Trajektori Abdimuda: Refleksi Generasi Baru untuk Birokrasi Indonesia Antikorupsi

Gambar sampul Trajektori Abdimuda: Refleksi Generasi Baru untuk Birokrasi Indonesia Antikorupsi

"Integrity, transparency and the fight against corruption

have to be part of the culture. They have to be taught as fundamental values,”

— Angel Gurría, OECD secretary general.

 

Sebagai CPNS di instansi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, saya memandang korupsi bukan sekadar tindak pindana, melainkan luka yang terus menggerogoti tubuh bangsa. Opini saya bukan tanpa sebab, saya menganggap bahwa korupsi dapat menghambat jalannya pembangunan di negeri ini, korupsi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap ASN sebagai pelayan masyarakat, dan korupsi dapat merampas hak generasi mendatang. Sebelum saya menjadi seorang CPNS dan setelah menjadi bagian ASN, saya melihat bahwa ditengah arus besar birokrasi yang seringkali dianggap terjebak pada rutinitas yang monoton, kehadiran saya sebagai CPNS menjadi harapan baru bagi terciptanya birokrasi yang bersih, transparan, dan bermartabat, guna kemajuan daerah tempat saya bertugas dan demi kemajuan bangsa Indonesia.

Saya menghadirkan tulisan ini sebagai suara Abdimuda, bukan hanya sebagai pegawai negeri sipil yang baru menapaki tangga pengabdian, bukan sekadar tentang memperoleh status pengawai negeri, tetapi saya ingin menjadi generasi yang membawa semangat perubahan bagi bangsa dan negara dalam lingkungan birokrasi. Antikorupsi lebih dari sekadar regulasi. Tetapi, saya menganggap bahwa antikorupsi bagi Abdimuda adalah panggilan moral, panggilan budaya, dan panggilan sejarah.

Potret Korupsi dan Tantangan Abdimuda

Opini saya sebagai abdimuda melihat korupsi di Indonesia masih menempati peringkat tertinggi dalam kosus kejahatan kerah putih. Berdasarkan hasil studi literatur yang saya lakukan, sebagai Abdimuda saya menyambut dengan semangat dan apresiasi atas kenaikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada Tahun 2024 dengan skor meningkat dari 34 menjadi 37 dan menduduki peringkat 99 dari 180 negara, naik pesat dari posisi ke-115 di Tahun 2023. Meskipun ini masih jauh dari harapan bersama seluruh masyarakat Indonesia, tapi optimisme akan pemberatasan korupsi terus bergelorah. Di sisi lain, situasi dilapangan justru memperlihatkan tantangan serius. Berdasarkan data yang saya himpun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang tahun 2024 menangani kasus 142 perkara, dengan 163 tersangka tindak pidana korupsi yang ditetapkan oleh KPK, namun jumlah kasus sedikit menurun dari periode sebelumnya.

Menjadi abdimuda, saya menilai kondisi ini sebagai panggilan moral bagi seorang CPNS, kenaikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) harus saya jadikan sebagai momentum untuk memperkuat integritas, transparansi, dan efektivitas birokrasi serta penegakan hukum. Hal ini bisa mulai saya lakukan di Unit Kerja Dinas Kebudayaan tempat saya bertugas, mulai dari pencegahan, asset tracingi, hingga pemberian hukuman yang adil dan berdampak jera, sehingga dapat meningkatkan kembali kepercayaan publik terhadap ASN sebagai pelayan masyarakat.

Antikorupsi dalam Persepktif Budaya

Sebagai CPNS di unit kerja Dinas Kebudayan Sulawesi Tengah, saya banyak belajar tentang kebudayaan lokal selama saya bertugas. Salah satu kearifan lokal yang sarat akan makna “Nasorara Nosabatutu – Kita Semua Bersaudara”, filasofi tersebut mengajarkan kita semua bahwa kebersamaan, kesetiaan, dan penghargaan terhadap sesama manusia. Oleh sebab itu, merampas hak orang lain adalah sebuah keingkaran terhadap makna kebersamaan, kesetiaan, dan penghargaan terhadap sesama manusia.

Saya sebagai CPNS dengan latar belakang pendidikan Antropologi, memandang bahwa budaya korupsi bukan hanya tentang pelanggaran hukum atau mengkhianati konstitusi. Tetapi, saya memandang bahwasanya budaya korupsi juga menodai harkat serta martabat sesama manusia. Saya memandang dan melihat kedepannya bahwa membangun birokrasi antikorupsi haruslah berakar dari nilai-nilai budaya luhur yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, bukan semata-mata ancaman hukum bagi pelakunya.

Trajektori Abdimuda: Suara Generasi Baru ASN

Bagi abdimuda, untuk mengkonstruksi pemberantasan korupsi harus dimulai dari diri sendiri dengan mengilhami prinsip-prinsi berkarakter kearifan lokal dan kesadaran nilai-nilai religius. Sehingga kemudian sebagai abdimuda mampu mereproduksi semangat perubahan tersebut ke dalam sistem birokrasi dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai ASN.

Menurut penulis memandang budaya sebagai bentuk pikiran dan ekspresi diri manusia. Sebagai CPNS di Provinsi Sulawesi Tengah, saya menyadari bahwa birokrasi tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya di tempat ia tumbuh. Di sinilah saya menyadari dengan pemahaman saya tentang relevansinya dengan konsep “Prokulturasi” sebagaimana dalam studi yang dilakukan oleh Gamsakhurdia (2018,2019,2021), bahwa proses adaptasi yang bersifat konstruktif, subjektifm dan berkelanjutan terhadap hal-hal baru. Prokulturasi bukan sekadar menerima atau menolak budaya luar, tetapi membangun dialog antara nilai-nilai yang saya temukan dalam sistem birokrasi modern dengan nilai-nilai kearifan lokal yang telah lama hidup dalam masyarakat Sulawesi Tengah.

Dalam konteks semangat antikorupsi, saya berusaha melakukan akulturasi nilai, sekaligus transformasi ke dalam bentuk asimilasi. Nilai-nilai lokal seperti “Nosarara Nosabatutu” (kita bersaudara, kita bersatu) dapat menjadi landasan moral untuk menolak praktik korupsi, sebab ia menegaskan bahwa kepentingan bersama harus lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Demikian pula kearifan gotong royong dalam tradisi masyarakat Kaili dan Banggai, yang menekankan kerja kolektif tanpa pamrih, bisa saya terapkan sebagai spirit dalam bekerja; misalnya dengan tidak mencari keuntungan pribadi dalam pelayanan publik, melainkan mendorong kolaborasi lintas bidang demi hasil yang terbaik untuk masyarakat.

Contoh konkret dari penerapan nilai lokal ini dalam sistem birokrasi adalah saat saya terlibat dalam penyusunan program kegiatan. Saya bisa mengedepankan transparansi melalui mekanisme musyawarah bersama, bukan keputusan sepihak yang rawan manipulasi. Tradisi “mombangu” (saling mengingatkan) dalam komunitas lokal bisa dihidupkan kembali sebagai etika kerja, di mana setiap rekan ASN berhak mengingatkan bila terdapat indikasi penyimpangan. Begitu pula dalam pelayanan publik, saya dapat membawa semangat kejujuran kolektif yang diwarisi dari budaya pasar tradisional daerah, di mana transaksi dilakukan atas dasar saling percaya, untuk memastikan bahwa layanan birokrasi bebas pungli dan gratifikasi.

Dengan demikian, prokulturasi yang saya jalani bukan hanya sebatas menerima nilai-nilai birokrasi modern seperti efisiensi dan akuntabilitas, tetapi juga melekatkan nilai-nilai kearifan lokal Sulawesi Tengah ke dalam praktik sehari-hari. Melalui proses ini, saya berusaha meleburkan budaya korupsi, yang bersifat destruktif, dengan menghadirkan budaya integritas berbasis lokal. Pada akhirnya, asimilasi ini tidak hanya memperkuat diri saya sebagai Abdimuda yang berintegritas, tetapi juga memberi kontribusi nyata dalam membangun birokrasi yang lebih bersih, humanis, dan berakar pada nilai-nilai masyarakat setempat.

Penutup

Dengan momentum kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 Tahun, saya mengajak kepada seluruh abdimuda untuk kembali pada nilai-nilai kearifan lokal sebagai pondasi dan momentum kita bersama dalam memberantas korupsi yang telah menggorogoti negeri ini. sebagaimana role of model saya dari Sang Pendiri Bangsa Mohammad Hatta, yang menekankan pada kesederhaaan, kejujuran, dan integrias, sebagai warisan yang “indak lapuak dek hujan, indak lakang dek panek”, yang artinya tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Pada akhirnya,  penulis mengajak kepada seluruh abdimuda dimanapun berada, kita harus menjadi motor penggerak dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yang melindungi segenap banfsa Indonesia, memajukan kesejakteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa

Daftar Pustaka

Gamsakhurdia V. (2018). Adaptasi dalam perspektif dialogis—dari akulturasi ke prokulturasi. Cult. Psychol. 24, 545–559. doi: 10.1177/1354067X18791977

 

Bagikan :
Tag :