Amplopku Sayang Berujung di Pena Pemimpin

Gambar sampul Amplopku Sayang Berujung di Pena Pemimpin

KPK telah melakukan sejumlah upaya penanganan hukum dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga eksekusi. Berdasarkan data KPK, penanganan perkara sepanjang Semester 1 Tahun 2025 terdapat 38 perkara di tingkat Penyidikan, 43 perkara di tingkat Penyidikan, 46 perkara di tingkat Penuntutan, 31 perkara Inkracht dan 35 perkara telah dilaksanakan eksekusi.

 

Dengan perbandingan jumlah provinsi di Indonesia sebanyak 38 Provinsi, berarti sekitar kurang lebih 1 perkara yang ditangani oleh KPK di tiap tingkat penanganan perkara sepanjang Semester 1 Tahun 2025. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024 juga cenderung mengalami peningkatan dengan skor naik menjadi 37/100 dari tahun sebelumnya yang berada di anhka 34/100. Peningkatan ini juga mengangkat peringkat Indonesia ke posisi 99 dari 180 negara, lebih baik di banding tahun sebelumnya di peringkat 115.

 

Namun jumlah penanganan perkara dan kenaikan peringkat IPK ini masih jauh dari yang diharapkan, masyarakat seperti mengalami delusi melihat perkembangan isu pelayanan publik dan pelaksanaan birokrasi yang berputar di masyarakat. Nyatanya upaya Pemerintah untuk menekan angka korupsi dengan meningkatkan kesejahteraan pegawai Pemerintahan yang memegang kendali untuk “lahan basah” tidak menampakkan perubahan besar.

 

hal ini tidak melulu kesalahan Pemerintah, masyarakat juga turut memberi andil. “Budaya terima kasih” masih mengakar kuat pada masyarakat Indonesia, “budaya terima kasih” dengan gratifikasi itu sendiri bersinggungan jika tidak benar-benar dimaknai dengan bijak. Orang tua siswa yang merasa sangat berterima kasih kepada guru kelas anaknya akan dengan ikhlas memberi hadiah sebagai ucapan terima kasih atas dedikasi guru mendidik anaknya, disatu sisi niat awal budaya terima kasih tersebut bersinggungan dengan makna gratifikasi apalagi ketika hal tersebut menjadi pembiasaan yang dilakukan oleh orang tua siswa lain sehingga niat awal yang tulus berterima kasih menjurus pada niat lain yang tidak lurus. Itu hanya contoh kecil yang amat sangat mudah kita lihat, budaya yang bisa menjadi karakter. Ucapan terima kasih yang tulus tidak selalu dengan barang, dapat berupa doa dan membantu guru mendidik karakter anak untuk menghormati dan menghargai gurunya.

 

Usaha masyarakat untuk membentukan karakter jujur yang kuat sejak dini juga tidak bisa berdiri sendiri, tantangan seseorang berkarakter jujur ketika sudah bersosialisasi dilingkungan kerja dan masyarakat juga mempengaruhi apakah karakter itu bertahan atau tidak. Ketika memiliki atasan yang tidak memiliki karakter jujur, akan sulit bagi seseorang untuk bertahan sendiri sehingga muncullah orang-orang jujur yang lemah karena keadaan. Itulah perlunya menempatkan orang-orang dengan karakter yang jujur tidak hanya pintar pada tempat-tempat yang strategis.

 

Dalam pemerintahan, amat sangat dibutuhkan pemimpin dan pegawai ujung tombak Pemerintahan yang tidak hanya pintar namun juga memiliki budi pekerti dan karakter yang jujur. “ujung pena”  pemimpin sangat menentukan arah roda Pemerintahan. Tidak sedikit skema KKN sekarang dibuat agar terlihat halal dengan ujung pena Pemimpin, sehinggah muncul KKN berjemaah yang tentunya amat sangat menyulitkan APH terutama KPK dalam mengupas tuntas suatu kasus yang sudah direkayasa secara berjemaah, kalaupun bisa hanya menyentuh kulit luarnya saja.

 

Sebagai contoh, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pada Bab IXA tentang Pendanaan, pasal 87A berbunyi "Pendanaan penyelenggaraan program dan kegiatan administrasi kependudukan yang meliputi kegiatan fisik dan non fisik, baik di provinsi maupun kabupaten/kota dianggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara." Namun apakah terealisasi dengan benar? Apakah benar-benar masyarakat tidak membayar sepeserpun untuk pengurusan administrasi kependudukan?. Apakah diterapkan? Jika tidak salah siapa? Kepala Daerah? Kepala Dinas? atau petugas pelayanan administrasi kependudukan?

 

Itulah pentingnya memilih dan menempatkan orang-orang “benar” di posisi yang “benar”. Masyarakat memilih Presiden/Kepala Daerah/Perwakilan Rakyat yang “benar”, pemimpin menempatkan pejabat/pegawai yang “benar” di posisi yang “benar”.

 

Jadi, hubungan masyarakat dan pemerintahan itu sendiri bersimbiosis, masyarakat harus sadar untuk tidak memilih Presiden/Kepala Daerah/Perwakilan Rakyat yang “tidak benar” dalam Pemerintahan, dan Presiden/Kepala Daerah/Perwakilan Rakyat harus tegas untuk tidak menempatkan Pejabat/Pegawai “tidak benar” di posisi strategis Pemerintahan.

 

Sehingga sangat rasional jika upaya pemberantasan korupsi dengan pencegahan dan penindakan tidak hanya berfokus di lingkup Pemerintahan saja.

Sistem pencegahan Korupsi dapat juga difokuskan di setiap lingkungan sekolah dan organisasi sosial masyarakat dan politik. Sistem pencegahan dimaksud berfokus pada penindakan oleh organisasi sosial, masyarakat dan politik atas ketidakjujuran yang dilakukan anggotanya, penindakannya berupa tindakan yang dapat membangkitakan rasa kejujuran yang disesuaikan dengan kondisi internal organisasi/lembaga masing-masing. Sehingga diharapkan dapat terbentuk karakter jujur dari masyarakat yang merupakan pondasi awal anti korupsi.

Hal ini tentu tidak mudah, karena untuk dapat menjalankannya memerlukan payung hukum yang berada di ujung pena Pemimpin. Terlepas dari contoh diatas, tentunya banyak kebijakan lain yang dapat ditetapkan untuk pencegahan dan penindakan korupsi, dan sekali lagi itu berada di ujung pena pemimpin yang memiliki karakter jujur dan berkeinginan kuat menumpas korupsi. Dan untuk memiliki pemimpin seperti itu tentu harus dipilih oleh masyarakat yang sudah memiliki kesadaran tinggi akan anti korupsi.

Kapan itu bisa terjadi? Disaat masyarakat dengan mantap memilih melaksanakan Pemilu yang bebas dari “amplop” dan “serangan fajar”.

Bagikan :