MENUJU DESA ANTIKORUPSI: GAGASAN TATA KELOLA TRANSPARAN DI KABUPATEN MALAKA
Oleh : Damianus Naijes
Korupsi adalah salah satu hambatan terbesar dalam pembangunan di Indonesia. Ia tidak hanya merusak fondasi ekonomi dan sosial, tetapi juga mencederai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Fenomena korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, melainkan juga merembes hingga ke desa-desa, termasuk di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Padahal, desa merupakan ujung tombak pembangunan yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Dana Desa yang digelontorkan setiap tahun seharusnya menjadi instrumen pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat. Namun, penyalahgunaan Dana Desa menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan desa masih menghadapi tantangan serius.
Uraian ini mencoba merumuskan gagasan tata kelola pemerintahan desa yang transparan dan akuntabel, dengan cita-cita membangun desa antikorupsi di Kabupaten Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur yang merupakan beranda depan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketika mendengar kata korupsi, sebagian besar dari kita mungkin langsung teringat pada pejabat tinggi, kasus miliaran rupiah, atau persidangan di pengadilan tipikor. Padahal, korupsi tidak hanya terjadi di gedung-gedung megah, melainkan juga bisa tumbuh subur di desa-desa yang menjadi garda terdepan pembangunan.
Kabupaten Malaka di Nusa Tenggara Timur, misalnya, beberapa kali tersorot oleh pemberitaan mengenai dugaan penyalahgunaan Dana Desa. Sejak tahun 2015 dana desa digelontorkan di Kabupaten Malaka sudah terdapat delapan kepala desa dan penjabat desa yang tersangkut kasus tindak pidana korupsi dengan putusan inkrah pengadilan dan menjalani hukuman. Dana yang seharusnya dipakai untuk membangun jalan, memperbaiki sarana air bersih, atau meningkatkan kesejahteraan warga, justru sering menjadi sumber masalah. Ada laporan fiktif, proyek mangkrak, hingga dana yang tak jelas rimbanya. Situasi ini tentu menimbulkan keprihatinan: bagaimana mungkin desa yang seharusnya menjadi harapan justru menjadi tempat subur bagi praktik korupsi?
Korupsi di tingkat desa sering disebut sebagai “akar rumput” karena langsung menyentuh lapisan masyarakat terbawah. Kabupaten Malaka menjadi contoh nyata di mana tata kelola keuangan desa masih rentan terhadap praktik penyalahgunaan. Ada beberapa dimensi persoalan yang patut dicermati:
Laporan evaluasi menunjukkan bahwa masih ada desa di Malaka yang salah dalam mengalokasikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) melebihi batas maksimal 15% dari pagu Dana Desa. Di sisi lain, ada pula desa yang justru kurang menganggarkan program ketahanan pangan minimal 20% sebagaimana diatur. Bahkan, masih terdapat desa yang tidak merencanakan kegiatan stunting sama sekali. Ketidaksesuaian ini menunjukkan lemahnya disiplin dalam perencanaan, sekaligus membuka celah praktik manipulasi.
Dari 127 desa di Malaka, hanya 9 Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang aktif, sementara 118 lainnya tidak berfungsi. Padahal, BUMDes diharapkan menjadi motor kemandirian ekonomi desa. Kondisi ini memperlihatkan bahwa potensi ekonomi desa tidak dikelola dengan baik, sementara Dana Desa yang seharusnya menopang BUMDes rawan diselewengkan.
Sistem Siskeudes online di Malaka belum berjalan optimal akibat keterbatasan jaringan internet dan server sehingga masih menggunakan pola Siskeudes offline. Akibatnya, konsolidasi data sering terlambat, dan aplikasi Siswaskeudes tidak bisa menampilkan data yang up-to-date. Celah ini membuat pengawasan internal terhambat, sehingga praktik kecurangan bisa terjadi tanpa segera terdeteksi.
Pemerintah Kabupaten Malaka belum menetapkan Peraturan Bupati sebagai tindak lanjut teknis pengelolaan aset desa. Akibatnya, penatausahaan aset desa menjadi tidak optimal dan rentan disalahgunakan. Aset desa yang seharusnya dikelola untuk kepentingan publik justru sering terabaikan atau dimanfaatkan secara pribadi.
Kebijakan penyaluran Dana Desa tahun 2025 semakin ketat: desa wajib mengunggah dokumen APBDes dalam format PDF dan ADK, melaporkan realisasi penyerapan minimal 60%, hingga memastikan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Persyaratan yang kompleks ini sering tidak dipenuhi tepat waktu, sehingga desa rawan mencari jalan pintas dengan manipulasi dokumen atau laporan fiktif.
Badan Pemeriksa Keuangan RI memberi peringatan tegas: “Dana Desa bagai ular berbisa, salah urus bisa penjara”. Ungkapan ini menegaskan bahwa tanpa integritas, desa berisiko terjebak dalam lingkaran korupsi. Sayangnya, masih banyak aparat desa di Malaka yang belum menjadikan nilai kejujuran dan keterbukaan sebagai landasan utama dalam tata kelola.
Kasus di Malaka menunjukkan bahwa korupsi di akar rumput bukan hanya persoalan individu, melainkan masalah sistemik: salah alokasi anggaran, BUMDes tidak berfungsi, lemahnya sistem pengawasan digital, ketiadaan regulasi pendukung, serta budaya integritas yang rapuh. Inilah tantangan nyata yang harus diatasi jika cita-cita desa antikorupsi ingin benar-benar terwujud.
Beberapa faktor membuat desa rentan terhadap praktik korupsi:
a. Kekuasaan yang terlalu terpusat pada kepala desa membuat kontrol keuangan lemah.
Kekuasaan yang terlalu terpusat pada kepala desa menjadi salah satu akar masalah tata kelola pemerintahan desa di Kabupaten Malaka. Kepala desa sering kali menjadi aktor tunggal dalam penetapan anggaran, pelaksanaan proyek, hingga pertanggungjawaban, sementara fungsi musyawarah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), maupun forum masyarakat tidak berdaya mengimbangi. Sentralisasi ini membuat alokasi anggaran rawan diselewengkan, seperti kasus desa yang menetapkan BLT lebih dari 15% dari pagu Dana Desa atau mengabaikan alokasi ketahanan pangan 20% sesuai aturan. Dominasi kepala desa juga berdampak pada matinya peran BUMDes dari 127 desa, hanya 9 BUMDes yang aktif, sementara sisanya lumpuh. Ditambah lagi, Malaka belum memiliki Peraturan Bupati khusus pengelolaan aset desa, sehingga aset sering hanya dikendalikan oleh kepala desa tanpa pedoman teknis. Kelemahan sistem pengawasan digital, seperti belum optimalnya Siskeudes online karena keterbatasan jaringan, semakin memperkuat monopoli informasi dan keputusan di tangan kades. Kondisi ini membuka ruang besar bagi moral hazard: kepala desa mudah memprioritaskan kepentingan pribadi, laporan keuangan bisa dimanipulasi sekadar untuk memenuhi syarat penyaluran Dana Desa, dan suara warga desa kerap dipinggirkan.
b. Kurangnya transparansi anggaran: meskipun APBDes harus dipublikasikan, banyak desa di Malaka masih tertutup.
Kurangnya transparansi anggaran menjadi salah satu persoalan utama dalam tata kelola pemerintahan desa di Kabupaten Malaka. Meskipun aturan mengharuskan publikasi APBDes, praktik di lapangan sering hanya sebatas formalitas: laporan ditempel seadanya di papan pengumuman, bahkan ada desa yang sama sekali tidak melakukannya. Kondisi ini diperparah oleh belum optimalnya penerapan Siskeudes online akibat keterbatasan jaringan dan sarana prasarana, sehingga data keuangan desa tidak bisa dipantau secara real time. Hasil evaluasi BPKP juga menemukan sejumlah ketidaksesuaian, misalnya alokasi BLT melebihi batas 15% dan minimnya anggaran untuk ketahanan pangan 20% sebagaimana diatur. Transparansi BUMDes pun rendah, terbukti hanya 9 dari 127 BUMDes di Malaka yang aktif sementara sisanya tidak berjalan. Akibatnya, masyarakat kehilangan hak untuk mengawasi, laporan fiktif kerap muncul untuk memenuhi syarat pencairan Dana Desa, dan dominasi kepala desa makin kuat karena warga tidak memiliki informasi yang memadai. Kurangnya keterbukaan ini tidak hanya memicu praktik korupsi, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik dan membuat pembangunan desa rentan tidak tepat sasaran.
c. Pengawasan yang terlambat: audit dan evaluasi sering dilakukan setelah dana habis terserap.
Salah satu masalah krusial dalam tata kelola pemerintahan desa di Kabupaten Malaka adalah pengawasan yang terlambat. Secara teori, pengawasan seharusnya dilakukan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi, sehingga potensi penyimpangan bisa dicegah lebih awal. Namun, praktik di lapangan menunjukkan hal sebaliknya: audit dan monitoring sering dilakukan setelah dana terserap, bahkan setelah muncul dugaan korupsi. Kondisi ini membuat pengawasan kehilangan fungsi preventifnya dan hanya menjadi tindakan reaktif.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam paparannya menegaskan bahwa akuntabilitas desa di Malaka masih lemah: ada desa yang mengalokasikan BLT melebihi batas 15% dari pagu Dana Desa, ada yang tidak memenuhi kewajiban 20% untuk ketahanan pangan, bahkan ada yang tidak merencanakan program stunting sama sekali. Masalah seperti ini seharusnya bisa diidentifikasi sejak dokumen perencanaan diajukan, tetapi karena pengawasan baru dilakukan setelah realisasi, celah penyimpangan terlanjur terbuka.
Selain itu, keterlambatan pengawasan juga disebabkan oleh faktor teknis. Implementasi Siskeudes online di Malaka masih terkendala jaringan dan sarana prasarana yang belum tersedia, sehingga data keuangan desa tidak bisa dikonsolidasi secara real time. Akibatnya, aparat pengawas kesulitan mengakses informasi terkini, dan evaluasi menjadi lambat. BPK RI juga menyoroti lemahnya pengawasan pelaksanaan UU Desa di NTT, termasuk Malaka, yang seharusnya memastikan penggunaan Dana Desa sesuai ketentuan.
Keterlambatan pengawasan berdampak serius: pertama, kerugian negara sulit dipulihkan karena bukti dan data sudah kabur; kedua, masyarakat kehilangan kepercayaan karena pemerintah dianggap membiarkan penyimpangan terjadi; ketiga, kepala desa yang bermasalah tetap leluasa menjalankan wewenangnya sampai kasus besar terungkap. Dengan kata lain, alih-alih menjadi alat pencegah, pengawasan di Malaka sering kali baru hadir sebagai “pemadam kebakaran” setelah api korupsi terlanjur membesar.
d. Partisipasi masyarakat rendah: kanal pengaduan tidak aktif, sehingga warga enggan melapor.
Salah satu persoalan penting dalam tata kelola pemerintahan desa di Kabupaten Malaka adalah rendahnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan Dana Desa. Secara normatif, UU Nomor 3 Tahun 2024 menempatkan musyawarah desa sebagai forum tertinggi dalam menentukan arah pembangunan. Namun, dalam praktiknya, forum ini sering hanya bersifat seremonial, tidak melibatkan warga secara luas, dan keputusan lebih banyak didikte oleh kepala desa dan aparatnya. Akibatnya, aspirasi masyarakat desa tidak sepenuhnya terakomodasi.
Minimnya partisipasi ini terlihat dari berbagai kasus salah alokasi anggaran. Misalnya, ada desa yang menetapkan BLT melebihi batas 15% atau justru mengabaikan alokasi 20% untuk ketahanan pangan dan stunting. Jika warga benar-benar terlibat aktif, ketidaksesuaian ini bisa diprotes sejak tahap perencanaan. Rendahnya partisipasi juga tampak dari lemahnya pengawasan terhadap BUMDes, di mana dari 127 desa di Malaka hanya 9 BUMDes yang aktif, sementara sisanya mati suri. Banyak masyarakat tidak tahu alur dana dan pengelolaan usaha desa, karena laporan BUMDes jarang dibuka untuk publik.
Selain itu, kanal pengaduan masyarakat belum berjalan efektif. Walaupun secara nasional ada sistem SP4N-LAPOR!, di Malaka banyak warga desa tidak mengetahui atau tidak berani menggunakannya. Situasi ini diperburuk oleh kultur paternalistik, di mana warga enggan mengkritik kepala desa karena takut adanya konsekuensi sosial atau politik. Akibatnya, praktik penyalahgunaan dana atau manipulasi laporan sering luput dari kontrol warga.
Rendahnya partisipasi masyarakat memiliki implikasi serius: pertama, warga kehilangan hak sebagai pengawas penggunaan dana publik; kedua, penyimpangan keuangan tidak segera terdeteksi; dan ketiga, pemerintah desa kehilangan legitimasi karena dianggap bekerja hanya untuk kepentingan elit lokal. Jika pola ini tidak diubah, Malaka akan sulit mewujudkan cita-cita desa antikorupsi yang partisipatif dan berkeadilan.
e. Keterbatasan kapasitas aparatur desa: masih ada aparat yang salah hitung alokasi BLT, ketahanan pangan, atau program stunting.
Keterbatasan kapasitas aparatur desa di Kabupaten Malaka menjadi salah satu penyebab lemahnya tata kelola Dana Desa dan maraknya potensi penyimpangan. Banyak perangkat desa masih kesulitan memahami aturan teknis, sehingga terjadi salah alokasi, seperti BLT yang melebihi batas 15% atau program ketahanan pangan yang kurang dari 20%, bahkan ada desa yang tidak merencanakan program stunting sama sekali. Di sisi lain, keterbatasan penguasaan teknologi juga menjadi kendala karena implementasi Siskeudes online belum optimal akibat masalah jaringan, sehingga laporan keuangan sering terlambat dan tidak akurat. Lemahnya manajemen aset dan kelembagaan ekonomi desa juga terlihat dari fakta bahwa hanya 9 dari 127 BUMDes yang aktif, sementara sisanya mati suri. Kondisi ini diperparah oleh ketiadaan regulasi teknis di tingkat kabupaten, seperti Peraturan Bupati tentang pengelolaan aset desa, sehingga aparatur sering bekerja tanpa pedoman yang jelas. Akibatnya, tata kelola desa menjadi tidak akuntabel, pembangunan tidak efektif, dan masyarakat kehilangan kepercayaan, sementara potensi korupsi di akar rumput semakin terbuka lebar.
Meski penuh tantangan, bukan berarti desa bebas korupsi mustahil. Ada sejumlah gagasan praktis yang bisa dijalankan antara lain dirancang sebuah roadmap Desa Antikorupsi: Transparansi, Akuntabilitas, Partisipasi, Integritas sebagai berikut:
Wajibkan setiap desa memublikasikan APBDes (PDF & ADK) dan ringkasan realisasi triwulan di papan desa dan portal kabupaten. Ini sekaligus memenuhi syarat penyaluran yang memang kini meminta APBDes PDF dan ADK serta tagging layak salur via OM-SPAN.
Tampilkan kepatuhan 7 fokus prioritas (BLT ≤15%; kesehatan & stunting; pangan; iklim; desa digital; padat karya; bahan lokal; dll.) dan proporsi non-earmarked secara terbuka agar publik bisa memantau sejak perencanaan, sejalan dengan dorongan data keuangan desa elektronik terintegrasi untuk memperkuat monitoring & evaluasi.
Setiap paket fisik menempel QR ke halaman proyek (nilai kontrak, RAB ringkas, progres foto). Transparansi granular ini membantu memotong ruang mark-up sekaligus menambah kepercayaan warga.
Cita-Cita Desa Antikorupsi
Dengan menerapkan langkah-langkah di atas, cita-cita yang ingin diwujudkan adalah:
Penutup
Korupsi di desa adalah masalah nyata, tetapi bukan tanpa jalan keluar. Kabupaten Malaka bisa membalikkan citra, dari wilayah yang rawan penyalahgunaan Dana Desa, menjadi pionir desa antikorupsi di Indonesia. Dukungan kebijakan pusat melalui insentif berbasis kinerja, pengawasan APIP, serta rekomendasi BPKP memberi peluang besar untuk memperbaiki tata kelola.
Sebagai penutup, seluruh uraian menunjukkan bahwa problem tata kelola desa di Kabupaten Malaka mulai dari dominasi kepala desa, minimnya transparansi anggaran, keterlambatan pengawasan, rendahnya partisipasi masyarakat, hingga lemahnya kapasitas aparatur telah membuka celah besar bagi praktik korupsi di akar rumput. Namun, kebijakan Dana Desa 2025 yang menekankan digitalisasi data, insentif berbasis kinerja, dan sanksi bagi desa tidak patuhmembuka peluang besar untuk perbaikan. Jika prinsip Good Governance dijalankan konsisten melalui transparansi publik, akuntabilitas sistemik, partisipasi warga, dan integritas aparatur, maka desa-desa di Malaka dapat bertransformasi dari wilayah yang kerap disorot kasus penyalahgunaan menjadi pionir desa antikorupsi di Indonesia, sebuah model tata kelola yang bersih, transparan, dan benar-benar menyalurkan manfaat Dana Desa bagi kesejahteraan masyarakat.
Kuncinya ada pada empat prinsip: transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan integritas. Jika keempat prinsip ini dijalankan dengan konsisten, cita-cita besar “dari desa untuk Indonesia bersih” bisa benar-benar lahir dari Malaka yang merupakan beranda depan negeri.