Tahun 2025 milik para ASN dibuka dengan dinamika menarik yang notabene untuk pemilik penghargaan Satya Lancana Karya Satya X Tahun tampaknya baru terjadi sekali ini dialami. Entah kalau pemilik SLKS level berikutnya.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 perihal Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 benar-benar menjadi game changer yang drastis di awal tahun anggaran.
Mari lupakan dahulu diskusi perihal makna efisiensi secara leksikal dan kesesuaiannya dengan situasi yang terjadi. Sebelum beranjak, kita harus memahami terlebih dahulu konstruksi yang terjadi.
Mari mengacu pada Lampiran I UU Nomor 62 Tahun 2024 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025. Kita ambil sampel sejumlah Kementerian/Lembaga yang nomenklaturnya sama baik di Kabinet Indonesia Maju maupun Kabinet Merah Putih.
Kementerian Keuangan misalnya mendapat alokasi 53,195 triliun rupiah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 300,654 miliar rupiah. Adapun Badan Pusat Statistik memperoleh 5,705 triliun rupiah. Pada Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2023 yang menggambarkan anggaran TA 2024 alias periode sebelumnya, Kementerian Keuangan mengelola 48,708 triliun rupiah kemudian BPS 4,766 triliun rupiah. Artinya anggaran awal APBN 2025 memang di atas 2024. Menariknya anggaran Kementerian PPPA tahun 2024 itu adalah 311,636 rupiah miliar, alias anggaran awal APBN 2025 sekalipun sudah terlebih dahulu turun sekitar 11 miliar rupiah dibandingkan periode setahun sebelumnya.
Di periode efisiensi, anggaran Kemenkeu kemudian turun menjadi 44,20 triliun rupiah, Kementerian PPPA menjadi 153,767 miliar rupiah, dan BPS menjadi 4,11 triliun rupiah. Sebagai perbandingan nilai 44 triliun rupiah untuk Kementerian Keuangan itu setara dengan anggaran pada APBN 2022 sesuai Perpres 104 Tahun 2021. Untuk Kementerian PPPA, pada tahun 2022 tersebut masih ada anggaran 252 miliar rupiah. BPS di tahun segitu mengelola 5,691 trilun rupiah. Secara konstruksi anggaran, nominal APBN yang teralokasi di tahun 2025 ini lebih kecil dibandingkan periode menjelang akhir pandemi.
Ihwal pemotongan anggaran jelas bukan hal baru. Di tahun 2020 sudah pernah terjadi, kok. Pada 2020 itu juga anggaran turun dibandingkan periode 2019 dan semua komponen di birokrasi dapat melakukan penyesuaian. Saya cukup yakin bahwa para remah-remah birokrasi itu tetap akan cergas seperti biasanya. Paling mentok, mereka akan sambat di grup WhatsApp yang tidak ada strukturalnya.
Hal yang menarik dalam kondisi ini adalah bahwa generasi yang termasuk pusing adalah orang-orang yang baru menerima SLKS X Tahun atau yang akan menerimanya dalam 1-2 tahun ke depan. Orang-orang dengan masa kerja 8-10 tahun atau lebih sedikit telah berada di level middle manager walaupun memang delayering menjadikannya berai. Sebagian dari mereka menjalankan peran struktural tanpa jabatan struktural itu sendiri. Mereka menjadi orang-orang dengan label Ketua Tim tanpa ada insentif yang relevan. Kadang-kadang malah mereka jadi Ketua Tim dalam tataran fungsional Pertama, bahkan ada juga yang Pelaksana.
Pelaksana tapi Ketua Tim. Hebat sekali~
Orang-orang di level Ketua Tim ini yang tengah menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen atau Penanggung Jawab Ketatausahaan. Yah, sepenuhnya manajer lini pertama. Di kantor-kantor Unit Pelaksana Teknis dari instansi vertikal level Eselon III atau IV, sebagian dari mereka dengan masa kerja segitu sudah jadi kepala kantor dengan tim berstruktur minim. Hal ini sejalan dengan riset dari Hupe and Keiser (2019) orang-orang dengan level manajer lini pertama pada dasarnya merupakan pemain utama dalam kebijakan di birokrasi pada street-level. Istilahnya sih ujung tombak.
Di era delayering, para manajer lini pertama ini terbilang menjadi sandwich. Makin komplit kalau kebetulan mereka juga sandwich generation di hidupnya. Manajer lini pertama ini harus memfasilitasi anggota tim sekaligus menjembatani dengan ekspektasi pimpinan. Bagian terbaiknya adalah semuanya itu dilakukan tanpa jabatan yang dulu sering disebut Kepala Seksi atau Kepala Sub Bidang dan sejenisnya.
Di era efisiensi, mereka-mereka inilah yang harus melakukan koordinasi pembatalan kontrak dengan penyedia. Mereka-mereka juga yang harus ngobrol dengan penyedia tenaga alih daya untuk bisa mengurangi volume tenaga yang sudah kontrak pra-DIPA. Mereka pula yang harus berhadapan dengan tenaga-tenaga yang kemudian sempat dirumahkan.
Eh, pada sudah kembali bekerja kan?
Orang-orang di level ini kalau menurut Grassner dan Gofen (2018) dalam artikel Street-Level Management: A Clientale-Agent Perspective on Implementation menjalankan empat fungsi manajerial sekaligus mulai dari translasi, adaptasi, mobilisasi, dan artikulasi. Orang-orang inilah yang menjembatani policy making dengan direct delivery. Semuanya di mereka pokoknya.
Tanpa perlu ada diklat-diklat kepemimpinan lagi, efisiensi telah menjadi kausa untuk membuat perubahan dengan drastis. Lagipula, sebagai fungsional level Muda dengan potensi naik jadi Madya-nya rendah ada potensi untuk para manajer lini pertama dan terakhir alias bakal di situ-situ terus. Boleh jadi mereka akan berakhir sebagai Fungsional Muda yang menua dan tidak akan sempat merasakan jadi peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional di semua level.
Satu hal yang perlu dijaga adalah agar ketika orang-orang semacam ini akhirnya naik kelas, naiknya tetap di birokrasi. Tuntutan kebutuhan zaman agak sulit untuk tetap hidup katakanlah dengan gaji plus tukin 10 juta padahal kepala rumah tangga untuk hidup di kota sebesar Jakarta dan padahal pekerjaannya berdampak pada masyarakat maupun perekonomian. Orang-orang yang naik kelas umumnya memiliki kualitas diri yang menarik bagi sektor di luar pemerintahan, apalagi di bidang-bidang usaha yang spesifik dan elemen regulatorinya sangat kental. Ladang bagus itu untuk personil-personil berkualitas.
Sayang sih, bureaucracy bashing sudah terlalu mengakar sehingga lama-lama menyebabkan ladang pengabdian ini jadi kurang adem. Sebagaimana pernah saya tulis tentang talenta manajerial menyoal orang-orang yang punya pengalaman di sektor privat masuk ke birokrasi, sebenarnya talenta bagus itu banyak. Tentu saja, ketika yang banyak dan punya value itu tidak menemukan tempat yang tepat, ada potensi untuk berkontemplasi mencari ruang-ruang baru untuk bisa berkarya.
Yah, semoga saja tidak, sebab negeri ini normalnya perlu orang-orang seperti itu~