Memajukan Riset Antariksa: Satelit Berdikari untuk Pengelolaan Big Data yang Mandiri

Gambar sampul Memajukan Riset Antariksa: Satelit Berdikari untuk Pengelolaan Big Data yang Mandiri

Pendahuluan

Saat ini, dunia telah memasuki era Internet of Things (IoT) dan Big Data, di mana hampir setiap aspek kehidupan manusia terhubung secara digital. IoT merupakan jaringan perangkat yang saling terhubung melalui internet, memungkinkan pertukaran data yang cepat dan efisien. Dari perangkat rumah tangga seperti kulkas pintar hingga kendaraan otonom, semuanya terhubung dan mengumpulkan data yang dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas hidup. Dengan miliaran perangkat yang terhubung, jumlah data yang dihasilkan setiap hari mencapai tingkat yang sangat tinggi. Data ini mencakup informasi pribadi, operasional, dan bisnis yang sangat berharga. Mengamankan data ini menjadi tantangan besar karena potensi serangan siber yang semakin canggih.

Banyak perangkat IoT yang tidak memiliki fitur keamanan yang memadai, membuatnya rentan terhadap serangan siber. Serangan pada perangkat ini dapat mengakibatkan pencurian data, gangguan layanan, dan bahkan kerusakan fisik pada infrastruktur penting. Dalam era digital, privasi pengguna menjadi isu utama. Data yang dikumpulkan oleh perangkat IoT sering kali berisi informasi pribadi yang sensitif. Tanpa keamanan yang memadai, data ini bisa disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Big Data tidak hanya penting untuk sektor bisnis, tetapi juga untuk keamanan nasional. Data yang dikumpulkan dan dianalisis dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari pemantauan keamanan hingga pengambilan keputusan strategis.

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menghadapi tantangan unik dalam menghubungkan data dari pulau-pulau yang tersebar luas dan mengelolanya jumlah besar. Dalam era digital ini, pentingnya keamanan data tidak bisa diabaikan. Salah satu cara untuk memastikan keamanan data negara adalah dengan mengembangkan satelit secara mandiri. Mengapa satelit? Karena pada dasarnya semua kecanggihan dan keindahan dunia internet, termasuk pengolahan big data, tergantung pada keberadaan alat pemancar sinyal yang kita sebut satelit. Semakin canggih satelitnya, semakin canggih pengolahan dan pengelolaan data yang dilakukan. Lalu mengapa harus satelit mandiri? Mandiri di sini tidak hanya berbicara status kepemilikan dan kontrol penggunaan, tetapi setiap elemen satelit mulai dari perangkat keras hingga perangkat lunaknya adalah murni buatan dalam negeri yang berdaulat.

Sejarah Singkat Perkembangan Teknologi Satelit

Sebelum diskusi lebih lanjut, mari kita kupas secara singkat sejarah terciptanya satelit. Pertama kali satelit mengudara adalah pada 4 Oktober 1957, ketika Uni Soviet meluncurkan Sputnik 1, satelit buatan manusia pertama ke orbit bumi. Satelit ini mengorbit bumi selama tiga minggu sebelum baterainya habis. Peluncuran ini menandai awal dari era antariksa dan memicu perlombaan antariksa antara Uni Soviet dan Amerika Serikat selama Perang Dingin. Sejak itu, banyak negara dan perusahaan telah mengembangkan dan meluncurkan satelit mereka sendiri. negara-negara seperti Amerika Serikat, Rusia, RRT, India, dan negara-negara Eropa adalah pemain utama dalam pengembangan satelit.

Sputnik 1 adalah bola logam sederhana dengan empat antena yang mengirimkan sinyal radio, tetapi dampaknya terhadap dunia sains dan teknologi sangat besar.
Tidak dapat dipungkiri, Perang Dunia I dan II telah memperlihatkan bagaimana kebutuhan militer dapat mendorong inovasi teknologi yang signifikan. Proyek Manhattan seperti yang dikisahkan dalam film Oppenheimer misalnya, menunjukkan bagaimana penelitian militer yang bekerja sama dengan ilmuwan dapat mengubah arah sejarah dunia.

Selanjutnya, selama Perang Dingin antara dua ideologi politik, kompetisi kedua negara—Amerika Serikat dan Uni Soviet—justru menghasilkan teknologi seperti satelit, komputer, dan komunikasi yang akhirnya diadaptasi untuk penggunaan sipil dan komersil. Inisiatif Uni Soviet sebagai pionir peluncur satelit, tidak lepas dari ajaran Marxisme yang mengutamakan pentingnya sains dan teknologi untuk menyejahterakan masyarakat kelas bawah. Di lain pihak, inisiatif Amerika Serikat mengungguli Uni Soviet adalah agar tidak ada negara lain kecuali Amerika Serikat yang dapat mengontrol produksi teknologi dan nilai ekonominya.

Persaingan antariksa tersebut kemudian membawa Amerika Serikat pada terciptanya sebuah jaringan komunikasi yang kita sebut sebagai internet. Internet awalnya dikembangkan oleh lembaga riset khusus bernama DARPA (Defense Advanced Research Projects Agency). DARPA mengembangkan proyek benama ARPANET (Advanced Research Projects Agency Network) sebagai jaringan untuk komunikasi militer yang aman. ARPANET menggunakan konsep packet switching, yang memungkinkan data untuk dikirim dalam bentuk paket-paket kecil yang dapat mengambil jalur yang berbeda ke tujuan akhirnya. DARPA masih aktif untuk pengembangan teknologi hingga sekarang, sedangkan proyek ARPANET telah ditutup pada tahun 1990 namun jaringan internetnya masih kita gunakan saat ini.

Selain internet, ada program bernama The Global Positioning System (GPS) yang dikembangkan untuk navigasi militer, dan teknologi satelit digunakan untuk pengintaian dan komunikasi militer. Teknologi-teknologi ini sekarang menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari dalam mendukung berjalannya telekomunikasi, navigasi, dan berbagai aplikasi lainnya.
Sektor militer dapat dikatakan memiliki sumber daya yang signifikan untuk penelitian, pengembangan, dan kebutuhan mendesak untuk inovasi teknologi demi keperluan pertahanan dan keamanan. Hal ini mendorong terciptanya teknologi baru yang kemudian dapat diadaptasi untuk keperluan sipil.

Melihat sejarah singkat perkembangan teknologi di atas, ada potensi besar bagi Kementerian Pertahanan RI dan TNI untuk menjadi pendorong riset dan inovasi antariksa di Indonesia. Maka menjadi penting bagi Kementerian Pertahanan RI dan TNI menjalin kemitraan strategis dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk mengembangkan teknologi yang dapat memenuhi kebutuhan militer dan sipil, khususnya teknologi satelit. Mengadakan program penelitian bersama yang fokus pada teknologi keamanan siber, komunikasi, dan pertahanan dapat memberikan manfaat luas bagi masyarakat. Melalui langkah strategis berupa peningkatan anggaran riset dan pengembangan pada teknologi dan sains terapan, lalu mendukung inisiatif tumbuhnya start-up dan perusahaan teknologi lokal di masyarakat yang fokus pada solusi inovatif untuk pertahanan dan keamanan data-data negara.

Satelit Berdikari, Berdaulatnya Antariksa Negeri

Ada beberapa poin utama mengapa kita harus berdikari dalam pembuatan satelit. Menggunakan satelit buatan negara lain untuk komunikasi dan pengawasan menimbulkan risiko keamanan yang signifikan. Data sensitif bisa diakses oleh pihak luar tanpa izin, yang dapat mengancam keamanan nasional. Dengan membangun dan mengoperasikan satelit secara mandiri, Indonesia dapat memastikan bahwa data tetap aman dan terjaga kerahasiaannya. Ketergantungan pada teknologi luar negeri menghambat perkembangan industri teknologi dalam negeri. Mengembangkan satelit secara mandiri akan mendorong inovasi dan pengembangan teknologi di Indonesia, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan menciptakan lapangan pekerjaan baru, sesuai amanat Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4 “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Terkadang untuk mencapai mimpi yang tinggi, kita harus melewati berbagai rintangan. Bak pepatah nenek moyang “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Biaya investasi yang besar bisa menjadi hambatan dari pengembangan satelit mandiri. Selain itu, pengembangan satelit membutuhkan tenaga ahli di berbagai bidang seperti teknik, fisika, dan ilmu komputer sehingga negara benar-benar perlu meningkatkan kapasitas pendidikan dan pelatihan untuk menghasilkan tenaga ahli yang kompeten. Peluncuran satelit juga memerlukan infrastruktur yang memadai seperti fasilitas peluncuran dan pusat kendali misi. Membangun infrastruktur ini memerlukan waktu dan sumber daya yang tidak sedikit, mengingat saat ini negara sedang fokus membangun IKN. Meskipun tujuan utamanya adalah kemandirian, kolaborasi dengan negara-negara dan organisasi internasional tetap penting untuk pertukaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Indonesia perlu menjalin kemitraan yang strategis untuk mempercepat pengembangan teknologi satelit.

Investasi awal dalam pengembangan teknologi satelit mungkin tinggi, namun membangun dan meluncurkan satelit sendiri tentu dapat mengurangi biaya operasional dan ketergantungan pada negara lain. Hal ini memberikan fleksibilitas lebih besar dalam mengelola dan memperbarui teknologi sesuai kebutuhan. Proyek ini hampir dilaksanakan di era Demokrasi Terpimpin, namun kolaborasi riset antara Uni Soviet dan RRT dianggap sebuah tindakan politik penentangan terhadap Amerika Serikat sehingga Presiden Sukarno digulingkan pada 1966. Dengan satelit mandiri, Indonesia dapat memiliki kontrol penuh atas sistem dan operasinya. Negara dapat membuat kebijakan dan keputusan strategis tanpa harus mempertimbangkan kepentingan atau tekanan dari negara lain yang mungkin terlibat dalam teknologi satelit tersebut.

Salah satu contoh keberhasilan dalam pengembangan satelit dengan teknologi canggih dan keamanan tinggi adalah satelit kuantum buatan RRT. Investasi iptek dan SDM besar-besaran sejak tahun 1960an, membuat RRT saat ini menjadi raksasa teknologi yang mampu menyaingi Amerika Serikat. Pada tahun 2016, RRT meluncurkan Micius, satelit kuantum pertama di dunia yang mampu mengirimkan informasi dengan keamanan yang tidak bisa diretas. Satelit kuantum menggunakan prinsip-prinsip mekanika kuantum untuk mengamankan komunikasi. Dengan teknologi ini, setiap upaya untuk spionase atau meretas informasi akan langsung diketahui karena perubahan yang terjadi sampai di level partikel kuantum. Hal ini memastikan bahwa data yang dikirimkan tetap aman dan tidak bisa diakses oleh pihak yang tidak berwenang. Keberhasilan RRT menciptakan satelit kuantum patut dicontoh jika kita ingin mengejar kemandirian pengembangan teknologi komunikasi dan big data.

Kesimpulan

Pengembangan satelit secara mandiri adalah langkah penting bagi Indonesia untuk memastikan keamanan data dan mencapai kemandirian teknologi. Meskipun ada tantangan yang harus dihadapi, dengan investasi yang tepat, pengembangan sumber daya manusia, dan dukungan kebijakan yang memadai, Indonesia dapat mencapai tujuan ini. Contoh satelit kuantum Micius buatan RRT menunjukkan bahwa dengan komitmen dan inovasi, negara dapat mengembangkan teknologi canggih yang tidak hanya meningkatkan kemampuan komunikasi dan pengawasan, tetapi juga memastikan keamanan data yang tidak tertandingi. Indonesia sebagai negara terluas di Asia Tenggara, perlu mengikuti jejak ini agar menjadi pemimpin dalam teknologi satelit di Asia Tenggara dan memastikan bahwa data negara tetap aman dan terjaga kerahasiaannya. Sehingga peristiwa diretasnya Pusat Data Nasional tidak perlu terulang Kembali.

Daftar Referensi

A. Zanella, N. Bui, A. Castellani, L. Vangelista and M. Zorzi. (2014). Internet of Things for Smart Cities, IEEE Internet of Things Journal, vol. 1, no. 1, pp. 22-32, https://doi.org/10.1109/JIOT.2014.2306328

Castelvecchi, D. (2017). China's quantum satellite clears major hurdle on way to ultrasecure communications. Nature. https://doi.org/10.1038/nature.2017.22142

Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA). "About DARPA." https://www.darpa.mil/about-us/about-darpa

Encyclopedia Britannica. "History of Technology. https://www.britannica.com/technology/history-of-technology

Kominfo. (2024). Server PDN Diretas, Wapres Minta Investigasi dan Tidak Terulang di Masa Depan, https://www.kominfo.go.id/content/detail/57327/server-pdn-diretas-wapres-minta-investigasi-dan-tidak-terulang-di-masa-depan/0/berita

Krepinevich, Andrew F. (2002). The Military-Technical Revolution: A Preliminary Assessment. Center for Strategic and Budgetary Assessments

National Aeronautics and Space Administration (NASA). Sputnik and the Dawn of the Space Age. NASA History Office. https://history.nasa.gov/sputnik

Zhou, T, & Liu, Hong. (2012). China and the Shaping of Indonesia, 1949–1965. Singapore: NUS Press, in association with Kyoto University Press. The China Quarterly, 212, 1140–1142. doi:10.1017/S0305741012001415

Zhou, T. (2014). China and the Thirtieth of September Movement. Indonesia, 98, 29–58. https://doi.org/10.5728/indonesia.98.0029

Bagikan :