WFA ATAU FWA, NAKES: “APAAN ITU?”

Gambar sampul WFA ATAU FWA, NAKES: “APAAN ITU?”

Utak-atik istilah untuk menggambarkan mekanisme kerja baru yang akan diterapkan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam merespon adanya kebijakan efisiensi pemerintah terus digenjot. Mulai dari Work from Home (WFH), kemudian Work from Anywhere (WFA) hingga yang terkini Flexible Working Arrangement (FWA) yang dirilis oleh Menpan-RB di media sosialnya. Istilah FWA paling menguat sebab dianggap sesuai dengan Perpres Nomor 21 Tahun 2003 tentang Hari Kerja dan Jam Kerja Instansi Pemerintah dan Pegawai ASN serta PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). FWA ini dapat memberikan fleksibilitas tentang hari kerja dan lokasi kerja ASN sesuai kebutuhan instansinya masing-masing.

Namun di kalangan ASN yang bekerja di sektor pelayanan publik, desas-desus tersebut nampaknya tidak terlalu berpengaruh, termasuk pada ASN di sektor pelayanan kesehatan, seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Puskesmas yang mengampuh dua pelayanan yaitu pelayanan dalam gedung dan luar gedung tetap harus on kantor. Alih-alih pengurangan hari kerja, yang ada malah kerap penambahan waktu kerja akibat jumlah masyarakat yang mesti tetap terlayani dan berbagai beban administrasi. Hari kerja pun selama ini mayoritas masih 6 hari kerja, dengan diselingi harus berjaga 1x24 jam. Fleksibilitas lokasi kerja? Mustahil! sebab Standar Operasional Prosedur pelayanan kesehatan wajib dilakukan di pelayanan kesehatan pula. Yakali ada orang kecelakaan diperiksa via zoom, bisa viral itu.

Di sisi lain, efisiensi anggaran ini turut menimbulkan kecemasan bagi ASN Puskesmas yang sehari-harinya bertugas di lapangan. Isu bahwa efisiensi turut berdampak pada Biaya Operasional Kesehatan (BOK) dikhawatirkan memberikan dampak langsung kepada kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan preventif dan promotif di masyarakat (meskipun sejauh ini belum ada informasi perubahan pagu anggaran).

Puskesmas yang seyogyanya mengampuh tugas preventif dan promotif kesehatan dapat semakin bergeser ke ranah kuratif jika efisiensi ini berdampak pada alokasi kegiatan di sektor pencegahan dan pengendalian penyakit. Tentu saja hal ini sangat kontra-produktif dengan cita-cita pembentukan Puskesmas itu sendiri. Bagi ASN Puskesmas yang bekerja sebagai petugas lapangan, efisiensi ini akan menjadi bentuk kontemplasi diri yang nyata. Apakah akan tetap survive untuk terus berkunjung dari satu desa ke desa lainnya, atau malah akan mengalami demotivasi?

Pertanyaan kritis ini agaknya hanya dapat dijawab oleh masing-masing individu. Namun, secara pribadi, semestinya efisiensi ini tidak kemudian serta merta menyebabkan hilangnya berbagai kegiatan lapangan. Sebab, bagi mereka yang telah lama menggeluti tugas lapangan, bertemu langsung dengan masyarakat, mendengar curhatan mereka sembari menyisipkan pengetahuan-pengetahuan kesehatan merupakan sebuah seni tersendiri. Bahkan acapkali, kita mendapatkan buah tangan dari masyarakat. Bahkan di beberapa kesempatan malah diberikan ide side hustle, meski masih berakhir wacana.

Di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) misalkan, menjadi sebuah kepuasan tersendiri bagi tenaga kesehatan melihat orang tua balita tersenyum bahagia melihat kenaikan berat badan anaknya. Menjadi kebahagiaan tersendiri melihat ibu-ibu kader yang dulunya hanya punya keterampilan menimbang, kini sudah bisa mengisi berbagai format pelaporan. Dan alangkah senangnya merasakan betapa antusiasme yang luar biasa dari masyarakat mendengarkan satu per satu celotehan kesehatan yang dilemparkan kepada mereka. Hal-hal seperti inilah yang hanya bisa dirasakan dengan berbaur langsung dengan masyarakat.

Oleh karenanya, jika harus mengutip satu kata bijak sebagai kontemplasi diri di masa efisiensi ini, maka saya akan berujar pada diri sendiri ”Tetap cintailah pekerjaanmu hari ini. Meski belum membuat kita menjadi kaya, namun setidaknya sudah membuat kita dapat tetap bertahan hidup”. Ubur-ubur Ikan Lele, Sekian Le.

Bagikan :