10 tahun silam, Presiden ketujuh Republik Indonesia Ir.Joko Widodo "hadir" menuju tampuk singgasana kepemimpinan Republik Indonesia. Kala itu, ekspektasi dan harapan publik cukup tinggi pada Jokowi, dimana Jokowi hadir sebagai pengusung Revolusi Mental di Indonesia, bahkan sejak masa kampanye pemilihan presiden yang dihelat sejak pertengahan tahun 2014.
Bahkan political will presiden pun dibakukan dalam bentuk regulasi Instruksi Presiden (lnpres) No.12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental. Namun apa kabar wahai revolusi mental kini?
Penangkapan para maling dan garong uang rakyat pun kian menjadi-jadi tidak terkecuali bagi kalangan elit, khususnya eksekutif dan yudikatif. Masih hangat terdengar di berita penangkapan dan OTT (Operasi Tangkap Tangan) 3 oknum hakim di Kota Surabaya dan Jakarta pekan lalu.
3 hakim yang diduga bermain mata dengan terpidana kasus pembunuhan bernama Gregorius Ronald Tannur di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pun mulai mengungkap tabir. Ketiga hakim bernama Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo ditangkap petugas Kejaksaan Agung dan diduga keras menerima uang sogokan lebih dari 20 miliar rupiah terkait langkah mereka membebaskan Gregorius Ronald Tannur di depan muka persidangan.
Walhasil, pucuk dicinta ulam pun tiba. 3 hakim korup tersebut ditangkap dan dijebloskan ke tahanan, sementara Gregorius Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan teman wanitanya, kembali diringkus aparat hukum dan kembali harus dihukum dan menerima vonis hukuman melalui persidangan. Mantap betul!
Tidak hanya sampai disitu, aparat penegak hukum yang dikomandoi Kejaksaan Agung pun tidak berhenti sampai situ. Aparat Korps Adhyaksa Blok M terus bergerak mengendus aliran dana uang sogokan tersebut. Dan tibalah hingga penetapan tersangka dan penetapan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Riccar yang digelandang ke proses hukum. Zarof diduga kerapkali menerima uang sogokan bahkan hingga mencapai triliunan rupiah!
Sosok yang tidak pantas menyandang gelar dan jabatan di Mahkamah Agung bahkan lebih cocok disebut sebagai pengkhianat bangsa dan penyelingkuh hukum. Bahkan mungkin yang bersangkutan cocok menyandang predikat dibawah sampah masyarakat menurut hemat kami sebagai penulis.
Belum lagi penetapan tersangka Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong baru baru ini. Terkait kasus impor gula, Tom sapannya harus rela digelandang dengan rompi tahanan kejaksaan agung.
Nah, rentetan kejadian peristiwa hukum diatas tentu mengguratkan keprihatinan kita sebagai bangsa. Kiranya penegakan hukum menjadi salah satu fokus perbaikan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, transparan, akuntabel dan anti KKN oleh Presiden Prabowo Subianto dengan jajaran Kabinet Merah Putih era 2024 - 2029.
Terlebih nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Republik Indonesia cenderung stagnan bahkan menurun. Skor Republik Indonesia hanya di angka 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara pada Tahun 2022.
Skor yang sama yakni 34 yang pernah diraih Republik Indonesia pada tahun 2014 sama dengan skor pada Tahun 2024 yakni 34 dalam konteks Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Artinya skor IPK kita jalan di tempat dan tidak melangkah maju sejengkal pun sejak tahun 2014 hingga tahun 2024.
Bangsa Indonesia mungkin sudah muak dengan tontonan para tersangka pelanggar hukum khususnya koruptor yang dipertontokan kepada publik layaknya drama sinetron. 26 tahun sudah bangsa kita melangkah dari zaman reformasi. Kiranya semangat reformasi juga menggelegar di kalangan elit dan penyelenggara negara, dan bukan hanya semangat dari rakyat jelata.
Terkhusus Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berdasar nomenklatur oleh Keputusan Presiden terbaru menjadi dipecah 3 kementerian, yakni Kementerian Hukum, Kementerian HAM dan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Kiranya betul memang negara ini ingin fokus pada persoalan hukum, dan bukan hanya melahirkan nomenklatur baru yang nantinya akan memunculkan para calon koruptor baru atau memboroskan anggaran dari uang rakyat. Semoga tidak terjadi.