Masyarakat semakin dijenuhkan dengan berbagai undang-undang yang dibuat diam-diam. Terkini, sejumlah elemen masyarakat memprotes pembentukan RUU Kesehatan yang dinilai tak transparan dan tak partisipatif. Puncaknya, pada awal Mei 2023, ribuan tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan berdemonstrasi di Patung Kuda, Jakarta Pusat menolak Rancangan Undang-Undang Kesehatan.
Pada prinsipnya, pembentukan suatu undang-undang yang baik, tidak akan cukup tanpa adanya peran serta masyarakat. Hal ini mengingat proses legislasi pada akhirnya menghasilkan produk hukum yang berdampak kepada masyarakat. Undang-undang yang mampu menyerap aspirasi dan kebutuhan masyarakat tentunya akan lebih berdayaguna.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan bahwa keterlibatan publik dalam perumusan suatu undang-undang berperan supaya tidak ada resistansi dikemudian hari. Ia pun menambahkan bahwa partisipasi publik masuk ke dalam aspek sosiologis dari kekuatan suatu undang-undang.
Bila melihat secara utuh, proses legislasi yang partisipatif masih jauh dari harapan. Menurut Indonesian Parliamentary Center, dari 7 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berhasil diselesaikan pada 2021, hanya 1 RUU yang disertai dengan publikasi risalah rapat. Pada aspek partisipasi, dari 49 RUU yang diproses pada tahun 2021, hanya 5 RUU yang disertai dengan publikasi aspirasi publik terbanyak. Di luar itu, banyak RUU lain yang partisipasi publiknya tidak dikelola dengan serius.
Hal ini menjadi ironis ketika anggaran pembuatan RUU dalam kurun waktu satu periode Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencapai Rp 1,57 triliun. Bila dirinci, biaya yang dikeluarkan dalam menyelesaikan 1 RUU mencapai Rp 11 miliar. Tentunya menjadi pertanyaan ketika undang-undang yang dibentuk dengan biaya mahal nyatanya tidak sesuai kebutuhan masyarakat.
Salah satu terobosan yang dilakukan untuk mengakomodasi partisipasi publik adalah peluncuran Partisipasi Masyarakat dalam Perancangan Undang-Undang atau disingkat SIMAS PUU. Platform berbasis website ini memungkinkan masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya terkait dengan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang yang sedang disusun di DPR RI.
Meski begitu, masih banyak ruang evaluasi untuk platform tersebut. Sebagaimana materi di kelas “Future Skill 7 - Abdi Muda,” kebijakan tidak berhenti hanya di agenda setting dan formulasi kebijakan, tetapi juga harus ada evaluasi kebijakan. Dalam kasus SIMAS PUU, sebagian besar kontennya baru bersifat satu arah dan tidak memungkinkan warga memberi umpan-balik langsung. Belum lagi, informasi publik seperti naskah akademik atau draf RUU yang semestinya tersedia nyatanya belum lengkap terunggah. Kondisi ini menghambat akses publik untuk mengawal proses legislasi yang tengah berjalan di parlemen.
Berkaca kepada semakin banyaknya undang-undang yang dikritisi, terlihat bahwa masyarakat semakin sadar pentingnya partisipasi mereka dalam proses legislasi. Hadirnya momentum tersebut seharusnya menjadi sinyal agar DPR dan Pemerintah segera berbenah dalam mengoptimalkan partisipasi publik dengan memperbaiki mekanisme dan tools untuk menghadirkan partisipasi yang bermakna.