Ruang Tumbuh Terbatas bagi ASN Daerah

Gambar sampul Ruang Tumbuh Terbatas bagi ASN Daerah

Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) bukan semata hidup di zona nyaman dengan duduk, diam, dan menerima gaji. Sebagai pelaksana kebijakan yang memiliki nilai dasar BERAKHLAK dimana dua diantaranya adalah kompeten dan adaptif, menuntut ASN menjadi seorang pembelajar yang perlu belajar sepanjang hayat, minimal hingga pensiun. Perkembangan zaman dan tuntutan tugas paling tidak menjadi alasan ASN untuk tidak berhenti mengembangkan kompetensi. Namun, kesempatan pengembangan kompetensi ini tidak merata bagi ASN di seluruh Indonesia. Ada ASN yang diberi karpet merah, sebaliknya ada pula yang harus melintasi pagar kawat berduri. Sebagian dari mereka mendapatkan kesempatan emas dari pemerintah, sementara yang lain harus menerima fasilitas "seadanya".

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara salah satunya membahas tentang Pengembangan Kompetensi (Paragraf 7), dimana setiap ASN wajib mengembangkan kompetensi secara kontinu sehingga tetap sejalan dengan kebutuhan organisasi. Namun, terdapat aturan "sistem pembelajaran terintegrasi" yang tak terwujud pada kenyataannya. Setiap lembaga memiliki pusat Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) sendiri dengan cara mereka masing-masing, seolah fragmentasi sistem yang tak saling terhubung dilengkapi dengan inkompetensi dalam mengampu kebutuhan perkembangan ASN. Lembaga yang bertanggung jawab dalam pengembangan kapasitas ASN adalah Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia atau LAN RI yang ada di bawah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Dalam hal ini LAN seharusnya menjadi "jembatan" dalam pengembangan kompetensi bagi semua ASN, antar Kementerian, Lembaga, maupun Wilayah Kerja. Faktanya, LAN tidak mampu memposisikan diri di tempat yang selayaknya. Ia hanya menjadi salah satu variasi platform belajar di antara belasan bahkan mungkin puluhan laman yang dibangun Kementerian / Lembaga.

LAN tidak populer dan pengemasan materi belajarnya tidak menarik. Ia tidak mampu mempromosikan diri serta mengemas pembelajaran dengan metode terkini yang menyenangkan, sehingga sampai saat ini tidak banyak ASN yang memanfaatkan pelatihan yang disediakan. Sejauh ini, pengguna LAN mayoritas adalah Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) atau ASN baru karena diwajibkan Pelatihan Dasar (Latsar). Opini oleh Johan Gultom di Kompas menyebut keterlambatan tersebut sebagai kelalaian institusional yang serius karena kurangnya kapabilitas dalam memanfaatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dapat disimpulkan bahwa jika ASN hanya berpaku pada laman ini, maka ASN akan sulit berkembang karena ketertinggalan pembelajaran.

Kementerian / Lembaga lain juga memiliki platform pelatihan serupa bagi Sumber Daya Manusia (SDM) yang diampu olehnya. Kementerian Kesehatan yang memiliki Plataran Sehat (terintegrasi dengan Unit Pelaksana Teknis / UPT Pelatihan Kesehatan Masyarakat di Daerah seluruh Indonesia dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memiliki Badan Diklat). Kementerian Perikanan dan Kelautan memiliki Electronic Millenial Learning (e-Milea) untuk mewadahi ASN ada pegawai di bawah naungannya. Kementerian Agama RI juga memiliki Pusat Informasi Pelatihan dan Pembelajaran (PINTAR) untuk ASN Kementerian Agama. Dengan adanya ruang tersendiri di masing-masing lembaga, bagaimana ini semua bisa disebut "terintegrasi"? Seharusnya pengampu diklat di ranah pusat bisa saling berkoordinasi dan berkolaborasi demi terciptanya platform yang saling terhubung serta mengembangkan keragaman edukasi yang diberikan.

Ketika ASN Daerah dipaksa mengais ilmu dari laman yang tak kaya dan tak menyatu tersebut, ASN Pusat memiliki keistimewaan untuk bisa dikirim pelatihan ke Luar Negeri. Dari laman Biro Kerja Sama Teknik Luar Negeri (KTLN) Kementerian Sekretariat Negara, begitu banyak penawaran pendidikan dan pelatihan dari lembaga dunia bagi ASN Indonesia. Namun, ketika membaca Surat Penawaran, mayoritas persyaratan bagi peserta adalah ASN Kementerian / Lembaga Pusat atau ASN Daerah namun yang menjadi pengambil keputusan atau minimal menduduki jabatan level Kepala Bidang / Kepala Dinas. Lalu bagaimana dengan jabatan fungsional di daerah yang memegang level teknis? Sampai saat ini mereka hanya bergantung dengan penawaran pelatihan lokal dengan dana terbatas (bahkan sering tidak dianggarkan) dan biayanya mahal. Contohnya jabatan Administrator Kesehatan di Puskesmas yang harus membayar pelatihannya secara mandiri (sekitar hampir Rp 6.000.000 di tahun 2022) demi mendapatkan Pelatihan Jabatan Fungsional yang berisi tentang petunjuk teknis dalam pelaksanaan tugasnya. Puskesmas berdalih pelatihan tersebut untuk pengembangan kompetensi pribadi dan lupa bahwa pegawai tersebut bekerja untuk Puskesmas. Dinas Kesehatan juga tidak menganggarkan di luar menu pelatihan yang sudah ditentukan Kementerian Kesehatan. Bisa dilihat bahwa bagi ASN Daerah tanpa jabatan struktural bagaikan rakyat jelata yang tak tersentuh bantuan pemerintah.

Ruang tumbuh itu seharusnya merata dan bantuan pemerintah seharusnya menargetkan siapa yang mau serta mampu, bukan hanya yang menduduki jabatan atau bekerja di instansi dengan level tertentu. Tidak semua yang berada di instansi pusat mau belajar, begitu pula tak semua pimpinan mau berkembang. Terkadang ada jiwa bergelora yang tak tersentuh karena tak diberi akses, baik informasi maupun fasilitas. Kebijakan seperti yang sudah dijalankan tentu sebenarnya bertujuan baik, ASN Pusat akan membina ASN Daerah, begitu juga para pemimpin akan mampu mengambil keputusan serta mengarahkan bawahannya dengan ajaran yang mereka terima. Namun, kenyataan di lapangan tak demikian. ASN Pusat tak mampu secara komprehensif membina ASN Daerah serta tak menyediakan ruang konsultasi bagi penyelesaian masalah yang ada, bahkan untuk implementasi kebijakan yang mereka buat sendiri. Para pimpinan juga jarang mampu membimbing, seringkali mereka menyerahkan urusan teknis dari A-Z pada ASN "jelata"nya tanpa mampu mengulas dan memberi masukan. Dalam kendali yang pelan-pelan diambil Pemerintah Pusat dengan Daerah sebagai Pembina dan Pengawas, seharusnya diterapkan pula untuk Manajemen ASN dengan memberikan kesempatan belajar yang sama, atau minimal berikan karpet merah bagi ASN Daerah yang mau dan mampu berkembang. Jika mereka tidak diberikan kesempatan, mereka akan selamanya berada dalam kurungan tanpa tahu perkembangan ilmu yang mereka dambakan sembari menjadi "pembantu" bagi pihak yang tak mengentaskan "kemiskinan" yang mereka alami.

Bagikan :