Setiap kali menyoal tentang PNS, potret umumnya senantiasa dimunculkan adalah pemalas, tidak kompeten, dan nada-nada lain yang sama-sama minor. Saya kurang paham model semacam ini by design atau tidak. Hanya saja, sepanjang berkarir dalam satu periode Satyalancana Karya Satya sejatinya saya mendapati ada begitu banyak potensi yang tersia-siakan dengan pola dan skema yang berlangsung selama ini.
Kita mengenal 3 kompetensi kunci dalam hal per-ASN-an yakni teknis, manajerial, dan sosio kultural sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 38 Tahun 2017. Kompetensi teknis tentu berkorelasi dengan tingkat Pendidikan ketika saat ini benar-benar strict sehingga pertanyaan soal kesesuaian jurusan adalah hal yang kerap ditanyakan di rekrutmen CASN.
Padahal kalau saya ingat-ingat dahulu di swasta, saya sebagai pemilik gelar Apoteker pernah menggantikan seseorang dengan latar belakang Teknik Nuklir dan lantas digantikan oleh seseorang lulusan Akuntansi. Hanya saja dalam skema jabatan fungsional seperti saat ini, pola lintas jurusan ala swasta mungkin menjadi agak kurang pas. Apapun, kompetensi teknis pada dasarnya adalah ihwal yang memang perlu untuk didalami sebagai inti dari pekerjaan.
Tulisan ini akan lebih berfokus pada kompetensi manajerial. Dalam Peraturan Menteri PANRB Nomor 38 Tahun 2017 tadi, kompetensi manajerial secara umum terdiri dari integritas, Kerjasama, komunikasi, orientasi pada hasil, pelayanan publik, pengembangan diri dan orang lain, mengelola perubahan, serta pengambilan keputusan. Para pengelola kepegawaian juga telah memiliki perangkat untuk mengukur pemenuhan elemen-elemen tersebut.
Persoalannya kemudian adalah kultur di ASN bahwa semua pegawai masuk sebagai seseorang yang nol. Bagi seseorang berumur 34 tahun yang masuk CPNS dengan pengalaman 10 tahun sesudah lulus kuliah, yang paling mungkin diakui itu hanya perhitungan masa kerja 50%. Dalam praktiknya, pengakuan terhadap hal-hal yang sudah pernah dicapai oleh orang-orang tersebut di masa lampau tidak terlalu banyak terjadi.
Sekurang-kurangnya saya bertemu dengan 4 manajer bank yang kemudian resign dari pekerjaannya itu dan beralih menjadi ASN. Terbayang oleh saya seorang yang tadinya dihormati di satu kantor cabang, kemudian harus melakukan pekerjaan-pekerjaan khas CPNS seperti memesan hotel, mengedarkan konsumsi plus absen, mengganti galon, dan sejenisnya. Di luar mereka, saya juga bersua beberapa mantan pekerja profesional lainnya dengan pengalaman mumpuni yang juga harus jembali ke nol. Ada yang sudah biasa menyusun policy brief tapi karena masih calon pegawai jadi pekerjaannya harus menjadi asrot terlebih dahulu.
Perpindahan karir pada dasarnya adalah suatu pilihan dan pilihan memang mengandung konsekuensi. Sebuah riset yang dilakukan oleh Daravuth Kong pada tahun 2023 di Kamboja memaparkan fakta yang mirip dengan sekurang-kurangnya yang kerap dicurhatkan di akun Abdimuda, @PNS_Ababil, dan sejenisnya. Ada beragam motif untuk berpindah termasuk urusan pensiun, asumsi bahwa beban kerjanya rendah, kebanggaan untuk mengabdi, hingga faktor keluarga. Diperoleh pula fakta mengenai gaji yang rendah, hierarki yang ruwet, dan persoalan manajerial baru nyata kala sudah berada di dalam sistem.
Henri Mintzberg dalam tulisan bertajuk Management as a Practice menyebut bahwa manajemen tertanam dalam dalam praktik keseharian. Artinya, para mantan manajer tadi sejatinya sudah punya bekal manajerial yang lebih mumpuni dibandingkan lulusan baru, misalnya. Artinya lagi, mereka semestinya tidak perlu lagi memperoleh perlakuan yang dasar. Boleh jadi mereka tidak perlu lagi mengenal arti kata dari P-O-A-C melainkan sudah sampai kepada tahap lain yang lebih advanced.
Jangan lupa pula bahwa birokrasi zaman sekarang sangat kental dengan paradigma New Public Management sehingga pola pikir yang dibangun tidak jauh-jauh dari upaya membandingkan pelayanan publik dengan bank yang notabene sebenarnya tidak durian ke durian itu. Paradigma NPM sendiri berangkat dari sektor privat sehingga ihwal paradigma tentu sudah sangat melekat di dalam diri para mantan swasta tersebut, apalagi jika kemudian mereka adalah mantan pemimpin di entitasnya.
Kematangan orang-orang dengan latar belakang tersebut kadang juga tercermin dari kemampuan mereka untuk menyembunyikan skill yang dimiliki karena memahami bahwa sebaik atau seburuk apapun kinerja mereka, asal masih berada dalam level 'Baik' maka pendapatannya akan sama. Lebih lanjut, kematangan sebagian PNS baru terlihat ketika melaksanakan Tugas Belajar. Bukan hal langka ketika para PNS menjadi lulusan terbaik kala menjalani Tugas Belajar bahkan di kampus-kampus terbaik di dalam dan luar negeri. Namun tidak aneh juga ketika mereka balik ke kantor untuk bekerja dan tidak terjadi perubahan apa-apa di kantor tersebut.
Bekerja di birokrasi memang adalah jalur marathon, bukan sprint. Sebagai gambaran, ketika seorang fresh graduate masuk ke sektor privat maka dia memiliki peluang bahwa dalam 10 tahun ke depan akan menjadi seorang manajer atau bahkan lebih. Contoh sederhana adalah jika kita melihat usia para Kepala Instalasi Farmasi di berbagai rumah sakit swasta, bukan hal aneh ketika melihat Apoteker berusia 30-an menduduki jabatan tersebut. Sementara itu, di birokrasi belum banyak yang pada rentang usia setara sudah mencapai posisi setara Kepala Departemen atau jenjang Madya apabila kita merujuk pada jabatan fungsional. Kemampuan manajerial yang ada sejatinya menjadi air minum yang cukup untuk melakoni perjalanan panjang ala marathon.
Dulu saya sempat berharap bahwa para pengelola SDM di birokrasi ini menaruh perhatian lebih bagi para mantan manajer atau pegawai-pegawai dengan background di sektor privat yang sudah mentereng. Akan tetapi, ketika kemudian kecemplung mengelola kepegawaian, saya lantas paham bahwa persoalannya bukan niat, tetapi waktu. Kala begitu banyak beban administratif yang harus diselesaikan alih-alih dapat fokus pada hal-hal besar seperti memberdayakan kompetensi manajerial tadi.
Pada akhirnya, keresahan itu paling maksimal hanya dapat saya tuliskan di forum ini sembari berharap kelak ada orang-orang yang cukup punya energi untuk melakukannya. Lagipula, sebenarnya para mantan manajer tersebut secara umum juga tidak mengeluh. Cuma sayang saja ketika ilmu mereka sudah ada dan sebenarnya bisa digunakan untuk bertumbuhnya birokrasi, tetapi tertutupi dan mungkin lama kelamaan akan hilang.
Pada titik itu, mungkin dunia birokrasi akan sama seperti biasanya. Sayang sekali~