Saat masih duduk di jenjang kelas Menengah Pertama, menjadi pemimpin Indonesia adalah hal yang tidak pernah saya pikirkan. Berasal dari kota kecil membuat saya berpikiran bahwa politik adalah hal yang sangat jauh dari saya. Ya, politik merupakan sesuatu yang tidak mungkin saya raih terutama karena saya adalah seorang minoritas. Bahkan, saat itu saya merasa bahwa terjun ke dalam politik adalah hal kotor, adalah hal yang bodoh sekali, dan bahkan memori tentang menertawakan teman saya yang saat itu ingin menjadi pemimpin Indonesia masih ada. Seiring berjalannya waktu, saya terus belajar untuk menjadi orang yang kritis, belajar bersama ayah saya untuk menanggapi permasalahan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai orang awam biasa. Sejalan dengan hal itu, sebuah organisasi mahasiswa kedokteran, CIMSA, mengungkapkan jati diri saya bahwa duduk di kursi pemerintahan sudah menjadi hasrat.
Visi itu datang dan melekat dalam pikiran saya, bahwa saya harus menjadi seorang Kepala Dinas Kesehatan, lalu menjadi Menteri Kesehatan suatu hari nanti. Tanpa memungkiri sedikit pun, saya merasa sebenarnya bahwa visi tersebut merupakan visi yang gila. Namun, di saat yang sama semakin saya memelajari dunia kesehatan, semakin saya merasa miris terhadap kenyataan yang ada. Indonesia, sebuah negara kepulauan yang Indah dengan sumber daya alam yang begitu melimpah, hanya menduduki peringkat 91 dari 188 negara untuk tingkat kesehatan. Namun, bagaimana saya dapat banyak bersikap apabila hanya 85 Triliun Rupiah uang yang dialokasikan untuk kesehatan dari 3.061,2 Triliun Rupiah APBN Indonesia 2023.
Saat ini, pembangunan kesehatan Indonesia sama sekali belum selesai. Ada sangat banyak bukti seperti banyaknya orang yang masih memilih untuk berobat di luar negeri daripada di negara sendiri. Pembangunan kesehatan terus bertemu dengan tantangan-tantangan seperti terbatasnya sinergi/harmonisasi antarkebijakan, kebijakan yang tidak segera dilaksanakan dengan cepat di berbagai daerah dan kurang bermutunya berbagai program pelayanan kesehatan. Tantangan yang sudah menahun tersebut terus menggerogoti sistem kesehatan Indonesia. Tantangan ini hanya bisa dijawab oleh orang-orang kreatif, yang memiliki kemampuan dengan duduk di kursi pemerintahan untuk membuat inovasi kebijakan publik. Tidak cukup dengan kreatif, orang-orang ini juga harus merupakan orang yang resilien dengan prinsip kecintaan yang kuat terhadap tanah air, mau terus belajar dan memiliki kemampuan sosial.
Pemikiran dasar dalam pembangunan kesehatan harus dimiliki oleh seluruh pemangku kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan, dari Presiden hingga Ketua RT. Dengan penyamaan visi di awal, penetapan fokus saat terus melakukan transformasi kesehatan, perlahan tapi pasti, kesehatan di Indonesia bisa lebih maju. Sebagai calon pemimpin bangsa, saat ini saya membayangkan imunisasi dasar yang disediakan pemerintah dapat diperlengkap, penyesuaian gaji tenaga kesehatan, integrasi rekam medis, pembangunan berbagai fasilitas kesehatan di seluruh daerah diikuti pemerataan tenaga kesehatan, meningkatkan jumlah regulasi sebagai prevensi primer terhadap penyakit tidak menular yang menjadi momok bagi Indonesia, dan lain-lain.
Pemerintah memerlukan kerja sama yang adekuat dengan masyarakat sesuai dengan konsep Persatuan Indonesia yang dijunjung dalam Pancasila. Pembenahan tidak hanya perlu dilakukan dari sisi pemerintah, tetapi juga pada masyarakat. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan pemimpin-pemimpin yang memiliki pemikiran yang terbuka sehingga keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia dapat tercapai dari segala sisi.