Umbi Lapangan Punya Potensi Kaya di Varian Lain

Gambar sampul Umbi Lapangan Punya Potensi Kaya di Varian Lain


"Anggarannya segini, nanti realisasi dipotong sebagian..."

"Tolong laporannya diganti biar mencapai target..."

"Mendung, pulang aja yuk, keburu hujan..."

"Yaudah pas kegiatan kita bawa seragam double aja..."

Saya kira, beberapa teman-teman ASN lapangan aka umbi-umbian paling masuk tanah, bisa memberi contoh serupa lainnya. Entah desakan lingkungan atau memang keinginan pribadi, memang tak terelakkan untuk masuk jalur paling mainstream ini. Kadang-kadang, malah ketika ada di jalur yang benar justru terasa kikuk dan aneh di antara teman lainnya. Tidak jarang, ada porsi tertekan batin karna memilih untuk berbeda pilihan.

Lalu bagaimana? Bukankah memang lingkungan per-ASN-an itu tidak ideal? Ada momen yang entah mau jungkir balik pun, kudu tetap mengganggu nurani. Saya tidak hadir untuk beropini bagaimana cara menyelesaikannya (karena sayapun percaya itu tidak akan kunjung selesai di dunia ini), tapi mungkin beberapa opsi berikut bisa dicoba barang kali bisa untuk mengurangi atau mencegah untuk tidak terlalu jauh terjun "lapangannya".

  1. Jika ada pekerjaan lain yang lebih baik, gas aja!

Saya awalnya cukup bodoh berbalut komitmen dalam hal ini. Dalam benak saya, sekali di posisi ini, saya akan setia (muehh). Setidaknya itulah dalam benak saya sebagai ASN yang memang baru fresh from oven (campus) waktu itu. Idealisme tak diragukan, dedikasi bukan main, tapi terbentur realita dan perbedaan nilai. Komitmen itu baik, tetapi ketika ternyata menemukan sesuatu nilai yang berbenturan dengan nilaimu, pikirkan untuk mencari yang lebih sesuai. Sulit untuk menikmati pekerjaan yang sedemikian. Ini memang jalur exit terbaik, tapi justru ini paling butuh pertimbangan matang. Pastikan memiliki perencanaan pekerjaan lainnya yang jelas dan terukur, pertimbangkan kondisi orang terdekat, dan siap dengan segala kemungkinan dan konsekuensinya. Bagi saya pribadi ini amat teramat sulit, karena saya tidak punya modal yang cukup dari aspek manapun untuk pindah haluan. Jika seperti saya, maka pilihannya bisa jadikan opsi ini sebagai rencana jangka panjang. 

  1. Lanjut studi.

Mungkin beberapa langsung berpikir "lari dari kerjaan". Tapi, tunggu dulu. Bukankah salah satu isu ASN kita itu adalah minim pengembangan SDM? Jadi ketika masih punya niat belajar, itu kabar baik, apinya jangan dipadamkan. Bagi saya, tidak salah mengambil jeda lewat studi, karna studi yang baik akan meningkatkan kapabilitas untuk kembali bekerja kemudian.  Kembali studi adalah ladang yang baik untuk kembali menumbuhkan idealisme dan membuka wawasan baru.

Setelah beberapa tahun bekerja di lapangan, pastinya tidak sedikit terjadi penurunan yang mungkin dialami di bidang-bidang tertentu seperti integritas, kemampuan berpikir kritis dan ilmiah karna kadang terjebak dalam pekerjaan yang terlalu teknis lalu menjadi pragmatis. Hal-hal ini kemungkinan besar bisa diperbaharui kembali di lingkungan kampus. Dan saya rasa, dunia pendidikan akan membuka peluang yang lebih besar untuk kita memiliki modal menjadi ASN yang lebih baik. Karena itu, selama ada kesempatan, opsi studi merupakan opsi yang layak diperjuangkan.

  1. Berdamai tanpa harus mengorbankan sesuatu yang lebih mahal.

Opsi ini menjadi pilihan yang mau tidak mau, karena opsi 1 dan 2 mungkin tidak dapat dipilih atau butuh waktu untuk kesana. Berdamai yang saya maksud bukanlah memilih jalur mainstream seperti beberapa contoh di awal, tetapi menerima realita bahwa pekerjaan menjadi umbi lapangan memang banyak komprominya. Setelah menerima hal tersebut, buatlah pertimbangan-pertimbangan bijak sehingga tidak mengorbankan sesuatu yang lebih mahal.

Sesuatu yang lebih mahal tidak bicara soal harta atau materi tentunya. Kita umbi lapangan, tidak didesain untuk kaya harta, salah jurusan itu namanya. Kekayaan kita justru merupakan sesuatu yang tidak terlihat seperti kepercayaan, jiwa sosial, punya empati, belajar mencukupkan diri, ketulusan untuk mengabdi serta memiliki martabat dan kehormatan. Adalah lebih bijak memilih  tidak mengambil/melakukan sesuatu yang bukan seharusnya tetapi tidak kehilangan "barang-barang" berharga tersebut. Sebaliknya, memulai kompromi di awal, akan membawa ke kompromi berikutnya dengan porsi yang lebih besar bahkan hingga nurani kita tumpul. Ketika sudah tumpul, seringkali berakhir di posisi tidak menemukan kebermaknaan dalam pekerjaan, lalu kehilangan motivasi bekerja, tidak bahagia dan merusak kinerja.

Kadang kala, pertanyaan-pertanyaan reflektif bisa menegur, misalnya (1) Apa saya memang dicipta untuk melakukan ini? (2) Apa orang-orang yang saya kasihi senang/bangga jika saya melakukan ini? (3) Belasan atau puluhan tahun mendatang, manusia yang seperti apa yang dihasilan dengan kebiasaan buruk ini? Pikirkan kembali "barang-barang" berharga tadi. Pikirkan apa respon pasangan, orang tua, anak, atau siapapun yang kamu kasihi atas pilihanmu. Pikirkan apa saja yang sudah dikorbankan untuk pekerjaan ini, apakah mungkin setelah mengorbankan banyak hal, kita bekerja untuk sesuatu yang tidak berguna bahkan merusak? Dan coba bayangkan karakter seperti apa yang melekat saat kamu pensiun nantinya. Jika harga yang dikorbankan terlalu mahal, jangan mau rugi.

Poin 3 ini memang bukan hal mudah. Ini merupakan perjalanan hari demi hari yang tidak luput dari kekalahan dan kegagalan. Tetapi, kembali mengingat atas apa yang sedang kita perjuangkan, kiranya menolong kita untuk tetap mau berjuang menjadi pembuat pilihan dan keputusan yang bijaksana di setiap kesempatan yang masih ada. Tidak bisa kaya harta, barangkali kita tidak kehilangan kesempatan untuk kaya di varian lainnya.

Salam hangat untuk kita semuanya.

Bagikan :