Menentukan apakah korupsi hanya milik para koruptor atau juga menjadi bagian dari kita semua bukanlah hal yang sederhana. Sama sulitnya dengan menilai apakah korupsi itu lebih tepat disebut sebaga masalah struktural, sifat pribadi atau kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat. Korupsi sifatnya begitu cair, seperti serbuk yang tersebar rata atau asap tipis yang tidak terlihat, sehingga sulit disimpulkan apakah ia hanya perilaku menyimpang segelintir orang atau sebenarnya sudah menjadi bagian dari budaya yang mengakar dalam kehidupan masyarakat kita. Korupsi mungkin bukan hanya soal budaya, tapi bisa jadi sudah menjadi bagian dari peradaban kita. Apalagi jika kita sepakat bahwa korupsi materi bukanlah inti persoalan, melainkan hanya salah satu hasil kecil dari “jiwa korupsi” itu sendiri.
Jiwa korupsi bisa muncul dalam banyak bentuk termasuk perilaku, pola pikir, cara pandang, cara memahami sesuatu, cara merasakan, bahkan dalam cara kita memahami dan menjalankan iman. Pertanyaan yang terus muncul adalah di dalam diri manusia yang paling dalam, sebenarnya korupsi itu apa? Apakah ia masalah mental, masalah ilmu, masalah akhlak, masalah iman, atau sesuatu yang lain? Kalau korupsi sudah sampai pada tingkat yang begitu rumit, maka ketika kita berteriak lantang “Wahai para koruptor!” itu tidak otomatis berarti kita sendiri bersih dari korupsi. Kekhusyukan seseorang dalam beribadah, kedudukannya yang terhormat dalam kegiatan keagamaan atau citra bersihnya di mata publik juga tidak otomatis menjamin ia bebas dari lingkaran dan sistem korupsi. Bahkan kita yang bertugas memberantas korupsi pun harus selalu waspada agar setiap langkah kita benar-benar terbebas dari peluang untuk ikut korup. Terlebih lagi, ada banyak batasan baik dari dalam diri maupun dari luar yang kadang membuat tindakan kita terlihat sebagai “tebang pilih” di mata orang lain.
Dalam diskursus kebudayaan, kita terbiasa membedakan antara upaya manusia dalam mengelola “dunia luar” dan “dunia dalam”. Upaya pertama disebut sebagai teknologi eksternal sebagai rangkaian pengetahuan, riset, dan inovasi yang bertujuan mengubah lingkungan eksternal agar kehidupan menjadi lebih maju dan muda. Namun, di sisi lain terdapat apa yang bisa disebut sebagai teknologi internal. Berbeda dengan teknologi eksternal, teknologi internal berfokus pada pengolahan diri manusia sendiri seperti mental, emosi, bahkan cara pandang subyektif. Pada titik ini, kemudahan hidup tidak ditentukan oleh kecanggihan alat, melainkan oleh bagaimana seseorang memberi makna pada hidupnya. Dalam budaya masyarakat kita terdapat sikap menerima keadaan yang rumit atau tak terpecahkan, tanpa harus menanggung beban pikiran berlarut-larut. Ungkapan seperti "Tuhan tidak tidur" menjadi semacam teknologi internal untuk menjawab penderitaan akibat kemiskinan struktural. Masyarakat tidak selalu bertindak berdasarkan kalkulasi rasional ekonomi atau politik, melainkan melalui makna yang dibentuk oleh simbol-simbol budaya dan religius. Gaji yang tak cukup tetapi cicilan kendaraan tetap jalan, ketiadaan pekerjaan namun rutinitas merokok sambil bermain catur terus berlanjut, bahkan kebutuhan pokok dijalani dengan bekal satu kata sederhana "bismillah" atau "Tuhan Maha Baik".
Barangkali Jerome Powell, Bambang Brodjonegoro hingga ekonom partikelir alumni Universitas Airlangga Danu Prayuda akan bingung bagaimana bangsa sebesar Indonesia bisa tetap hidup seakan-akan makanan pokoknya adalah bismillah. Tetapi di balik kata itu tersimpan kelenturan budaya yang membuat rakyat bertahan, sekaligus membuka ruang kompromi dalam menghadapi berbagai ketidakadilan struktural. Rakyat Indonesia biasanya ribut sebentar tiap BBM naik atau aset negara dijual lalu setelah sebulan-dua bulan, semuanya reda dengan mantra klasik “Tuhan tidak tidur”. Hidup pun berjalan lagi asal dapur ngebul tak peduli presidennya Jenderal Aladeen, King T'Chala atau Buto Ijo sekalipun. Sesekali kita berkhayal ingin pemimpin bersih nan negarawan, tapi kalau fajar datang bawa amplop Rp200 ribu, ya khayalan itu langsung diskon besar-besaran. Beginilah bangsa yang konon religius dan tangguh tahan banting pada penderitaan, tapi luar biasa murah hati pada kebobrokan.
(Berita: Serangan fajar yang tak sesuai harapan)
Korupsi di negeri ini bukan sekadar soal angka-angka yang raib dari laporan keuangan negara. Ia sudah menjelma menjadi korupsi multi-dimensi bukan hanya menggerogoti harta publik, tapi juga merampas makna, merusak moral, dan mempermainkan bahasa. Dari hasil korupsi, hidup jadi terasa “lebih mudah”. Apa saja bisa dibeli bahkan kadang lebih mewah dari orang-orang yang cari rezeki halal. Keluarga bangga karena dianggap sukses, pesantren dan masjid yang kita bantu menyebut kita dermawan, dan masyarakat pun percaya kita “orang baik” buktinya punya jabatan, banyak uang, dan rajin bersedekah. Reputasi pun seolah suci berkat pencitraan dari harta haram. Namun, di sudut kepala yang paling dalam, masih ada serpihan ingatan yang mengganggu kita bahwa juga kita korup, dan itu tak enak dirasakan, apalagi jika membayangkan harus bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Maka, sekadar bantu masjid tak cukup kita pun rajin berangkat umroh, seolah langsung menyetor permohonan maaf ke langit.
(Berita: Masjid dibangun dari sedekah hasil korupsi)
Sebenarnya, dalam hati kecil, kita pun sadar Tuhan mungkin tersinggung, karena kita seakan menuduh-Nya bisa disuap dengan ritual dan perjalanan suci yang dibayar dari uang haram. Tapi karena banyak teman dan pejabat lain juga melakukan hal yang sama, kita merasa lebih tenang. Toh, kalau dosa dilakukan bersama-sama dan dibungkus dengan simbol-simbol religius, rasanya jadi “lebih ringan”. Sering kita jumpai praktik korupsi kecil di sekitar kita kerap dianggap sepele, padahal wajahnya sangat beragam mulai dari manipulasi hasil survey kepuasan masyarakat, membayar joki untuk menyelesaikan skripsi, menyelipkan uang pelicin demi melancarkan administrasi, memakai jasa calo tiket, hingga ikut-ikutan menjarah barang dari truk yang terguling di jalan. Semua itu memang tampak “kecil” jika dibandingkan dengan kasus milyaran, tapi justru dari kebiasaan inilah kultur korupsi besar menemukan akar dan pembenarannya.
(Berita: Katrol nilai dan modus kecurangan PPDB)
Pada akhirnya, sudut pandang ini hanyalah pintu kecil untuk melihat kenyataan yang lebih besar bahwa kasus-kasus yang ditangkap KPK hanyalah percikan dari samudra peradaban korupsi kita. Sejak lama bangsa ini terseret dalam “teknologi internal” yang keliru hingga korupsi sudah dimulai bahkan sebelum menyentuh uang negara. Kita lebih dulu merusak iman, meremehkan ilmu, menyelewengkan cara berpikir dan membiarkan hati serta perilaku kita terbiasa dengan kepalsuan dari hal-hal remeh dalam keseharian hingga keputusan di tingkat negara.
Dan tulisan ini bukan tuduhan, hanya alarm kecil. Karena barangkali kunci kehancuran kita bukan di krisis ekonomi, bukan pula di runtuhnya politik, tapi di hal paling sepele bahwa kita malas bersungguh-sungguh. Bayangkan, kalau mengucap “bekerja” yang kita lakukan malah “mengakali” berucap “melayani” artinya “mencari celah” dan berucap “ibadah” maksudnya “pencitraan” ya jangan salahkan siapa-siapa kalau bangsa ini pelan-pelan mati karena terlalu gemar berpura-pura.