Tirai Megah Integritas, Korupsi di Baliknya

Gambar sampul Tirai Megah Integritas, Korupsi di Baliknya

Akuntabel, jujur dan integritas adalah nilai-nilai yang senantiasa melekat pada wajah birokrasi negeri ini. Nilai tersebut bahkan diformalisasikan dan dijadikan sebagai slogan yang dikampanyekan, dengan harapan nilai-nilai tersebut dapat diejawantahkan oleh para birokrat kita dalam melakukan tugas pelayanan, sehingga praktik korupsi, kolusi, nepotisme dan pungli dapat dicegah sedini mungkin. Tapi sayang seribu sayang, slogan tersebut hanya menjadi hiasan semata di ruang megah PTSP birokrasi. Kasus-kasus korupsi yang akhir-akhir ini banyak muncul dalam headline berita dan jagad maya meluluhlantakkan kampanye itu. Menjadikan wibawa yang dibawakan oleh nilai-nilai tersebut terasa hampa (jika omong kosong adalah Bahasa yang terlalu kasar untuk menggambarkannya).

Upaya meformalisasikan nilai-nilai tersebut dalam nomenklatur peraturan perundang-undangan memang menjadi upaya yang sangat penting untuk menentukan parameter seorang birokrat dalam hal pelayanan publik. Tapi apa artinya nilai tersebut dikodifikasikan dalam aturan tertulis ? jika kenyataannya para birokratnya punya konstitusi sendiri. Konstitusi yang melanggengkan praktik korupsi dan pungli untuk memperkaya diri sendiri. Tentu ini perlu untuk dikoreksi dan dievaluasi. Bukan ditujukan untuk menjustifikasi, tapi meluruskan tindakan yang sudah tidak lagi berada pada koridor semestinya. Jika memang sudah tidak ada harapan dari proses koreksi dan evaluasi tersebut, rasa-rasanya ungkapan dari Gus Dur layak untuk digunakan yakni sederhananya “Bakar saja lumbung padinya, karena tikusnya sudah menguasai lumbungnya”.

Budaya permisif yang menormalisasikan praktik korupsi dan pungli tak ayal sudah menjadi rahasia umum wajah birokrasi di negeri ini. Dari praktik inilah, tidak heran jika kesejahteraan bagi masyarakat sangat sulit untuk tercapai. Meskipun bukan berarti kesejahteraan tidak dapat dicapai, tetapi dengan langgengnya praktik demikian, untuk sampai pada tahap sejahtera sangatlah sulit. Mengingat, dana yang seharusya dialokasikan pada pos-pos penting, menjadi tidak tersalurkan dengan tepat. Contoh yang dapat kita lihat adalah korupsi dana Bantuan Sosial yang seharusnya dapat membantu kaum marjinal di negeri ini, justru dikorupsi oleh orang yang nir-empati.

Pentingnya nilai integritas dalam mendukung jalannya birokrasi yang ideal merupakan keniscayaan yang harus senantiasa diupayakan. Bukan tidak mungkin, praktik korupsi hilang dari wajah birokrasi negeri ini. Tapi, semua itu kembali pada setiap individu yang ada di negeri ini. Birokratnya menjunjung tinggi integritas, masyarakatnya peduli akan tegaknya nilai-nilai tersebut. Jika ini terjadi, tak akan ada lagi istilah “upeti” yang diperuntukkan kepada pelayan publik hanya untuk memuluskan jalannya pelayanan.

Wujud dari pengejawantahan dari nilai integritas idealnya tidak hanya dikampanyekan melalui banyaknya banner atau spanduk integritas yang tercetak di depan kantor instansi pemerintahan. Tapi adanya perubahan sistem yang secara konsekuen dijalankan oleh instansi pemerintahan. Salah satunya adalah melalui digitalisasi sistem penyelenggaraan pelayanan publik secara komprehensif. Masalah klasik yang senantiasa dipertanyakan masyarakat pada birokrat negeri ini adalah “sebenarnya kerja birokrat itu apa ?”. Masyarakat menginginkan jawaban dari pertanyaan ini bukanlah hanya sekedar narasi, tetapi bukti nyata yang dapat menampilkan kerja-kerja dari birokrat di negeri ini. Melalui penerapan sistem digitalisasi, harapan yang hendak dicapai adalah masyarakat dapat tahu melalui dokumentasi yang telah disebarluaskan atas kerja-kerja yang telah dilakukan.

Trasparansi inilah yang akan menjadi tonggak awal bagi setiap instansi untuk dapat menyemai slogan integritas yang selama ini dikampanyekan. Dengan akses luas yang diberikan kepada masyarakat dalam melihat secara real time kerja-kerja dari para birokrat, setidaknya praktik korupsi memiliki langkah preventif yang dapat diupayakan. Meskipun hal demikian tidak akan memuaskan semua pihak, tetapi setidaknya langkah ini menjadi penanda bahwa instansi yang telah atau sedang berupaya untuk menerapkan digitalisasi pelayanan publik memiliki keseriusan dalam hal menumbuhkan integritas, dibandingkan hanya memperbanyak slogan integritas melalui banner dan spanduk megah, tapi hanya sekedar omong kosong.

Karena itu, jangan pernah tertipu dengan slogan yang hanya sekedar jadi permainan kata dan peghias ruang PTSP semata, tapi praktik korupsi masih tumbuh subur di baliknya. Sudah saatnya semangat antikorupsi ditanamkan pada setiap individu yang mendaku dirinya sebagai abdi negara. Jagalah negeri ini, dimulai dengan mengatakan “tidak” pada korupsi !

Bagikan :