---
Tanggal 20 Oktober 2024 menjadi salah satu tanggal bersejarah bagi Republik kita. Semua mata tertuju pada berpindahnya estafet kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo kepada Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Penantian itu dibayar dengan proses pesta demokrasi yang melelahkan bagi siapa saja, termasuk abdi negara yang (setidaknya) berusaha netral. Tidak sampai 24 jam berselang, Presiden yang baru pun segera bergegas membentuk kabinetnya untuk membantu jalannya kekuasaan eksekutif.
Gonjang-ganjing perdana sebenarnya sudah muncul saat isu “pemekaran” kementerian pasca ditandatanganinya UU Nomor 61 Tahun 2024 tentang Kementerian Negara. Tebak-tebak buah manggis itu tepat rupanya. Presiden baru membentuk 48 kementerian; 7 kementerian koordinator; 19 kementerian tetap; 20 kementerian yang mengalami perubahan nomenklatur dan pergeseran tugas, serta; 2 kementerian hanya mengalami perubahan nomenklatur.
Yang menarik, terdapat 3 menteri pejabat karir yang merangkak dari pegawai negeri. Satu diantaranya adalah sang komando utama birokrat Indonesia, Menteri Rini Widyantini. Akibat pemekaran serta transisi pemerintahan baru ini, andai laku opini umbi-umbian ini, setidaknya ada 5 (lima) PR yang harus diselesaikan Bu Menteri dalam 5 tahun ke depan:
Efek utama yang harus diselesaikan bahkan sebelum berakhirnya bulan sebelas ini adalah pembentukan reorganisasi kementerian yang telah disebutkan di atas . setidaknya 229.901 pegawai terdampak bursa transfer antar kementerian/lembaga ini.
Tentu Bu Rini dan tim KemenpanRB-Setneg-Kemenkeu bahu membahu menyiapkan jalan keluar agar pemerintahan tidak berlarut dalam hal penyesuaian tupoksi dan nomenklatur. Sebagai contoh, Kemenko Marves yang kini hilang meninggalkan 453 ASN+PPPK yang dialihkan ke kementerian lain.
Untuk proses transisi ini, KemenpanRB melalui Pak Aba Subagja berkomitmen agar jangan sampai transisi dan transfer ini merugikan para pegawai yang terdampak. Apalagi berhubungan dengan tukin~ Let’s see
Satu hal yang pasti, momentum organisasi yang “melebar” ini akan membuka jabatan baru yang tersedia, yah minimal adanya Sekjen dan Itjen yang baru. Hal ini seiring dengan orasi ilmiah Taufiq Effendi (2019) -Mantan MenpanRB di zaman Pak SBY- bahwa pemberian kesempatan kepada birokrat muda untuk mengekspresikan visinya, terlebih lagi bila diberi kesempatan di struktural.
Meski demikian, apa yang diteliti oleh Haning (2018) bahwa re-desain menyebabkan birokrasi terlalu besar menyebabkan anggaran yang lebih besar dan kinerja yang cenderung lambat. Struktur birokrasi yang terlalu gemuk dan memiliki banyak hirarki menyebabkan timbulnya proses yang berbelit-belit, kelambatan pelayanan dan pengambilan keputusan.
Negara harus menyediakan anggaran tambahan untuk JPT Pratama dan Madya baru. Berita satu ini diprediksi lebih mengambang di linimasa dibanding pemberian kesempatan bagi pejabat karir tadi. Semoga saya salah.
Status pegawai honorer hanya tinggal menunggu waktu. Per Desember 2024 sudah tidak ada istilah ini lagi. Sebuah solusi coba ditawarkan oleh KemenpanRB pada 2021 dengan membuka Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Pemerintah sudah tepat dengan memberikan serapan PPPK dari honorer yang ada, demi terciptanya keadilan pemenuhan hak dan juga pelaksanaan kewajiban. Misalnya untuk kasus guru honorer, dari penelitian Fauzan (2021) mengemukakan bahwa jika pemerintah tidak siap secara finansial untuk memenuhi hak material bagi guru honorer, negara lebih baik menyesuaikan dan mengefisienkan kewajiban dari tugas guru honorer, namun masih mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi ASN.
Karena adanya beberapa syarat seperti NUPTK dan minimal syarat kerja 5 tahun, rasanya guru honorer yang tidak bisa menjadi PPPK dialihkan status menjadi freelancer saja, untuk memberikan keleluasaan waktu di luar kewajiban yang mengekang dan memungkinkan mereka menyeimbangkan kehidupan profesional dengan tanggung jawab rumah tangga, persis seperti hasil penelitian Wareham di tahun 1996 pada kasus guru perawat full-time dan part-time di Inggris silam.
Padahal, kalaulah fiskal kita cukup, rasanya bukan tidak mungkin apa yang diteliti oleh Akiba, et.al (2012) pada 30 negara OECD (Sayangnya Indonesia belum resmi gabung) yang menemukan bahwa negara-negara dengan gaji rata-rata yang lebih tinggi untuk guru berpengalaman cenderung memiliki prestasi nasional yang lebih tinggi (data diambil dari indeks Programme for International Student Assessment/PISA), juga bisa terjadi di Indonesia, apalagi indeks PISA kita yang sudah turun terus~
Indonesia harusnya bisa belajar dari negara maju ini agar tidak ada lagi masalah seperti Dualisme PGRI di KLB Surabaya terulang kembali. Optimis.
Bagi analis pelaksana yang baru saja diangkat ke jabfung seperti saya, (selain tambahan tukin) adanya isu esmelon IV digaungkan lagi sebenarnya membuat kita bertanya mana yang mau dikuatkan: struktural atau fungsional?
Padahal, seperti tulisan Martalina (2022), agility organisasi pasca adanya jabatan fungsional membuat jenjang komando yang lebih singkat menghilangkan banyak tugas dan kewenangan dan tuntutan yang tinggi agar organisasi mampu bertransformasi lebih lincah. Kalaulah kita kembali ke metode lama, rasanya akan muncul pergolakan besar, terutama dari bawah.
Masih sangat mungkin dikaji lagi karena menurut saya ini masih taraf urgensi menengah agar 2.227.046 pegawai jabfung menurut Buku Statistik ASN per Semester 1 2024 bisa dimaksimalkan sesuai kompetensinya.
Yuk bisa yuk, Bu!
Pak Budi Karya dan teman-teman Kemenhub masih dilingkupi rasa bahagia setelah penantian 100% tukin tempo waktu lalu tercapai. Kemenhub membuat prestasi dengan menyederhanakan 386 aplikasi menjadi 9 aplikasi saja. Artinya, ini menjadi fokus presiden yang juga akan diteruskan di pemerintahan era Pak Prabowo, dan diberikan ganjaran yang setimpal bagi Kementerian maupun pemda yang berhasil merampingkan tata kelola digitalnya di SPBE.
Meski demikian, tidak mudah merombak aplikasi ini. Seperti yang dikemukakan Awaludin (2019) bahwa gejala dari masalah SPBE ini antara lain penerapan standar ruang server belum memadai, terdapat banyak Perangkat Daerah yang membuat/mengembangkan aplikasi tanpa koordinasi dengan Diskominfotik, dan belum adanya backup dan contingency plan. Cukuplah kasus kebocoran data kemarin jadi yang terakhir.
Jadi tidak heran, mendapatkan cleareance aplikasi dari KemenpanRB-Komdigi-Bappenas akan jauh lebih susah dari biasanya.
Sudah ada berapa aplikasi yang dihapus di kolammu?
David Osborne (1997) dalam buku “Banishing Bureauracy: The 5 Strategies for Reinventing Government” dengan terang menjelaskan bahwa bagian penting pertama dari pembentukan DNA organisasi publik adalah the streering function alias penentuan arah yang jelas. Jika suatu organisasi tidak jelas tentang tujuannya -dan lebih banyak tumpang tindihnya- organisasi tersebut tidak dapat mencapai kinerja yang melesat.
Bagi kementerian pecahan baru ataupun benar-benar baru, tentu hasil ini tidak bisa dicapai dengan cepat. Harus evaluasi tiap tahun bahkan semester. Namun, gambaran perencanaan yang kuat, pondasi yang kokoh, kita bisa menilai siapa yang efektif bagi APBN; ataupun yang hanya membuat boncos.
---
Akhir kata, saya selalu merinding dan terharu bila membaca perjuangan dan mimpi para pejuang NIP seperti kisah Mba Agustina (2024) di platform ini. Mimpi yang didayung oleh do’a orang tua yang tembus ke langit. Semoga Bu Menteri juga menjadi orang tua kami di ASN yang sudah merasakan pahit-manis sebagai pegawai.
Kami menanti tuahmu, Bu, khususnya oleh kami para umbies. Menteri wanita sekaligus menteri para ASN pertama yang berasal dari ASN juga, membuat harapan ini terlihat lebih menyala. Semoga mimpi Mba Agustina, mimpi saya pribadi, serta mimpi-mimpi total 4.758.730 ASN lainnya yang tersebar di kolam-kolam di sudut negeri ini pelan-pelan bisa lebih baik.
Selamat bekerja, Bu Menteri! Kami menanti tuahmu.
#NulisSembariDinas #KementerianBaru #HarapanBaru