Tunjangan Kinerja, Untuk Apa?

Gambar sampul Tunjangan Kinerja, Untuk Apa?

Dahulu kala, sebelum profesi ASN menjadi primadona seperti sekarang, saat penghasilan abdi negara tak lebih banyak dari penghasilan kuli panggul di pasar. Dulu, belum ada istilah tunjangan kinerja, remunerasi, sertifikasi, atau apapun itu namanya. Hanya ada komponen gaji pokok yang tak seberapa. Semakin berkembangnya zaman, berkembang pula sistem per-ASN-an. ASN tak lagi sekedar profesi yang gajinya hanya cukup untuk makan sebulan, kini penghasilannya bahkan cukup untuk mencicil mobil sedan. Apalagi untuk ASN di "Kementerian Sultan". Lho, apa yang membedakan?

Ternyata, komponen tunjangan kinerja memberikan dampak yang cukup besar terhadap total penghasilan ASN. Berdasarkan Pasal 80 Undang-Undang ASN Nomor 5 tahun 2014, disebutkan bahwa selain gaji, PNS juga menerima tunjangan kinerja. Komponen tunjangan kinerja ini besarannya tidak dapat disepelekan, namun juga tidak dapat dikatakan mensejahterakan. Kenapa? karena nominalnya cukup besar, namun jika dibandingkan dengan penghasilan dari bekerja di sektor swasta berkelas, tentu tak sepadan.

Sebetulnya, untuk apa tujuan pemberian tunjangan kinerja ini? Seiring dengan pemberian tunjangan kinerja, semakin banyak pula tuntutan ASN untuk berkinerja. Sesuai dengan namanya, tunjangan "kinerja", tentu dasar penentuannya adalah kinerja. Baik itu kinerja lembaga yang tercermin dalam kelas K/L. Hal inilah yang menjadi dasar pemberian tunjangan yang berbeda-beda untuk masing-masing K/L. Pun juga kinerja individu yang tercermin dalam kelas jabatan dan dibayarkan berdasarkan persentase capaian kinerja setiap bulannya. Itulah mengapa besaran tunjangan kinerja untuk masing-masing individu dalam satu K/L yang sama juga bisa berbeda.

Yang menjadi pertanyaan, apakah sistem penentuan tunjangan kinerja ini sudah ideal pada praktiknya? Nyatanya, yang saya alami dan saya rasakan, kondisi di lapangan masih jauh dari ideal. Pengukuran kinerja yang belum jelas acuannya, menjadi salah satu penyebabnya. Apakah masuk kerja dengan rajin dan tepat waktu itu cukup menjadi acuan bahwa seorang ASN berkinerja? Apakah menyelesaikan pekerjaan tepat waktu walaupun belum tercapai targetnya itu bisa dikatakan berkinerja? Atau sebaliknya, apakah seorang ASN yang mampu mencapai target kinerja walaupun terlambat dapat dikatakan berkinerja? Siapa yang berhak memberikan penilaian kinerja untuk masing-masing individu? Bagaimana tingkat objektivitas dalam proses penilaian kinerja tersebut? 

Selama ini, sistem penilaian kinerja yang didasarkan pada kombinasi antara kehadiran dan laporan kinerja nyatanya belum ideal di lapangan. Laporan kinerja harian yang dapat dibuat dengan metode mengarang indah pun nyatanya masih diterima. Belum lagi, ada yang hadir dan pulang tepat waktu, namun di tengahnya bolong saja, seperti donat, tapi tunjangan kinerjanya tetap aman. Memang tidak banyak, tapi tetap saja, menimbulkan kecemburuan sosial. Ada yang hadir terlambat satu menit saja, dipotong tunjangan kinerjanya. Padahal dia bekerja sampai larut malam secara sukarela dan cuma-cuma dengan seabrek pekerjaan yang seharusnya menjadi beban bersama. Apakah ini sudah sesuai dengan filosofi dan tujuan awal diberikannya tunjangan kinerja?

Mari kita refleksikan bersama. Dan, semoga saja suatu saat nanti akan berubah sistemnya. Menjadi lebih adil dan sesuai tujuan. Sehingga siapa yang memang berkomitmen dan berkinerja, akan memperoleh hak sesuai dengan porsinya. Seperti tercantum dalam sila kedua, bukan? 

 

 

Bagikan :