Tantangan Optimalisasi Kompetensi ASN Menghadapi Disterupsi Model Matriks Reformasi Birokrasi Indonesia

Gambar sampul Tantangan Optimalisasi Kompetensi ASN Menghadapi Disterupsi Model Matriks Reformasi Birokrasi Indonesia

Sub Tema: Pengembangan Talenta ASN

Tantangan Optimalisasi Kompetensi ASN Menghadapi Disterupsi Model Matriks Reformasi Birokrasi Indonesia

Oleh: Andi Muhfi Zandi M

(PNS Sekretariat Bawaslu Kabupaten Mamuju, Dosen Hukum Pemilu Universitas Tomakaka)

Tanpa terasa, Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) menginjak usianya yang ke-51 tahun. Dibalik usia yang telah melewati setengah abad tersebut, bagaimana arah kebijakan transformasi dan refomrasi birokrasi hari ini?.

Banyak dari kita yang menganggap bahwa lahirnya kebijakan reformasi birokrasi yang mengalami disterupsi merupakan sebuah keniscayaan yang disebabkan oleh era Revolusi industri 4.0. Sejatinya disterupsi merupakan fenomena yang berkonsekuensi logis pada transformasi secara fundamental pada tiap aspek kehidupan, faktor utamanya disebabkan karena adanya penyempitan ruang dan waktu yang pada akhirnya menyebabkan terjadi pergeseran aspek ruang sosial (social space) yang tercipta. Kecendrungan yang umumnya terjadi dalam lingkup kelembagaan ataupun institusi adalah adanya transformasi spesilaisasi fungsional, sebagai bentuk pola kerja yang dinamis sehingga berorientasi pada spesialisasi yang dicapai oleh lembaga atau institusi.

Transformasi Hirarkis Menuju Matriks

Berdasarkan Permenpan No. 8 Tahun 2021 tentang Sistem Manajemen Kinerja Pegawai, bahwa Seiring dengan arah perubahan kebijakan reformasi birokrasi nasional, berkonsekuensi logis pada penyesuaian struktur organisasi, tata kerja, dan kultur kinerja dalam birokrasi. Perubahan fundamental terlihat pada struktur organisasi birokrasi dengan dihapusnya eselon III dan eselon IV. Hal ini mendorong transisi dari mekanisme tata kerja, yang mulanya bermodel hierarki menjadi model matriks. Unsur Birokrasi akan menjadi lebih sederhana dan lebih bergantung pada kinerja eselon II. Struktur organisasi yang mulai dikerucutkan saat ini mengharuskan para unit kerja eselon II dapat melaksanakan fungsi pengorganisasian administrasi, anggaran, dan mengawal substansi atas kinerja para staf fungsional di unit kerjanya. Sebagian besar personel aparat sipil negara (ASN) akan bertransformasi menjadi jabatan fungsional, yang berarti mengkonstruksi basis kinerja mandiri. Adapun kinerja organisasi akan berbasis pada setiap unit kerja.

Berdasarkan hal tersebut, diharapkan akan memunculkan organisasi birokrasi pemerintahan yang semakin terspesialisasi. Namun yang perlu kita sadari bersama bahwa dibalik trasnformasi kebijakan tersebut, nyatanya belum semua daerah di Indonesia dapat mengamini mengenai pengimplementasian kebijakan tersebut, sehingga menyebabkan jalannya transformasi kebijakan menjadi premature. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor Kultur dan infrastruktur SDM.  Dari segi kultur, perlu disadari bahwa sejatinya daerah metropolitan seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Kota besar lainnya mulai dapat beradaptasi mengenai model kebijakan birokrasi matriks yang profesional dikarenakan dukungan faktor kultur yang heterogen, sehingga secara pemikiran dan wawasan dapat merespon serta beradaptasi dengan model kerja birokrasi saat ini. Namun kita juga patut menyadari bahwa masih terdapat daerah yang memiliki kultur dan kebiasaan pola birokrasi hirarkis yang kental, mulai dari bentuk Klitenterisme, Elit Lokal, Local Strongman dan berbagai fenomena lainnya di daerah, sehingga menyebabkan adanya ego sektoral yang menghambat pengimplementasian model kerja matriks secara profesional ini tercapai secara subtansi. Kedua adalah infrastruktur SDM, pada dasarnya kita mengetahui bersama bahwa selesksi dalam perekrutan CASN bagi instansi yang memiliki struktur kelembagaan vertikal menempatkan ASN secara komperehensif di seluruh Indonesia, namun bagaiamanapun terdapat faktor kultur yang menjadi tantangan dalam mengubah arah birokrasi di suatu daerah utamanya daerah yang memiliki relasi kuasa yang mengakar sehingga penempatan ASN di daerah akan teteap menghadapi tantangan dalam mengubah kultur birokrasi menjadi matriks, dikarenakan mengakarnya relasi kuasa yang mengharuskan pola tata keorganisasian menjadi hirarkis.

Menguatkan Kompetensi dan Fasilitasi

Melihat dari aspek kebijakan, diperlukan adanya persiapan sumberdaya yang mapan terlebih dahulu untuk mensinergiskan antara entitas manusia, teknologi dan budaya birokrasi dalam menghadapi transformasi ini, selain itu pertimbangan strategis dan analisis sosial menjadi penting agar kebijakan dapat berjalan secara efektif. Kita harus mengetahui bahwa dalam penerapan pola birokrasi yang  mulai bertransformasi dalam model matriks, memerlukan pertimbangan kondisi tiap demografi daerah dan keadaan sosial di Indonesia. karna realitas daerah di Indonesia masih mengalami kesenjangan dari segi akses fasilitas dan ketimpangan kondisi pendidikan di tiap daerahnya. Peningkatan profesionalitas ASN menjadi strategi awal yang harus disiapkan secara matang, proses pendidikan, komtpetensi teknis, kompetensi sosial kulutal dan Manajerial menjadi pertimbangan penting untuk meningkatkan kualitas Birokrasi. Karena tanpa didukung dengan kesiapan matang dari sumber daya tenaga birokrasi, Pada akhinya wajah disterupsi birokrasi menuju model spesialisasi di Indonesia masih menyisakan segelintir anomali. 

Bagikan :