"tek...tak...tek...tak...tek" begitulah suara yang terdengar dari keyboard salah satu pengelola informasi di ruangannya yang tampak temaram. Sore itu, di awal bulan Februari, ia tampak rajin bekerja mengerjakan rapor pegawai berjuluk SKP (Sasaran Kinerja Pegawai). Suasana ruangan terasa panas tanpa semburan udara dari unit AC (Air Conditioner) berdaya 1/2 PK yang ada di ruangan. Hanya ada semburan kipas angin kecil milik pribadi yang dibawa dari kamar kosnya.
Ya, begitulah suasana ruang kerja salah seorang ASN yang menyandang NIP tahun 2019 di salah satu instansi pemerintah daerah tersebut. Bermodal pancaran sinar yang tersembul dari tirai jendela dan ditemani hembusan kipas angin, ia pun tetap melakukan input SKP untuk tahun 2025 dan bulan Januari 2025.
Sesekali keringat menetes pada kertas print A4 di depan komputer jinjingnya. Sehingga sesekali ia harus mengganti kertas A4 baru karena kertas sebelumnya sudah basah terkena keringat. Ia masukkan 10 lembar kertas A4 pada buritan printer agar SKP bisa dicetak sebagaimana mestinya untuk ditanda tangan.
AC dan lampu ruangan berdaya 45 watt tidak dinyalakan bukan karena rusak atau malfungsi. Namun karena terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Lantas sesakti apakah bunyi Inpres tersebut, sehingga AC dan lampu tidak boleh dinyalakan pada ruang kerjanya?
Inpres 1 tahun 2025 adalah inpres yang diterbitkan pemerintah tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025.
"Kita kena efisiensi. Anggaran ATK, pemeliharaan AC, tinta dan kertas di drop dulu untuk bidang. Jadi mulai tahun 2025 ini, tidak usah pakai AC dan lampu tidak usah dinyalakan. Cukup pakai AC alam dan lampu dari matahari saja" ujar sang Kepala OPD dalam rapat tahunan beberapa hari lalu. Sehingga sebagai anak buah, ia pun melakukan efisiensi yang kadangkala bertentangan dengan akal nuraninya.
"Percuma, saya sudah sempat sampaikan keberatan ke pimpinan. Tapi tidak ada feedback. Jadi tetap saja bekerja dengan versi efisiensi" ujar pegawai pelaksana tersebut. Jadilah dengan terpaksa, ia bekerja dengan bermacam kekurangan dan keterbatasan.
Memasuki tahun 2025, kocek pribadinya sudah habis sebesar 200.000 rupiah untuk keperluan ATK, tinta dan kertas yang notabene untuk keperluan kedinasan kantor. Tanpa ada kejelasan apakah pengeluaran bisa direimburse atau tidak, ia tetap bekerja dengan baik.
Sang pegawai milenial tersebut mendengar langsung dari pemberitaan di televisi, jika Inpres 1 Tahun 2025 memang sepengetahuan dan diteken langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Dengan dalil bahwa negara dapat menghemat 306,6 triliun rupiah, pemerintah beralasan perlu melakukan efisiensi. Padahal belum jelas benar apakah efisiensi ini akan berdampak langsung pada kepentingan rakyat atau tidak.
Sementara, di telinga kita masih akrab kita dengar, korupsi masih merajalela, aparat ditangkap karena mencuri uang rakyat, dan politik uang masih marak di pemerintahan kita.
Efisiensi katanya, tapi jabatan wakil menteri (wamen) malah bertambah. Efisiensi informasinya, tapi jumlah staf khusus dan staf ahli pejabat dengan segudang fasilitas masih berlangsung.
Jadi apa konsep efisiensi masih relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan kita? Satu sisi yang sini dilakukan efisiensi, sementara di sisi yang sana, korupsi kolusi dan pesta pora kebocoran anggaran hak rakyat masih terjadi?
Jadi, hari begini #NulisSembariDinas apa masih perlu Efisiensi? Memang bisakah Asta Cita terealisasi dan Bangsa Indonesia maju dengan Efisiensi?
Silakan dijawab sendiri sobat #EfisiensidanAdaptasi