Transparansi yang Terbata-bata : Catatan Kritis atas Penanganan Aduan

Gambar sampul Transparansi yang Terbata-bata : Catatan Kritis atas Penanganan Aduan

Oleh: Agus Salim, S.Kom, M.Kom
Pranata Komputer Ahli Muda, Dinas Kominfo Kota Padang


Pendahuluan

Layanan pengaduan publik merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, terbuka, dan akuntabel. Kanal aduan berfungsi sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah, serta menjadi instrumen kontrol sosial yang sah terhadap pelayanan publik. Setiap aduan yang masuk sejatinya harus dicatat, dianalisis, dan ditindaklanjuti secara objektif tanpa pandang bulu.

Namun dalam praktik birokrasi, tak jarang transparansi menghadapi kendala dari dalam. Salah satu fenomena yang kerap muncul adalah ketika pengelola layanan aduan bersikap tegas terhadap laporan yang menyasar instansi lain, namun menjadi enggan atau bahkan menolak mencatat aduan yang menyinggung instansinya sendiri. Di sinilah transparansi mulai terbata-bata.


Fenomena Munafik Administratif

Fenomena ini mengemuka di beberapa instansi, di mana pejabat atau admin layanan aduan publik memainkan dua wajah: satu tegas demi citra, dan satu lagi culas demi menyelamatkan performa unit kerjanya. Hal ini menciptakan kesenjangan etika pelayanan: ketika profesionalisme dan moralitas tak berjalan sejajar.

Alih-alih mencatat semua aduan secara objektif, sebagian oknum sengaja tidak membuat tiket pengaduan terhadap instansi sendiri  dengan alasan “nanti berdampak pada penilaian kinerja”. Praktik ini merupakan bentuk manipulasi data pelayanan, pelanggaran etika ASN, dan cermin dari budaya birokrasi yang masih penuh kepalsuan.


Tinjauan Regulasi dan Etika Pelayanan Publik

1. Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Mengamanatkan bahwa penyelenggara pelayanan wajib memberikan sarana pengaduan dan menjamin prosesnya dilakukan secara transparan dan berkeadilan.

2. Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Menekankan pentingnya asas keterbukaan dan akuntabilitas dalam setiap tindakan pejabat publik.

3. PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil

Menegaskan kewajiban ASN untuk bertindak jujur, adil, dan objektif dalam melaksanakan tugas serta tidak melakukan manipulasi data.


Dampak Sistemik dari Transparansi yang Terseleksi

  1. Distorsi Data Layanan Publik
    Tanpa pencatatan resmi, data pengaduan menjadi tidak valid dan dapat menyesatkan pimpinan dalam mengambil keputusan.

  2. Ketimpangan Penanganan Aduan
    Ada kesan bahwa instansi tertentu selalu "bersih", padahal hanya karena laporan terhadapnya tidak diproses secara formal.

  3. Menurunnya Kepercayaan Masyarakat
    Ketika masyarakat sadar bahwa sistem aduan tidak diperlakukan setara, mereka akan enggan menggunakan saluran resmi.


Rekomendasi: Mendorong Perubahan yang Substansial

  • Audit Internal dan Eksternal Berkala
    Untuk menjamin seluruh aduan diproses tanpa pandang bulu.

  • Digitalisasi dengan Jejak Audit Transparan
    Supaya tidak ada aduan yang bisa dihapus tanpa proses resmi.

  • Pemisahan Peran Pengelola dan Objek Aduan
    Menjaga independensi dan menghindari konflik kepentingan.

  • Pelatihan Integritas ASN secara Berkelanjutan
    Supaya prinsip moral tidak kalah oleh kepentingan citra.


Penutup: Buka Topeng, Bangun Integritas

Integritas tidak diukur dari tampilan luar atau kata-kata yang manis, melainkan dari keberanian bersikap adil bahkan ketika itu menyakitkan diri sendiri. Ketika seorang pejabat hanya berani bertindak terhadap instansi lain, namun takut menghadapi kenyataan di rumah sendiri, maka ia sedang menodai sumpah jabatan dan mencederai hak rakyat.

Membangun kepercayaan publik bukan dengan menyembunyikan masalah, tapi dengan keberanian menyelesaikannya secara terbuka. Karena dalam dunia birokrasi, citra bisa dibuat-buat, tapi data dan kejujuran akan selalu menemukan jalannya.

Bagikan :