Pemekaran wilayah kembali menjadi topik pembicaraan publik di Jawa Barat. Wacana ini tidak lagi bersifat samar, peta dan nomenklatur lima provinsi baru tersebut bahkan telah disimulasikan oleh sejumlah kelompok masyarakat: Provinsi Sunda Pakuan, Sunda Priangan, Sunda Taruma/Bagasasi, Sunda Caruban, dan Sunda Galuh. Masing-masing wilayah membawa argumentasi historis, identitas budaya, dan aspirasi administratif.
Dari kacamata kebijakan publik, pemekaran provinsi adalah bentuk desentralisasi lanjutan. Tujuannya tak lain adalah untuk mendekatkan layanan pemerintah kepada warga, mempercepat pembangunan wilayah, dan mendorong efisiensi tata kelola. Namun idealisme itu hanya dapat terwujud jika langkah pemekaran ditopang oleh kesiapan struktural dan sumber daya birokrasi yang memadai.
Sejauh ini, kita belum melihat kajian kebijakan menyeluruh mengenai implikasi pemekaran Jawa Barat dari sisi kelembagaan. Padahal, pemekaran bukan hanya soal memisahkan wilayah di peta administratif. Ia adalah proses menciptakan sistem baru dari nol: dari pembentukan organisasi perangkat daerah (OPD), rekrutmen aparatur sipil negara (ASN), pembangunan kantor layanan, hingga perancangan tata kelola anggaran.
Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa pemekaran tanpa kesiapan aparatur dan kelembagaan hanya akan melahirkan birokrasi yang gemuk namun lemah. Banyak daerah hasil pemekaran justru kesulitan mengisi jabatan struktural dengan SDM yang kompeten, karena pasokannya belum sebanding dengan struktur organisasi baru. Akibatnya, layanan publik tersendat dan kapasitas pemerintahan lokal tidak berkembang sesuai harapan.
Dari perspektif sumber daya aparatur, pembentukan provinsi baru akan membutuhkan sedikitnya: Ratusan jabatan struktural eselon untuk level provinsi, baik dalam sekretariat daerah maupun perangkat dinas; Ribuan ASN dari berbagai rumpun jabatan (administrasi, teknis, fungsional); Proses mutasi, redistribusi, dan rekrutmen baru yang bersifat lintas kabupaten/kota; dan Pelatihan dan pembinaan aparatur untuk membentuk budaya kerja dan kompetensi dasar di wilayah pemerintahan baru
Bukan pekerjaan ringan. Dan tidak pula murah. Anggaran yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur birokrasi satu provinsi baru diperkirakan mencapai triliunan rupiah, apalagi jika dilakukan sekaligus untuk lima wilayah.
Di sisi lain, belum ada sinyal kuat dari pusat bahwa pemekaran ini menjadi prioritas. Sebab, pasca-moratorium pemekaran daerah sejak 2014, pemerintah hanya membuka peluang pemekaran dalam skala terbatas dan sangat selektif. Bahkan wacana penguatan daerah otonomi tidak selalu identik dengan penambahan daerah administratif, melainkan bisa diwujudkan lewat penguatan peran kewilayahan atau kawasan strategis pembangunan.
Jika memang daerah-daerah di Jawa Barat merasa terpinggirkan atau tertinggal secara pembangunan, seharusnya pendekatan penguatan klaster kawasan dapat dijadikan alternatif. Misalnya, pembentukan Badan Otorita Cirebon Raya, Priangan Timur, atau Bogor Raya, yang mendapat kewenangan khusus dalam perencanaan, penganggaran, dan pelayanan publik lintas kabupaten/kota. Model ini tidak membutuhkan pembentukan provinsi baru, namun dapat menjawab kebutuhan pemerataan secara lebih fleksibel dan murah.
Dari sudut pandang kebijakan publik, yang utama bukan pada pemekaran atau tidak, melainkan bagaimana memastikan pelayanan publik yang cepat, merata, dan responsif. Jika birokrasi baru dibentuk namun tidak memperbaiki kualitas pelayanan, maka esensinya menjadi hilang. Justru hanya memperbesar beban fiskal tanpa kontribusi nyata bagi warga.
Oleh karena itu, jika pemekaran tetap akan diusulkan, maka pemerintah pusat perlu menyiapkan skema transisi kelembagaan yang matang. Mulai dari tahapan assessment SDM aparatur, desain organisasi pemerintahan, grand design kelembagaan provinsi, hingga road map integrasi pelayanan publik dan infrastruktur. Tanpa itu, pemekaran justru bisa melahirkan disorganisasi tata kelola.
Jawa Barat, dengan segala potensinya, bisa menjadi laboratorium reformasi kebijakan wilayah yang inklusif dan berbasis kebutuhan nyata. Pemekaran seharusnya bukan jalan pintas, melainkan opsi strategis yang hanya diambil jika benar-benar siap, baik dari sisi regulasi, fiskal, maupun kapasitas sumber daya manusianya.