TRANSPARANSI ATAU ILUSI? MENELUSURI JALAN BERLIKU IMPLEMENTASI SISKEUDES

Gambar sampul TRANSPARANSI ATAU ILUSI? MENELUSURI JALAN BERLIKU IMPLEMENTASI SISKEUDES

TRANSPARANSI ATAU ILUSI? MENELUSURI JALAN BERLIKU IMPLEMENTASI SISKEUDES

Oleh : Damianus Naijes

 

Pendahuluan

Digitalisasi tata kelola desa telah menjadi agenda nasional dalam mewujudkan reformasi birokrasi dan penguatan akuntabilitas publik. Salah satu inovasi yang diusung pemerintah adalah Sistem Keuangan Desa (Siskeudes), yang dirancang untuk menstandarkan dan mendigitalisasi pengelolaan keuangan desa. Di atas kertas, sistem ini menjanjikan transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas. Namun, apakah janji tersebut benar-benar terwujud di lapangan, atau justru hanya menjadi ilusi dalam praktik kebijakan publik?

Antara Teknologi dan Praktik Sosial

Siskeudes lahir dari semangat e-government, tetapi pelaksanaannya di desa tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial, budaya, dan struktur birokrasi lokal. Dalam banyak kasus, terjadi kesenjangan antara desain sistem yang ideal dan implementasi di lapangan. Aparat desa sering mengalami kesulitan teknis, keterbatasan pelatihan, dan ketergantungan pada satu atau dua operator. Kondisi ini memperlihatkan bahwa sistem yang 'cerdas' tidak serta merta menghasilkan praktik yang transparan jika tidak didukung oleh kapasitas dan konteks lokal yang memadai.

Peran Street-Level Bureaucrats

Teori Street-Level Bureaucracy (Lipsky, 1980) menjelaskan bahwa pelaksana kebijakan di level bawah memiliki diskresi tinggi dalam menentukan bagaimana kebijakan dijalankan. Aparat desa bukan sekadar mengikuti sistem, tetapi juga mengadaptasinya sesuai kebutuhan, tekanan sosial, bahkan kepentingan politik. Akibatnya, terjadi praktik manipulatif atau simbolik dalam pelaporan, di mana sistem digunakan untuk memenuhi kewajiban administratif semata, tanpa menjadi alat kontrol sosial yang sesungguhnya.

Diskoneksi antara Sistem dan Masyarakat

Salah satu persoalan mendasar adalah terbatasnya akses dan pemahaman masyarakat terhadap sistem keuangan digital ini. Transparansi yang dijanjikan hanya terjadi secara vertikal (dari desa ke pemerintah kabupaten atau pusat), bukan horizontal (dari desa ke warganya). Padahal, transparansi sejati mestinya memungkinkan warga desa mengetahui, memahami, dan mengontrol penggunaan dana publik. Di sinilah letak ilusi transparansi: sistem ada, tetapi tak dimaknai dan tak diakses oleh mereka yang paling berkepentingan.

Integrasi E-Government dan Tata Kelola Kolaboratif

Siskeudes masih didekati secara teknokratik, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip collaborative governance. Tidak cukup dengan sistem digital, partisipasi warga, deliberasi publik, dan penguatan kapasitas lokal harus menjadi bagian dari ekosistem kebijakan. Dengan pendekatan kolaboratif, desa bisa menjadi subjek dari tata kelola, bukan hanya objek dari sistem. Inilah celah yang perlu diisi agar transparansi digital tidak menjadi monumen birokrasi, tetapi sarana demokrasi lokal yang hidup.

Penutup

Transformasi digital dalam pemerintahan desa melalui Siskeudes adalah langkah maju, namun belum cukup. Ketika sistem tidak menyatu dengan praktik sosial dan kapasitas lokal, maka yang tersisa hanyalah lapisan simbolik dari akuntabilitas. Penelitian dan kebijakan ke depan perlu lebih sensitif terhadap dinamika lokal, memberikan ruang diskusi lintas aktor, dan mengintegrasikan nilai-nilai keadilan sosial dalam rancangan teknologi. Dengan demikian, transparansi tidak lagi menjadi ilusi, tetapi realitas yang mengakar dan berdaya guna.

Desa maju, Indonesia sejahtera..

Salam berdesa…

Bagikan :
Tag :