Manusia masa kini tak bisa lepas dari kemajuan teknologi. Aparatur Sipil Negara (ASN), yang merupakan bagian dari populasi pengguna berbagai jaringan berbagi media sosial, pun turut berpartisipasi sebagai penikmat maupun penyedia konten yang dapat dinikmati masyarakat luas. Bagi kaum penikmat, media sosial hanya aktivitas menggulir belaka. Para pembuat konten kerap menjadikan viewer dan for your page sebagai tolok ukur keberhasilan dan pencapaian.
Tidak ada aturan yang secara khusus mengatur halal dan haramnya ASN bermain media sosial. Manusia berseragam berseliweran di beranda media sosial membentuk opini di masyarakat. Di satu sisi, ASN yang membuat sajian digital edukatif atau persuasif positif tentu membawa keuntungan tersendiri bagi institusi atau instansi dimana ia bertugas bahkan masyarakat luas. Di sisi lain, konten omong kosong yang menonjolkan pencitraan dan unjuk gigi yang tidak pada tempatnya juga kerap memenuhi halaman utama di media sosial. Lalu, bagaimana cara menyikapinya?
Teknologi dan aplikasi media sosial adalah sesuatu yang niscaya. Perkembangan zaman tentu harus disambut positif para pengambil kebijakan dan menjadikan media sosial sebagai salah satu wadah untuk para ASN mengembangkan kemampuan diri di bidang publikasi media sosial agar lebih terarah dan memahami batas-batas semu antara yang benar dan salah, bahkan etis dan tidak etis.
Untuk mengejar rating, para pembuat konten kerap melupakan sisi manusiawi. Bukankah kita juga punya cerita di kehidupan nyata? Pernahkah Anda mengirim pesan pribadi kepada seorang rekan kerja yang berakhir ke media sosial sebagai pencitraan atau bahkan guyonan tanpa persetujuan kedua belah pihak? Dimana batas-batas antara privasi dan publikasi? Menurut hemat saya, pemerintah perlu mengarahkan perihal konten media sosial ini ke jalan yang lurus. Batas tegas privasi dan publikasi harus gamblang. Nurani dan akal sehat harus dihidupkan sebagai filter awal hingga akhir suatu sajian digital, mulai dari aplikasi kreatif, penyebarluasan di media sosial, sampai dengan pengelolaan kolom komentar.
Aplikasi media sosial yang dimanfaatkan secara benar dipadu dengan talenta ASN dalam mengolah informasi menjadi sajian yang menarik mata harus dipadu dengan workshop soft skill yang tidak hanya menjadikan konten itu menarik tetapi juga santun. Pimpinan satuan kerja seyogyanya aktif memberi umpan balik yang konstruktif pada konten digital para pegawainya. Proses pengembangan talenta yang berkelanjutan kepada para ASN memberikan kepercayaan diri karena mendapatkan kebebasan berekspresi sembari menjadi agen perubahan yang bermoral dan bernurani.
Pada akhirnya, saya hanya berharap tiap ASN memiliki satu pertanyaan dalam benaknya sebelum menekan pilihan share atau post di media sosial, “Pantaskah konten ini saya sebar luaskan?”