‘Taro Ada Taro Gau’ Integritas Kearifan Lokal

Gambar sampul ‘Taro Ada Taro Gau’  Integritas Kearifan Lokal

‘35 Tahun Lalu’

Sore itu Suzuki FR 78, roda dua milik ayah menguasai halaman sempit, sayapun tahu kalau ayah akan ada urusan di luar rumah. Memainkan sandal jepit sambil menunggu disamping Si Suzuki, berharap ada ajakan ‘jalan-jalan sore’. Tak lama berselang, langkah ayah terdengar menuruni tangga, ia mengajak dengan suara pelan ‘ikut ke sekolah?’. Iya, jawaban saya spontan karena memang itu yang kuharap, Si Suzuki pun siap melaju.

Sore itu Si Suzuki yang selalu tampil bersih, benar-benar menebar pesona suara kletek disepanjang jalan yang diapit jejeran Pohon Tamarindus Indica dan Siamea. Udara sore yang sejuk serasa tidak terusik oleh asap knalpot yang mengepul dan gaya si Suzuki yang meliuk-liuk menghindari jalan berlubang. Sorak semaraipun terdengar dari tepukan dedaun yang diterpa angin, tancap gas dan terus melaju.

Memasuki kilometer 4 sebelah kiri jalan, nampak gedung tua dengan gaya arsitektur Indische Empire Style sangat menonjol dibanding bangunan lain. Gedung itu adalah Komando Resor Militer (KOREM) 142 TATAG (Taro Ada Taro Gau), halamannya asri menjadi tempat sepasang rusa bermain. Selain kekhasan gedung KOREM, penciri yang tak luput dari ingatan adalah slogan gerbang dalam bahasa Bugis terpampang jelas, Taro Ada Taro Gau. Di usia saya masa itu, belum mengerti arti dan makna slogan tersebut.

Menjelang senja, waktunya bergegas pulang. Ku mengajukan satu pertanyaan pada ayah tentang arti Taro Ada Taro Gau, ‘sesuai kata dan perbuatan’, jawabnya singkat. Seketika waktu seakan melambat, bingung, belum mengerti maksud jawaban itu, kenangku 35 tahun lalu.

 

Atribut Integritas

Disudut seminar, di meja diskusi, bahkan di ruang seduh, atribut integritas menjadi pelengkap cerita kalangan profesional. Apasih ‘integritas’ itu?, kerap kita melihat jawaban yang diawali dengan senyum, menghela nafas sambil memusatkan pikiran untuk mencari jawaban yang mudah dimengerti. Hasilnya, jawaban yang langsung dialamatkan kepada kalangan profesional atau pejabat yang bertindak sewenang-wenang, melakukan penggelapan, dan tindakan fraud atau korupsi. Ya, kira-kira begitulah.

Hal tersebut diperkuat ketika melihat realita pelanggaran integritas seperti yang dikutip dari hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2024, diliris oleh KPK tanggal 22 Januari 2025 yang menunjukkan perilaku suap dan gratifikasi masih terjadi di 90% kementerian/lembaga dan 97% pada pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten). Data lainnya, KPK mencatat terdapat 201 kepala daerah (171 bupati/walikota dan 30 gubernur) telah tersandung kasus korupsi sejak tahun 2024 hingga Mei 2025 dan secara keseluruh terdapat 363 anggota legislatif (pusat dan daerah) juga ikut tersangkut dalam periode tersebut.

Tidak hanya di sektor publik, swasta pun tidak mau kalah dengan pencapaian itu, keterlibatan pihak swasta dalam menyumbang tindak pidana korupsi cukup signifikan. Hal tersebut pernah diungkapkan dalam seminar bertajuk Pemberantasan Korupsi Sektor Usaha,  bahwa jumlah kasus tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dalam kurun waktu 2004 sampai Mei 2020 didominasi oleh sektor swasta sebanyak 297 kasus, kemudian disusul korupsi yang dilakukan DPR ditempat kedua sebanyak 257 kasus korupsi.

Maraknya kasus korupsi seharusnya membuat kita merenung kembali sekaligus menyiapkan langkah konkret pencapaian Visi Indonesia 2045 terkait perwujudan masyarakat anti korupsi. Pencegahan dan pemberantasan korupsi salah satunya diarahkan pada penguatan integritas para pelayan publik dan swasta.

Menilai integritas dari sudut pandang penindakan, nampaknya integritas belum sepenuhnya dimaknai dengan luas dan hanya disematkan bagi mereka yang memiliki jabatan atau otoritas dan dikaitkan dengan urusan dan tatanan bernegara. Padahal, nilai-nilai integritas juga terkait dengan seluruh aktivitas keseharian kita, mulai dari ucapan, kehendak, dan pikiran, cara kita memperlakukan orang lain, sampai pada urusan yang meilbatkan sendi kehidupan di berbagai bidang.

Apabila kita membuka mata, telinga, dan pandangan untuk memotret realita, maka perilaku tidak berintegritas banyak dijumpai di jalan, di angkot, di pasar, atau di gorong-gorong?. Mudah kita mengatakan ‘anda tidak berintegritas’ kepada yang korup. Lalu kepada mereka yang menyerobot jalur disaat lampu sein dinyalakan, berkendara tidak memakai helm/safety belt, atau malak uang parkir. Integritas dimulai dari hal-hal kecil begitu juga perilaku yang tidak berintegritas dimulai dari hal biasa.

Realita subyektif menimbulkan sekat sosial sehingga membuat integritas sulit menemukan maknanya yang esensial. Reduksi makna integritas bervariatif, ada yang mengungkapkan sebagai pengendalian diri, kekompakan, kejujuran, kesetiaan, seirama, utuh, kepedulian, atau mengerjakan sesuatu berlandaskan nilai.

Integritas jika dikembalikan pada kata asalnya (latin) yaitu, “integer” yang artinya utuh dan lengkap. Olehnya, integritas memerlukan perasaan batin yang menunjukkan keutuhan dan konsistensi karakter. Dalam pengertian singkat, integritas artinya konsep konsistensi tindakan, nilai, metode, ukuran, prinsip, harapan dan hasil. Demikian juga dalam kajian etika, integritas dianggap sebagai kejujuran dan kebenaran atau ketepatan tindakan pada diri seseorang.

Integritas menurut para ahli juga tidak jauh dari definisi yang dikemukakan sebelumnya. Definisi integritas dilekatkan pada tiga hal yang selalu dapat kita amati yaitu, memenuhi komitmen, menunjukkan kejujuran, dan mengerjakan sesuatu dengan konsisten. Semuanya dimulai dengan memahami nilai-nilai moralitas sehingga tumbuh menjadi keyakinan dan dijaga dengan sepenuh hati. Integritas (komitmen, kejujuran, dan konsisten) tidaklah dikhususkan pada aktivitas tertentu saja (birokrasi), tetapi integritas melingkupi seluruh aspek interaksi kehidupan.

Pada konteks ini, integritas dituntut hadir disemua sendi dan aktivitas kehidupan, tanpa batasan dan untuk belajar mendapat pengalaman lebih mendalam perlu menonjolkan khazanah budaya yang kita miliki. Tidak lain dan tidak bukan adalah kearifan lokal yang tersebar di seantero nusantara. Kearifan lokal, melalui budaya dan tradisinya mengajarkan keluruhan budi dan nilai untuk membentuk pribadi yang berintegritas, pribadi yang ideal.

 

‘Ada na Gau’  Diri Yang Ideal

‘Ada’ dalam bahasa Bugis artinya ‘kata atau apa yang diucapkan’ sedangkan ‘Gau’ artinya ‘laku atau perbuatan’. Antara ‘Ada’ dan ‘Gau’ diibaratkan dua sisi mata uang logam, sama pentingnya sehingga tidak dapat dipisahkan, keduanya menjadi nilai untuk menunjukkan kualitas seseorang.

Taro Ada Taro Gau’ atau ‘satu kata satu perbuatan’, maknanya menerangkan setiap ucapan atau perkataan seseorang yang menunjuk pada suatu nilai maka harus dibarengi dengan perbuatan atau tingkah laku yang tidak bertentangan. Misalnya, seseorang menyampaikan nasihat tentang pentingnya berkasih sayang, saling berbagi dan membantu, maka ia menunjukkan perbuatan terbaiknya dan menjadi teladan bagi sekitarnya, bukan sebaliknya.

Taro Ada Taro Gau’ merupakan konsep diri yang ideal dimaknai sebagai perwujudan kesadaran atas institusi etis, praktis dan struktur etis sehingga membentuk pribadi yang memiliki kemampuan mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan nilai positif sehingga ‘diri yang ideal adalah pribadi yang berintegritas’. Ya, kira-kira begitulah.

 

Epilog : Budayakan Integritas dengan Kearifan Lokal

Berintegritas bagian dari proses menjalani kehidupan, bahkan memaknai hidup tanpa integritas tidak cukup menjadikan pribadi yang tenang. Ribuan tahun sebelum kita berbicara soal integritas, nenek moyang kita sudah menjadikan nilai ‘Taro Ada Taro Gau’ sebagai simbol loyalitas, komitmen dan prinsip menjadi pribadi yang ideal.

Kearifan lokal sarat dengan makna kehidupan sebagai identitas (common identity) yang memiliki nilai historis, filosofis dan spritual. Keutamaannya dapat menumbuhkan karakter, pola pikir, perilaku unggul dan perubahan sosial. Diyakini, hal yang sama juga terdapat pada ribuan suku bangsa (etnis) di Indonesia dengan kekayaan tradisi, bahasa, dan nasihat bijak yang mengandung makna kejujuran, etos kerja, atau sikap etis.

Kekayaan inilah seharusnya menjadi simbol keragaman integritas dan setiap anak bangsa memilki tanggung jawab besar menjaga dengan keyakinan kuat. Melalui semangat kearifan lokal, kekayaan integritas dalam bahasa daerah perlu digaungkan. Nilai integritas dalam konteks kedaerahan memiliki makna yang lebih membekas, kita pun merasa lebih bertanggung jawab karena dari sana kita dilahirkan. Mari memulai utarakan, sematkan, suarakan bahasa daerah mu yang memiliki makna dan nilai integritas. Taro Ada Taro Gau, sesuai kata dan perbuatan, itulah Integritas.

 

#AksaraAbdimuda

Bagikan :