Tak sedikit yang kemudian menuntut pengakuan yang sama dengan PNS mulai dari gaji, tunjangan, pensiun, jalur karier bahkan kontrak kerja hingga BUP. Sekilas, tuntutan ini terdengar wajar sebagaimana sifat dasar manusia dalam menjamin masa depan yang lebih baik. Namun, jika dicermati lebih dalam sebagian tuntutan PPPK mulai bergeser dari ranah rasional ke arah tuntutan emosional yang berlebihan. Narasi bahwa “kami sudah lama mengabdi”, "beban kerjanya sama nasibnya berbeda", "kami butuh kepastian" sering dijadikan argumen utama seolah pengabdian dan pengorbanan yang panjang tersebut otomatis menjadi tiket emas untuk memperoleh seluruh hak struktural seperti PNS tanpa mempertimbangkan design awal bagaimana PPPK dibentuk.
Baca : Sudah Lama Mengabdi, Dosen PPPK Politeknik Negeri Madiun Tuntut Jadi PNS
Dalam sistem kepegawaian Indonesia terdapat batas tegas posisi PNS dan PPPK melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. PNS memiliki kedudukan sebagai pejabat negara dengan jalur karier yang terstruktur dan jaminan stabilitas jabatan. Ini selaras dengan model birokrasi rasional-legal yang mana jenjang karier, promosi dan rotasi jabatan harus ditentukan oleh prosedur formal melalui sistem merit (Weber, 1921). Sementara itu, PPPK berada dalam skema kontrak kerja profesional dengan orientasi pada fleksibilitas penugasan bukan karier jangka panjang. Masalahnya mendasar muncul ketika banyak PPPK yang menginginkan pengakuan setara PNS namun enggan menempuh jalur yang memang disediakan seleksi PNS terbuka setiap tahun. Negara tidak menutup pintu, PPPK tetap dapat ikut seleksi CPNS setiap periode rekrutmen resmi. Namun, alih-alih berjuang melalui mekanisme yang kompetitif banyak yang justru memilih jalur lobi, empati dan tekanan publik. Narasi “kami butuh dibantu” lebih sering digaungkan daripada menunjukkan kesiapan bersaing dalam sistem meritokrasi.
Baca : Jangan Sedih Jika Gagal Seleksi CPNS 2024, Bisa Daftar PPPK Tahap 2
Tuntutan untuk menyetarakan PPPK dengan PNS secara penuh sesungguhnya tidak lahir dalam ruang yang netral. Dalam praktik kebijakan publik di Indonesia dinamika tersebut seringkali merupakan hasil dari tekanan politik yang memanfaatkan celah regulasi yang tidak sepenuhnya rapat. Dalam konteks ini tekanan politik coba dimanfaatkan untuk mendorong narasi kesetaraan. Ruang untuk menyampaikan aspirasi adalah hak konstitusional yang dijamin sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Namun, dalam kajian hukum tata negara dan kebijakan publik, hak menyampaikan pendapat tidak identik dengan kebenaran substansial dari isi tuntutan tersebut. Dalam teori tindakan komunikatif menjelaskan bahwa klaim normatif harus diuji melalui rasionalitas diskursif, bukan semata-mata kekuatan jumlah atau tekanan politik (Habermas, 1995). Dengan demikian, meskipun tuntutan PPPK didukung oleh mobilisasi kolektif dan tekanan politis yang cukup kuat, hal tersebut tidak serta-merta menjadikannya benar secara hukum maupun tepat secara kebijakan.
Gelombang tuntutan PPPK untuk dinaikkan statusnya menjadi PNS melalui Keputusan Presiden belakangan ini semakin nyaring terdengar. Desakan itu datang dari berbagai kelompok PPPK di sejumlah daerah, lengkap dengan aksi kolektif dan tekanan politik. Tuntutan tersebut tampak sederhana bahwa mereka ingin pengakuan dan penyetaraan status kepegawaian tanpa melalui mekanisme seleksi ulang. Namun di balik tuntutan itu, tersimpan persoalan besar yang menyentuh inti tata kelola birokrasi dan semangat meritokrasi yang sedang dibangun di Indonesia.
Sistem kepegawaian Indonesia pascareformasi lahir dari koreksi terhadap praktik birokrasi patrimonial yang berlangsung puluhan tahun. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara secara tegas membedakan dua status ASN yaitu PNS dan PPPK. PNS adalah pegawai tetap negara yang direkrut melalui seleksi nasional yang kompetitif, memiliki jenjang karier jangka panjang, dan memperoleh hak pensiun. Sementara itu, PPPK diangkat dengan perjanjian kerja dalam jangka waktu tertentu tanpa hak pensiun dan dengan mekanisme pengangkatan yang berbeda. Dalam sistem hukum Indonesia, perubahan status ASN tidak bisa dilakukan hanya melalui KEPPRES. KEPPRES adalah instrumen administratif presiden bukan alat legislasi untuk mengubah status hukum kepegawaian yang telah ditetapkan melalui undang-undang. Dengan demikian, usulan untuk mengangkat PPPK menjadi PNS melalui KEPPRES tidak memiliki dasar hukum yang sah dan berpotensi bertentangan dengan prinsip negara hukum.
Lebih jauh dari sekadar soal legalitas, tuntutan tersebut menyentuh jantung reformasi birokrasi yaitu prinsip meritokrasi. Seluruh desain sistem ASN Indonesia dibangun berdasarkan merit system yakni pengangkatan pegawai berdasarkan kualifikasi, kompetensi dan kinerja bukan tekanan politik atau masa kerja semata. Jika status PPPK dapat dinaikkan menjadi PNS tanpa proses seleksi ulang, maka prinsip ini runtuh. Hal itu akan membuka ruang perlakuan istimewa terhadap satu kelompok ASN hanya karena jumlahnya besar dan tekanannya kuat. Ini bukan sekadar langkah administratif, tetapi kemunduran besar dalam upaya membangun birokrasi yang profesional dan adil. Butuh waktu panjang untuk membangun sistem seleksi terbuka yang kredibel namun sistem tersebut bisa tergerus hanya oleh satu keputusan politis yang keliru.
Tuntutan PPPK ini juga tidak bisa dilepaskan dari konteks politik elektoral. Jumlah PPPK yang sangat besar dan tersebar secara nasional menjadikannya kelompok tekanan yang potensial. Dalam suasana politik yang sensitif, tuntutan semacam ini dapat menjadi alat mobilisasi elektoral. Pemerintah, terutama di tahun-tahun politik sangat rentan tergoda untuk mengambil langkah populis demi meredam tekanan atau memperoleh simpati politik. Padahal, Pasal 9 UU ASN dengan jelas menegaskan netralitas ASN dari pengaruh politik. Jika tekanan ini dituruti tanpa dasar hukum yang jelas birokrasi berisiko kembali menjadi arena transaksi politik. Bukan tidak mungkin, pengangkatan PPPK menjadi PNS melalui jalur politis akan menjadi pintu masuk kembalinya birokrasi partisan sesuatu yang telah berusaha diakhiri melalui reformasi ASN.
Dari sisi tata kelola pemerintahan, memberikan pengecualian kepada PPPK akan menciptakan preseden buruk. Jika satu kelompok berhasil menembus sistem dengan tekanan politik maka kelompok lain akan terdorong melakukan hal serupa. Efek bola salju ini dapat merusak konsistensi kebijakan kepegawaian negara. Lebih jauh lagi, perubahan status PPPK menjadi PNS secara massal akan berdampak besar pada fiskal negara. PNS memiliki hak pensiun dan jaminan kepegawaian permanen, sementara PPPK tidak. Perubahan status secara mendadak tanpa perencanaan akan membebani APBN dan mengacaukan formasi kepegawaian yang telah dirancang. Akibatnya, negara menghadapi konsekuensi fiskal jangka panjang yang tidak kecil.
Menolak tuntutan PPPK bukan berarti menutup mata terhadap aspirasi mereka. Ada jalan tengah yang lebih elegan dan konstitusional. Pemerintah dapat menyediakan jalur seleksi khusus yang tetap berbasis kompetensi dan kinerja bagi PPPK yang ingin menjadi PNS. Dengan begitu, prinsip merit tetap dijaga sementara kesempatan bagi PPPK berprestasi tetap terbuka. Alternatif lain adalah memperkuat sistem jaminan sosial PPPK agar kesenjangan dengan PNS tidak terlalu tajam. Reformasi kepegawaian tidak selalu harus berbentuk penyetaraan status ia bisa hadir dalam bentuk peningkatan kualitas perlindungan dan kepastian kerja yang adil, tanpa harus merusak struktur hukum yang ada.
Reformasi ASN lahir bukan untuk mempersulit tetapi untuk memperbaiki. Ia merupakan hasil koreksi panjang terhadap birokrasi yang dulu sarat patronase dan intervensi politik. Karena itu, menghadapi tekanan populis seperti ini pemerintah perlu berdiri tegak pada prinsip. Meritokrasi tidak boleh dikorbankan demi kompromi politik jangka pendek. Negara hukum harus berdiri di atas aturan bukan di atas tekanan. Justru pada saat inilah konsistensi pemerintah dalam menegakkan prinsip-prinsip tata kelola ASN diuji. Jalan pintas mungkin menggoda secara politik, tetapi hanya akan meninggalkan lubang besar dalam fondasi birokrasi kita.