ASN Pusat dalam Dilema Keluarga dan Kesiapan Profesional

Gambar sampul ASN Pusat dalam Dilema Keluarga dan Kesiapan Profesional

"...saya berasal dari institusi X dan saya berharap tidak dipindahkan ke IKN."

Pernyataan tersebut keluar dari seorang ASN suatu instansi pada forum yang saya hadiri beberapa waktu lalu. Sebuah pernyataan sederhana yang menggambarkan suasana batin para Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di Kementerian/Lembaga yang berkantor di ibukota menyikapi hadirnya Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Lantas bagaimana sejatinya dilema yang terjadi?

Bersedia Ditempatkan di Mana Saja

Ihwal dengan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara memang menjadi pembahasan bisik-bisik di kalangan ASN Pusat sejak pertama kali diumumkan. Seiring dengan proses pembangunan yang terjadi, maka pembahasan bisik-bisik tadi menjadi diskursus yang serius dan semakin menuju kenyataan.

Bagi pegawai instansi tertentu yang memang sudah identik dengan mutasi seperti para Aparat Penegak Hukum maupun instansi seperti Kementerian Keuangan, BPK, atau BPKP tentu nuansanya berbeda dengan kenalan saya tadi--yang mungkin sejak bergabung ke instansinya tidak ada pikiran sama sekali untuk berpindah kota dan memulai kehidupan baru. Faktanya mutasi pindah kota secara rutin memang tidak dilakukan oleh seluruh instansi. Tidak heran jika 55% responden pada penelitian Savitri et al. (2023) memiliki sentimen negatif pada IKN.

Pada dasarnya, sejalan dengan penelitian Irawanto et al. (2023), kita semua berada dalam satu kesepakatan bahwa seluruh ASN paham bahwa ada persetujuan untuk bersedia ditempatkan di mana saja. Dalam penelitian tersebut juga disebutkan bahwa sejatinya banyak juga ASN yang merasa enek dengan kehidupan di Jakarta, khususnya pada kemacetan, banjir, hingga polusi. Pada perspektif ini, IKN menjadi harapan untuk memulai hidup yang baru.

Dilema Keluarga

Baik Savitri et al. (2023) dan Irawanto et al. (2023) sama-sama menggarisbawahi soal keluarga sebagai faktor yang menjadi pertimbangan ASN Pusat untuk berpindah ke IKN. Isu yang sama juga ditangkap dalam penelitian Nugroho dan Hakim (2023) dengan menyebut bahwa ASN yang telah berkeluarga mempertimbangkan pendidikan dan kesehatan sebagai dua faktor kunci.

Isu pendidikan bagi anak jelas menjadi bahan pemikiran, terlebih ketika melihat pemberitaan bahwa sekolah-sekolah yang sudah groundbreaking di IKN adalah sekolah internasional yang kemungkinan harga uang sekolahnya tidak umbi-umbian friendly. Dalam hal isu kesehatan, ketersediaan Rumah Sakit juga menjadi isu penting dan telah terjawab bahwa akan ada 1 RS Pemerintah dan 3 RS Swasta terkemuka yang tengah dibangun di IKN. Ketika 3 RS Swasta tersebut mungkin tidak umbi-umbian friendly ongkosnya, sekurang-kurangnya masih ada 1 RS Pemerintah sebagai pilihan tunggal.

Irawanto et al. (2023) menyebut bahwa faktor pasangan memainkan peran yang sangat penting pada penyesuaian penugasan ASN. Sementara itu dalam penelitian Savitri et al. (2023) dari 42% ASN yang tidak siap direlokasi, proporsi terbesarnya adalah terkait dengan pekerjaan pasangan.

Soal pekerjaan pasangan ini tentu perlu menjadi perhatian karena urusannya adalah ekonomi. Perlu diingat bahwa seperti direkap oleh Katadata dari BPS bahwa masalah ekonomi adalah penyebab perceraian terbanyak kedua pada tahun 2022 dan 2023 setelah perselisihan/pertengkaran. Itu juga jangan-jangan perselisihan atau pertengkarannya karena faktor ekonomi. Jangan lupa pula bahwa dalam webinar viral “Perselingkuhan ASN: Cinta Terlarang, Masalah Menghadang” setahun lalu, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menyebut bahwa tren perceraian ASN cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Mungkin memang perlu kajian lebih lanjut untuk proporsinya, namun secara umum kombinasi pernikahan ASN-Swasta adalah suatu kelaziman. Beratnya ongkos hidup di Jakarta serta sekitarnya plus tuntutan sandwich generation dan lain-lain menyebabkan rumah tangga perlu ditunjang oleh dua sumber pemasukan.

Bukan hal aneh ketika ada ASN Pria, Jabatan Fungsional Ahli Muda, golongan III/d, nyambi jadi Pejabat Pembuat Komitmen dengan honor hanya 60% tapi beban 200%, dan ketiban nasib jadi Ketua Tim Kerja, yang memiliki istri pekerja swasta seorang Kepala Departemen bergaji jauh lebih tinggi darinya. Dengan tuntutan cicilan rumah dan lain-lain, adalah suatu hal terbilang mustahil bagi sang istri untuk resign guna mengikuti suami pindah ke IKN. Malah dalam diskusi rumah tangga ini lebih pas kalau suaminya saja yang resign~

Demikian pula kemarin saya ngobrol dengan seorang ibu dari instansi yang termasuk di daftar kepindahan awal ke IKN. Agak sulit baginya untuk memaksa suaminya yang adalah pekerja swasta untuk resign dari pekerjaan saat ini untuk membersamainya ke IKN karena belum ada jaminan untuk memperoleh pekerjaan dan gaji yang kurang lebih setara di sana.

Pentingnya Keterbukaan Informasi

Data BKN perihal Statistik Lokasi Kerja ASN yang ada di portal Satu Data ASN menyebut bahwa ASN pada instansi pusat di Jakarta itu jumlahnya 'hanya' 197.306 orang. Dibandingkan jumlah PNS secara nasional yang 3,7 juta dan PPPK yang 700-an ribu tentu angka 197 ribuan adalah kecil. Maka menjadi wajar pula ketika suasana kebatinan para ASN tersebut tidak mengemuka menjadi isu yang perlu dikedepankan.

Hal itu pula yang ditangkap dalam penelitian Nugroho dan Hakim (2023) yang menyebut bahwa formulasi kebijakan pemindahan ASN ke IKN tidak dilakukan dengan pendalaman yang memadai serta hanya berdasarkan pada data dan informasi berupa angka dan statistik.

Irawanto et al. (2023) menambahkan bahwa secara umum keluarga sebenarnya ikut mencari informasi perihal fasilitas yang memadai di IKN namun informasi yang tersedia tidak jauh-jauh dari pembangunan istana dan titik-titik di sekitarnya. Penyampaian informasi selama ini tidak cukup terbuka sehingga aliran informasi menjadi liar karena terjadi kelimpahan informasi, termasuk yang ada di media sosial, dapat berdampak pada keluarga.

Penelitian Savitri et al. (2023) bahkan lebih terang-benderang memperlihatkan permasalahan tentang informasi karena sumber informasi utama soal relokasi IKN justru dari media daring (76%), bukan dari sosialisasi institusi terkait. Sebanyak 58% responden pada penelitian tersebut tidak mengetahui kebijakan relokasi institusinya dan bahkan 85% tidak mengetahui kebijakan relokasi pegawai yang akan dilakukan di institusinya.

Minimnya informasi tersebut nyata mempengaruhi kesiapan dari ASN pada hadirnya IKN. Hal yang terbayang mungkin malah seperti di Abuja ketika ASN junior tinggal di bagian 'desa' dari ibukota Nigeria tersebut yang ujung-ujungnya seperti Bodetabek untuk Jakarta dengan kepadatan dan kemacetan kaum pekerja setiap harinya.

Akan Banyak PJKA?

Dengan demografi terkini saja, cukup banyak ASN yang hidup terpisah dengan keluarganya melalui skema Pulang Jumat Kembali Ahad (PJKA). Bukan hal asing melihat ASN yang pada Jumat sore sudah nangkring di Stasiun Senen guna pulang ke rumah keluarganya di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, atau bahkan Jawa Timur. Orang-orang yang sama akan kembali memadati stasiun pada Minggu malam untuk pergi ke arah Jakarta.

Ada pula PJKA lain yang naik pesawat. Kita tentu harus mengingat kembali kisah sedih 30 orang ASN yang ada di dalam pesawat Lion Air JT-610 beberapa tahun lalu. Mayoritas adalah ASN yang memang rutin PJKA karena keluarganya di sekitar Jakarta tetapi penempatan mereka di Pangkalpinang.

Kepindahan ke IKN memungkinkan meningkatnya jumlah ASN PJKA. Kisahnya boleh jadi akan mirip dengan yang disebut oleh Nicholas Farrelly dalam buku Routledge Handbook of Contemporary Myanmar bahwa banyak ASN di Myanmar yang masih meninggalkan keluarga di Yangon dan memadati bus dari Naypyitaw ke Yangon di Jumat sore.

Pemberdayaan ASN Setempat dan ASN Berminat

Salah satu hal yang menarik di media sosial terkait IKN adalah ternyata selalu ada terselip komentar dari ASN daerah baik di luar Kalimantan maupun di sekitar IKN sendiri bahwa mereka bersedia untuk pindah dan berkarya di IKN.

Dengan adanya 3,4 juta ASN Pemerintah Daerah dan meningkatnya kualitas rekrutmen sejak era Reformasi Birokrasi, sejatinya skema seleksi terbuka untuk level umbi-umbian yang akan bertugas di sejumlah Kementerian/Lembaga di IKN adalah ide yang menarik. Apalagi dengan skema JF. Seorang Perencana atau Analis Pengelolaan Keuangan APBN di Kabupaten Y misalnya tentu memungkinkan untuk menempati formasi serupa di Kementerian Z yang lokasinya ada di IKN. Tinggal diatur saja mekanismenya. Dan ketika membaca tulisan di platform ini juga, rupanya ajakan itu sudah ada. Baguslah~

Upaya-upaya untuk mengoptimalkan minat dan bakat pada dasarnya adalah hal yang cukup jarang diadopsi birokrasi Indonesia, seperti halnya pernah saya tulis pula tentang Talenta Manajerial di portal Sembari Dinas ini. Semoga pelan-pelan dapat terus dimaksimalkan.

Bagaimanapun IKN telah menjadi sebuah ketetapan yang notabene harus didukung oleh semua pihak. Dan untuk itulah artikel ini muncul sebagai kontribusi sebentuk umbi-umbian nirfaedah jelata bagi mimpi besar negeri yang indah ini~

#IKNdanASN

Bagikan :