Tegar di Tengah Badai: Sebuah Lembaran Putusan dan Nasib

Gambar sampul Tegar di Tengah Badai: Sebuah Lembaran Putusan dan Nasib

Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah mengabdi puluhan tahun. Ia adalah wajah negara yang melayani masyarakat, menyelesaikan dokumen, dan menjalankan program pembangunan. Lalu, sebuah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap menjeratnya karena tindak pidana korupsi dengan hukuman satu tahun tiga bulan penjara. Bukan hanya selesai di sana; SK pemberhentian tidak dengan hormat dari Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) pun diterimanya. Lalu Ia berjuang, mengajukan banding ke Badan Pertimbangan ASN (BPASN), tetapi ditolak. Ketika menggugat lebih jauh, PTUN Pekanbaru justru menyatakan gugatannya tidak diterima. Bukan karena gugatannya tidak beralasan, tetapi karena ia salah alamat menggugat di PTUN, seharusnya di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN).

Inilah realita pahit yang tercermin dalam Putusan PTUN Pekanbaru Nomor 17/G/2025/PTUN.PBR. Kasus ini bukan sekadar soal salah prosedur, tetapi merupakan potret dari sistemik masalah dalam tata kelola kepegawaian ASN. Di satu sisi, negara perlu membersihkan barisan dari oknum yang melanggar hukum. Di sisi lain, ada jaminan proses yang adil, prosedural, dan menghormati hak-hak dasar seorang pegawai. Di manakah keseimbangannya? Tulisan ini membedah akar persoalan dan menawarkan rekomendasi strategis dari studi kasus diatas.  Dengan tujuan membangun sistem kepegawaian yang tidak hanya tegas, tetapi juga cerdas dan berkeadilan.

Di Persimpangan Reformasi Birokrasi dan Realita Teknis

Kita hidup di era di mana tuntutan akuntabilitas dan integritas ASN lebih tinggi daripada sebelumnya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN (UU ASN) dan PP Nomor 79 Tahun 2021 tentang Upaya Administratif dan BPASN adalah buah dari reformasi birokrasi yang bercita-cita luhur: menciptakan SDM Aparatur yang profesional, berkinerja, dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Namun, dalam implementasinya, terjadi kesenjangan yang kritis antara nilai (value) dan teknis (technicality). Nilai yang ingin ditegakkan adalah pembersihan ASN dari pelaku kejahatan jabatan. Teknisnya, hal ini dilakukan melalui mekanisme hukum yang rigid dan berjenjang. Kasus PTUN Pekanbaru menunjukkan bahwa fokus seringkali hanya pada nilai ("ASN koruptor harus diberhentikan"), tanpa diimbangi dengan pemahaman mendalam tentang teknis jalur hukum yang harus ditempuh, baik oleh ASN yang bersangkutan maupun mungkin oleh instansinya sendiri.

Ini adalah masalah paradigmatik. Sistem hukum kepegawaian telah berevolusi menjadi sangat kompleks, namun kapasitas dan literasi hukum para pelaku di dalamnya yang mulai dari ASN (pelaksana dan Fungsional), hingga PPK—tidak selalu mengimbangi kecepatan evolusi tersebut. Akibatnya, niat baik reformasi birokrasi bisa terhambat oleh kesalahan prosedur yang sebenarnya dapat dicegah.

Dasar Hukum Pemberhentian Tidak Dengan Hormat

Dalam kasus ini, Penggugat (seorang PNS) diberhentikan tidak dengan hormat dengan dasar telah dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai "tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan."

Pasal 52 ayat (3) huruf i dan ayat (4) UU ASN menyatakan dengan tegas bahwa seorang ASN dapat diberhentikan tidak dengan hormat apabila:

"dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan."

Yang menjadi pembeda krusial adalah, untuk tindak pidana umum (seperti penganiayaan atau pencurian biasa), pemberhentian tidak dengan hormat hanya berlaku jika hukuman penjaranya minimal 2 (dua) tahun (Pasal 52 ayat (3) huruf h). Namun, untuk kejahatan jabatan (seperti korupsi, gratifikasi, penyuapan), syarat minimal 2 tahun penjara tidak berlaku. Berapapun lama hukuman penjaranya, asalkan terbukti secara sah dan berkekuatan hukum tetap, ASN tersebut dapat diberhentikan tidak dengan hormat. Hal ini diperkuat oleh Peraturan Kepala BKN Nomor 3 Tahun 2020 tentang Juknis Pemberhentian PNS.

Oleh karena itu, argumentasi Penggugat bahwa hukuman 1 tahun 3 bulannya tidak memenuhi syarat adalah keliru secara hukum, karena yang menjadi titik tekannya adalah jenis tindak pidana (kejahatan jabatan), bukan lama hukumannya.

Pentingnya Menempuh Jalur Upaya Administratif yang Tepat

Sebelum menggugat ke pengadilan, seorang ASN yang merasa dirugikan oleh keputusan pemberhentian wajib menempuh Upaya Administratif. UU ASN dan PP 79/2021 telah membangun sebuah sistem penyelesaian sengketa yang terintegrasi (integrated administrative justice system).

Mekanismenya adalah sebagai berikut:

  1. Keberatan: Diajukan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang menerbitkan keputusan.

  2. Banding Administratif: Jika keberatan ditolak/tidak direspon, ASN dapat mengajukan banding kepada Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) melalui fitur ASNDigital.

BPASN berfungsi sebagai filter sebelum sengketa dibawa ke ranah peradilan. Dalam kasus ini, Penggugat telah mengajukan banding ke BPASN, dan BPASN memutuskan untuk menguatkan (mengukuhkan) SK Bupati.

Kewenangan Absolut Pengadilan

Inilah poin sentral dari putusan ini. Setelah keputusan BPASN diterbitkan, UU ASN dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2023 telah menetapkan dengan jelas bahwa:

"Dalam hal Pegawai ASN tidak puas terhadap keputusan BPASN, Pegawai ASN dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara." (Pasal 18 PP 79/2021).

Perma 2/2023 lebih lanjut menegaskan bahwa Pengadilan yang berwenang memeriksa sengketa pemberhentian PNS setelah menempuh banding administratif di BPASN adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), bukan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai pengadilan tingkat pertama.

Oleh karena itu, ketika Penggugat mendaftarkan gugatannya ke PTUN Pekanbaru, Majelis Hakim dengan tepat menyatakan dirinya tidak berwenang secara absolut. Gugatan seharusnya diajukan ke PT TUN yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat (dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten Siak berada dalam wilayah hukum PT TUN Medan). Akibatnya, gugatan dinyatakan Tidak Diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Melampaui Kesalahan "Alamat Gugat"

Kesalahan menggugat ke PTUN alih-alih PT TUN hanyalah gejala permukaan. Akar masalahnya jauh lebih dalam:

  1. Defisit Literasi Hukum yang Masif. Banyaknya ASN, termasuk yang menduduki posisi strategis, tidak sepenuhnya memahami diferensiasi kewenangan antara PTUN dan PT TUN pasca-UU ASN baru. Sosialisasi peraturan seringkali bersifat top-down, formalistis, dan tidak menyentuh level pemahaman aplikatif. Akibatnya, ketika menghadapi masalah, ASN terjebak pada ketidaktahuan tentang jalur hukum yang tersedia.

  2. Pendekatan Sanksi yang Reaktif, Bukan Preventif. Sistem saat ini terkesan lebih banyak berjalan pada tataran downstream (penindakan). Pemberhentian tidak dengan hormat dilihat sebagai solusi akhir. Namun, investasi pada aspek upstream (pencegahan) melalui pembinaan integritas berkelanjutan, sistem pelaporan aset yang transparan, dan pengawasan internal yang efektif masih sering terabaikan. Budaya integritas tidak dibangun dalam semalam, tetapi melalui proses yang sistematis dan konsisten.

  3. Fungsi BPASN yang Belum Optimal sebagai Filter Efektif. Meski telah diamanatkan oleh undang-undang, BPASN di tingkat pusat dan daerah masih menghadapi tantangan. Mulai dari keterbatasan sumber daya, beban kerja yang tinggi, hingga persepsi di kalangan ASN bahwa keputusan BPASN hanyalah formalitas belaka sebelum ke pengadilan. Hal ini melemahkan esensi BPASN sebagai penyelesai sengketa administratif yang cepat, murah, dan khusus.

  4. Asimetri Informasi antara PPK dan Unit Pendukung. Seorang PPK (seperti Bupati) adalah seorang politikus atau pejabat tinggi yang memiliki banyak tanggung jawab. Keputusan pemberhentian ASN seringkali sangat teknis dan sarat dengan konsekuensi hukum. Jika unit hukum dan kepegawaian di bawahnya tidak memberikan pendampingan dan analisis risiko hukum yang memadai, keputusan PPK dapat rentan terhadap gugatan karena cacat prosedur.

Rekomendasi Strategis

Berdasarkan analisis akar masalah di atas, berikut rekomendasi konstruktif yang ditawarkan:

  1. Meluncurkan Program Sertifikasi Literasi Hukum Kepegawaian. Badan Kepegawaian Negara (BKN) bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) perlu merancang modul pelatihan dan sertifikasi wajib tentang Hukum Kepegawaian bagi seluruh ASN, dengan level yang berbeda-beda. Untuk PPK dan pejabat kepegawaian, modul harus mencakup simulasi penyelesaian sengketa dan manajemen risiko hukum. Literasi hukum bukan lagi pelengkap, melainkan kompetensi inti.

  2. Memperkuat Fungsi BPASN sebagai "Rumah Keadilan Pertama": BPASN perlu diberdayakan dengan:

    1. Sumber Daya Manusia yang Memadai: Merekrut mantan hakim, praktisi hukum, dan ahli SDM yang memahami dinamika kepegawaian.

    2. Pemahaman Literasi Digitalisasi ASN: Dalam proses pengajuan banding, pertukaran dokumen, dan bahkan untuk persidangan daring untuk mempercepat proses dan menjangkau ASN di daerah terpencil.

    3. Kewenangan Mediasi yang Diperkuat: Memposisikan BPASN tidak hanya sebagai pemberi pertimbangan, tetapi juga sebagai mediator aktif yang dapat mendorong penyelesaian win-win solution dalam sengketa tertentu sebelum berlarut ke pengadilan. Menghadirkan pegawai yang tersangkut kasus hukum dengan mendapatkan informasi dua arah (keseimbangan) sebagai hasil putusan Pemberhentian tidak atas permintaan sendiri bagi Pegawai ASN.

  3. Menerapkan Model "Peringatan Dini" dan Pembinaan Berkelanjutan. Instansi pemerintah perlu mengembangkan sistem manajemen kinerja dan perilaku yang terintegrasi dengan sistem informasi ASN. Data pelanggaran disiplin ringan, laporan aset, dan hasil assessment psikologis dapat digunakan untuk memetakan ASN yang berisiko. Kepada mereka yang berisiko, diberikan pembinaan khusus, mentoring, dan pendampingan, bukan menunggu hingga melakukan pelanggaran berat yang berujung pada pemberhentian.

  4. Membangun Pusat Konsultasi Hukum Kepegawaian Internal. Setiap instansi pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota seharusnya memiliki unit atau petugas yang khusus ditugasi untuk memberikan konsultasi hukum kepegawaian bagi ASN. Layanan ini bersifat preventif, membantu ASN memahami konsekuensi hukum dari setiap tindakan mereka sejak dini.

Belajar dari Best Practices dan Menatap Masa Depan

Jika kita berkaca pada best practices di negara dengan birokrasi yang kuat, seperti Singapura atau Selandia Baru, penekanan tidak hanya pada penindakan yang tegas, tetapi pada pembangunan sistem yang mendukung integritas dan keadilan prosedural. Mereka memiliki sistem remunerasi yang memadai, transparansi yang tinggi, dan mekanisme pembinaan yang kuat, sehingga pelanggaran berat justru menjadi pengecualian, bukan sesuatu yang sering terjadi.

Solusi untuk masalah kepegawaian ASN tidak terletak pada membuat peraturan yang semakin ketat dan kompleks semata. Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana menyederhanakan akses terhadap keadilan dan membangun ekosistem kepegawaian yang berorientasi pada pembinaan. Kasus PTUN Pekanbaru adalah alarm yang berharga. Ia mengingatkan kita bahwa di balik setiap putusan dan SK pemberhentian, ada narasi manusia, keluarga, dan karier yang terputus.

Masa depan tata kelola ASN yang ideal adalah ketika pemberhentian tidak dengan hormat benar-benar menjadi ultimum remedium (obat terakhir), karena sistem pencegahan dan pembinaan telah bekerja dengan sempurna di hulu. Dengan memperkuat literasi, memberdayakan institusi seperti BPASN, dan beralih dari budaya sanksi ke budaya integritas, kita tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga membangun birokrasi yang manusiawi, adil, dan benar-benar profesional. Pada akhirnya, ASN yang dilindungi hak-hak proseduralnya akan menjadi ASN yang lebih percaya diri dan berdedikasi dalam mengabdi kepada negara dan rakyat.

Bagikan :