Waktunya Birokrat Berdampak Tanpa Korupsi dan Pungli

Gambar sampul Waktunya Birokrat Berdampak Tanpa Korupsi dan Pungli

Birokrat sebagai subjek yang bertindak langsung berdasarkan jabatan dan aturan yang sudah ditetapkan dalam sistem administrasi pemerintahan merupakan unsur krusial sebagai kaki tangan jalannya roda pemerintahan. Tanpa birokrat, birokrasi yang telah tersistem dengan baik tentu tidak akan dapat berjalan secara semestinya. Tetapi, sistem birokrasi yang telah didesain dengan baik tidak serta merta dapat berjalan baik tanpa didukung oleh kompetensi birokrat yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari grand desain birokrasi pemerintahan Indonesia yang secara komprehensif telah didesain secara detail melalui beberapa peraturan perundang-undangan, agar roda pemerintahan dapat berjalan secara sistematis, terstruktur dan efisien.

Maraknya kasus korupsi dan praktik pungli yang mencuat melalui media sosial pada birokrasi negeri ini membuat kita sebagai warga negara merasa sangat prihatin atas keadaan birokrasi kita. Birokrasi yang menjadi wajah pemerintahan dalam konteks pelayanan masyarakat seharusnya dijalankan dengan koridor pelayanan yang berorientasi pada penerapan prinsip-prinsip good governance. Akan tetapi, praktik-praktik tersebut kemudian menjadi noktah negatif dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang ideal.

Praktik rasuah dan pungli menjadi masalah klasik dalam birokrasi negeri ini. Seperti bukan barang baru lagi jika muncul headline berita tentang kasus-kasus korupsi dan pungli di negeri ini. Praktik pemberian buah tangan atau pelicin untuk melancarkan proses pelayanan publik sudah seperti adat, bahkan seperti kewajiban tidak tertulis yang dibebankan kepada masyarakat. Jadi tidak sedikit masyarakat, ketika hendak mengakses layanan publik, selain membawa dokumen persyaratan, mereka juga membawa amplop. Bukan untuk dijadikan wadah dokumen persyaratan, tetapi untuk membungkus buah tangan tersebut agar prosesnya tidak tersendat. Sungguh miris bukan ?

Kritik masyarakat yang semakin membahana terkait praktik negatif demikian menjadikan masyarakat kini sedikit sensi dengan orang-orang yang bekerja dalam birokrasi. Bahkan pegawai yang ada di hierarki paling rendah pun terkena dampaknya. Pada akhirnya, timbul gap kepercayaan antara masyarakat dengan birokrat. Ini menjadi problem sosial yang dapat berpotensi pada terciptanya keadaan disorder yang membahayakan bagi jalannya sebuah roda pemerintahan. Massifnya kritik yang dianggap meyudutkan para birokrat dalam urusan pelayanan publik tidak hanya muncul karena tidak sukanya masyarakat terhadap para birokrat. Tapi itu muncul karena para birokrat tidak dapat mengejawantahkan prinsip-prinsip good goverance dalam proses pelayanan publik, sehingga masyarakat merasa kecewa atas keadaan tersebut.

Diaku atau tidak, kritik tersebut memang menampilkan wajah birokrasi kita yang sangat butuh akan perubahan. Bukan tidak mungkin jika praktik demikian akan semakin tumbuh subur jika kesadaran para birokrat tidak segera digugah untuk bangun dan sadar bahwa praktik ini adalah tindakan yang merugikan negara dan masyarkat. Bagaimana tidak ? dengan dijadikannya korupsi dan pungli sebagai sebuah adat dan budaya, sangat tidak mungkin masyarakat dapat mengakses pelayanan publik secara adil dan cepat. Jika ini tidak segera ditindaklanjuti, nilai urgensi birokrat dalam tata kelola pemerintahaan akan dinihilkan.

Birokrat sebagai subjek urgen dalam tata kelola pemerintahan secara ideal harus dapat menempatkan dirinya sebagai sosok penolong yang arif dan akuntabel. Beban tanggungjawab yang telah disematkan kepada birokrat harus dipahami sebagai amanah yang tidak dapat ditukar hanya dengan uang receh. Secara konsekuen, para birokrat harus dapat mewakafkan dirinya untuk kepentingan khalayak ramai. Konsep mewakafkan diri artinya adalah seorang birokrat harus dapat mengikhlaskan dirinya menjadi pelayanan masyarakat, tanpa berorientasi untuk mencari keuntungan dari pelayanan yang telah diberikan. Kesan ini memang terbilang mudah untuk diucapkan, tetapi pada praktiknya, tidak sedikit para birokrat yang memahami konsep mewakafkan diri sebagai pelayan masyarakat hanya sebatas jargon yang ditulis dalam banner dan spanduk di depan ruang PTSP semata. Dibalik itu semua, ada tangan yang menodong masyarakat agar memberikan “buah tangan” sebagai “pelicin” agar urusannya dilancarkan.

Praktik rasuah demikian sudah seyogyanya tidak dijadikan sebagai karakter seorang birokrat. Sudah waktunya para birokrat kini bedampak bagi masyarakat tanpa embel-embel buah tangan untuk menjadikan dirinya bergerak melayani masyarakat. Apa susahnya memberikan layanan yang baik kepada masyarakat tanpa harus menengadahkan tangan layaknya seorang pengemis? Rasa-rasanya, petuah leluhur kita telah jelas mengatakan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Seharusnya ini menjadi filosofi yang dapat diejawantahkan dalam proses melayani masyarakat dengan cara memberikan kompetensi terbaik kita dalam pelayanan publik, sehingga praktik rasuah dan pungli dapat diminimalisir, bahkan dihilangkan dalam pelayanan birokrasi kita.

Mari tanamkan dalam diri kita masing-masing bahwa penghargaan tertinggi bagi kita (para birokrat) dalam urusan pelayanan publik bukanlah menjadi birokrat kaya dari uang haram hasil menodong masyarakat. Penghargaan tertinggi adalah apresiasi dan puasnya masyarakat atas pelayanan yang kita berikan. Saya percaya, bahwa di era disrupsi seperti sekarang ini, moral value setiap orang akan semakin meningkat di tengah banyaknya instrumen yang dapat dijadikan sebagai media pengawasan, sehingga hal demikian setidaknya menuntut seseorang untuk bertindak secara akuntabel dan berintegritas dalam menjalankan tugas pelayanannya. Tapi tidak cukup hanya dengan pengawasan saja, harus ada kesadaran yang tumbuh dalam diri para birokrat kita bahwa berdampak kepada masyarakat tak harus menunggu upeti yang dibawa masyarakat untuk menjadikan diri kita bergerak.

Bagikan :