Banyak terjadi kasus penipuan yang dibagikan melalui pemberitaan media dan platform media sosial. Lazimnya seperti penipuan bukti transfer dan peretasan akun whatsapp (WA) yang dipergunakan seolah-olah mewakili subjek tertentu atau meniru seseorang (impostor). Jamak kita dengar peretasan akun whatsapp dengan “membajak” identitas orang lain. Lalu dengan modus menghubungi teman via obrolan teks, meminjam uang, penyalahgunaan nomor rekening dan lain sebagainya.
Kita mafhum bahwa negara kita memiliki
“perisai” yaitu Undang-Undang ITE alias Informasi dan Transaksi Elektronik. UU Nomor 11 Tahun 2008 ini sejatinya merupakan peraturan perundangan yang mengatur penggunaan informasi dan data elektronik secara riil. Secara historis, UU ITE disahkan untuk menjamin rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi. Biarpun secara empiris banyak ditemui suatu tindakan melawan hukum dalam koridor kemajuan teknologi informasi, diantaranya pengancaman melalui media sosial.
Padahal ancaman bagi pelanggar UU ITE tidak main-main. Sanksinya mulai pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp1 miliar. Pasal 30 UU ITE mengatur tentang peretasan sistem komputer dengan ancaman pidana penjara maksimal 6 tahun dengan dan/atau denda sebesar maksimal Rp600 juta.
Bukti Transfer Hasil AI “Sukses” Menipu Warga Sebagai Suatu Transaksi Fiktif
Dari penelusuran dunia maya, tidaklah sukar mengidentifikasi menjamurnya kasus penipuan berbasis transaksi ekonomi digital. Survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa penipuan online meningkat sebanyak 32,5% kasus pada tahun 2024 dari total pengguna internet sebesar 221 juta jiwa. Sementara Kementerian Komunikasi dan Informatika RI menambahkan bahwa selama periode Agustus 2018 hingga Februari 2023 terdapat 1.730 konten penipuan online.
Misal pembeli suatu barang/jasa hendak melakukan transaksi dengan sang penjual barang/jasa yang ditampilkan pada etalase suatu marketplace. Pihak penjual dikirimi bukti transfer hasil olahan kecerdasan digital (AI/Artificial Intelligence) yang seolah-olah asli. Si penjual percaya begitu saja tanpa konfirmasi, sehingga ia mengirimkan barang/jasa yang dipesan. Nasib naas, ternyata bukti transfer itu tipuan, sehingga sang penjual barang “rugi bandar”, karena tidak ada pembayaran dana masuk ke rekening. Ini hanya sekelumit potret salah satu kasus, lantas bagaimana dengan nasib jutaan pelaku usaha lain di seluruh nusantara?
Quo Vadis Kemenkominfo?
Kemenkominfo (sekarang Kemenkomdigi) RI yang seyogianya berfungsi sebagai departemen yang membentengi rakyatnya dari disrupsi teknologi informasi, malah mengecewakan. Justru, Kemenkominfo sempat disinyalir menjadi bagian ekosistem judi online itu sendiri. Ya, oknum Kemenkominfo yang sudah dicokok ke muka hukum, terlibat sebagai pengepul dan pelestari judi online hingga triliunan rupiah. Uang haram bisnis judi online menjadi sesuatu yang seksi diperdebatkan. Ini bukan kabar burung atau sekadar obrolan warung kopi, namun kabar sahih dari agenda sidang pengadilan yang sedianya diadili yang mulia majelis hakim, dihadiri yang terhormat para jaksa maupun advokat. Bahkan nama salah seorang menteri digaungkan dengan lantang di tengah rangkaian persidangan. Ya, mantan menkominfo berinisial BAS disinyalir menerima jatah 50 persen dari situs judi online agar tidak dilakukan pemblokiran. Namanya berulang kali disebut dalam dakwaan jaksa penuntut umum dalam gelaran sidang kasus suap terkait pengamanan situs judi online yang dihelat Hari Rabu, Tanggal 14 Mei 2025 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. JPU mendakwa empat tersangka, yakni ZA, AK, AJK dan M alias A terkait pemblokiran situs judi online oleh kominfo. Dugaannya, mereka menerima setoran sebesar Rp15,3 miliar dan menjaga keberlangsungan situs judi online agar tak ditutup pemerintah.
Nah, apa betul negara –dalam hal ini Kemenkominfo- sudah bertugas melindungi rakyatnya dari kejahatan teknologi informasi digital? Bagaimana bisa negara menjadi tameng bagi rakyat, jika salah satu organ negara saja malah menjadi pelestari judi online?
Jika kita berbicara tentang privasi seorang individu atau suatu lembaga, tentu kurang afdal jika tidak menyinggung suatu dasar regulasi hukum yang sah dan legal. Ya, namanya adalah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) alias UU Nomor 14 Tahun 2008, yang diteken langsung oleh Presiden keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Melalui regulasi ini, setiap orang berhak memperoleh informasi publik, baik pada lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif sesuai ketentuan perundang-undangan. Rakyat berhak mendapatkan informasi publik, sebut saja pengelolaan anggaran yang memakai uang rakyat pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) pada suatu instansi pemerintah; kemana itu dana dipergunakan dan lain sebagainya. Memang tetap ada informasi penting yang tergolong rahasia dan dikecualikan dari kewajiban keterbukaan. Seperti informasi yang bersifat rahasia negara atau tertutup. Kemudian ada pula informasi terbatas yang apabila dibuka dapat menghambat proses penegakan hukum, serta informasi pertahanan dan keamanan negara. Pengecualian informasi publik juga diatur dengan sangat gamblang pada Pasal 17 Bab V UU KIP, yakni terkait informasi yang dikecualikan. Lantas, apa saja informasi yang masuk kategori pengecualian? Yaitu, seperti riwayat dan kondisi anggota keluarga, lalu riwayat kesehatan serta psikis seseorang. Tidak hanya sampai situ, pengecualian informasi juga meliputi catatan kondisi keuangan, aset, pendapatan hingga rekening bank seseorang. Kemudian catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan nonformal.
Namun, ada informasi yang tidak masuk pengecualian, seperti putusan peradilan dan laporan keuangan lembaga penegak hukum. Pengecualian informasi juga dilakukan bagi mereka yang berada pada jabatan/pejabat publik. Jadi riwayat keluarga pejabat publik adalah hal yang bisa diungkapkan dan tidak boleh ditutup-ditutupi informasinya. Namun, pada Pasal 18 butir 4 UU KIP disinggung, jikalau pembukaan informasi publik yang dikecualikan tersebut harus mendapat restu dari presiden atau harus ada permintaan izin kepada presiden.
Tujuan dari pembatasan maupun pengetatan informasi publik itu sederhana, agar terjaganya hak warga negara dalam rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan publik hingga alasannya. Intinya melibatkan masyarakat supaya jangan pasif dan hanya menjadi penonton kebijakan publik, justru sebaliknya mereka harus berperan aktif.
Pidana Menanti Pelanggar Keterbukaan Informasi Publik
Pelanggaran UU KIP tidak main-main dengan segudang ancaman hukum pidana maupun denda. Yakni pada Bab XI Pasal 51, dimana penggunaan informasi publik dengan melawan hukum mendapat ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 juta. Lalu, pada Pasal 52 dijelaskan bagi badan publik yang tidak menyediakan informasi publik sehingga mengakibatkan kerugian orang lain, diancam pidana 1 tahun penjara dan/atau denda Rp5 juta. Sementara bagi mereka yang menghancurkan, merusak atau menghilangkan dokumen informasi publik diancam pidana 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp10 juta. Kemudian, pada pasal 55 disinggung pula bagi mereka yang sengaja membuat informasi publik yang tidak benar atau menyesatkan sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain, akan diancam pidana penjara 1 (satu) tahun dan/atau denda Rp5 juta.
Spirit UU PDP, Sebagai Perisai Rakyat Era Digital
Yang tidak kalah penting adalah hak dan privasi seorang pribadi harus dilindungi dan dipagari negara, seperti diatur dalam UU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Yang paling sederhana adalah identitas pribadi seperti KTP maupun KK.
UU 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, seyogianya mempunyai tujuan yang sangat mulia, yakni menjamin perlindungan data pribadi di Republik Indonesia. Data tentang perseorangan yang langsung atau tidak langsung, baik sistem elektronik maupun non-elektronik. Sanksi bagi pelanggar UU PDP ini cukup berat, yakni Rp6 miliar hingga pidana kurungan paling lama 4 (empat) tahun. Secara fundamental yang digolongkan data pribadi adalah nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama dan status perkawinan.
Sementara data informasi yang patut dikecualikan adalah data informasi kesehatan, data biometrik (sidik jari, wajah atau suara), data genetika/DNA, catatan kejahatan, data anak hingga data keuangan. Lantas, Pasal 65 UU PDP dengan jelas dan tegas melarang pengumpulan atau pemerolehan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud menguntungkan diri sendiri/mengakibatkan kerugian pada subjek data pribadi. Sanksi pidana juga menanti bagi mereka yang melanggar penggunaan data pribadi dengan melawan hukum.
Jadi, sudahkah negara hadir melindungi warganya dari serangan penipuan berbasis teknologi informasi digital?
Sumber referensi :