Menjadi ASN tentu bagi sebagian besar orang masih menjadi profesi impian. Mau Bukti? Silakan saja lihat di sekitar kita jika instansi pemerintah sedang mengadakan rekrutmen atau seleksi CPNS/CASN. Ratusan bahkan ribuan pelamar berbondong-bondong datang untuk mencari informasi, melengkapi dan menyerahkan kelengkapan berkas sebagai pendaftar kepada panitia seleksi.
Kenyataan ini didukung pula oleh kemapanan mindset atau pola pikir masyarakat khususnya generasi orangtua kita. Profesi idaman, berseragam dengan jabatan mentereng, kemudian kendaraan mewah plat berkelir merah merupakan beberapa alasan pendukung. Belum lagi "katanya" besarnya Tukin (Tunjangan Kinerja) di instansi pusat atau TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai) pada instansi daerah.
Bahkan sering ada semacam kelakar atau olok-olok bagi para pemuda yang masih single dan ingin menjemput jodohnya. Dengan profesi PNS, berseragam rapi dan gagah, tentu sebagian besar calon mertua akan luluh. Tampang boleh biasa saja mungkin, namun predikat dan seragam PNS bakal menjadi modal ampuh untuk menyilaukan mata calon mertua. Yang tadinya bakal ditolak, tapi mendengar profesi PNS, bisa saja calon mertua mengatakan "Ya" kepada si pemuda yang ingin menjemput anak perempuan yang dipacarinya. Dan restu untuk membangun rumah tangga pun katanya mudah didapat.
Padahal itu "katanya", kenyataannya belum tentu pasti seperti yang diperkirakan. Kita tentu sering dengar kelakar para juru bayar "TPP dipending", "TPP belum cair" atau bahkan SPPD belum jua ditransfer ke rekening pegawai. Alasannya satu, "Tidak Ada Uang". Entah, betulan tidak ada uang atau ada alasan yang lain. Misal, uang ada, tapi dipakai dulu untuk keperluan lain, dan lain sebagainya. Ini adalah perjalanan dan pengalaman yang sering dialami para #ASNPunyaCerita tentang juru bayar di instansi masing-masing.
Padahal, Badan Kepegawaian Negara (BKN) RI melalui Perka BKN Nomor 20/2011 sudah menginstruksikan agar tunjangan kinerja dibayarkan kepada pegawai sesuai peraturan dan regulasi yang berlaku. Peraturan Pemerintah (PP) bersama Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota dan Peraturan Bupati bahkan sudah mengatur soal pemberian tunjangan TPP kepada pegawai.
TPP diberikan dengan argumentasi demi perbaikan kesejahteraan dan remunerasi ASN, pangkat dan beban kerja masing-masing pegawai. Padahal kadangkala, distribusi besaran TPP juga masih tidak merata di kalangan pegawai. Ada yang kerjanya cukup padat dan produktif, namun karena golongannya masih rendah, maka ia menerima TPP dengan nominal yang lebih sedikit. Namun, ada pula pegawai senior, yang tidak produktif, tidak memiliki prestasi kerja, datang ke kantor hanya sekadar absen ceklok saja, namun menerima TPP yang besar. Mengapa? karena masa kerja dan golongan kepangkatan tentunya. Kiranya hal demikian menjadi perhatian BKN, Kementerian Keuangan atau para kepala daerah dalam menerbitkan regulasi yang berkeadilan.
Berbeda dengan swasta; jika seseorang bekerja rajin, produktif dan aktif mendatangkan keuntungan bagi perusahaan, pastilah ia akan menerima lebih dari karyawan lain umumnya yang bekerja biasa saja. Sedangkan di dunia pegawai negeri sipil, mau bekerja keras dan bekerja santai, yang diterima tetap sama, antara gaji dan tunjangan kinerja atau TPP. Inilah perbedaaan sistem remunerasi bagi pegawai negeri dengan karyawan swasta.
Seperti kita ketahui ada peribahasa khas Jawa Timur berbunyi "Jer Basuki Mawa Bea". Artinya adalah untuk mengukir suatu prestasi, kualitas dan pencapaian besar, memang dibutuhkan dana dan biaya. Jadi untuk mencetak pegawai negeri sipil yang profesional, bersih, anti KKN dan berintegritas, seyogianya diberikan insentif yang bisa memacu kinerja mereka. Demi remunerasi dan kesejahteraan yang berkeadilan.