Masih lekat di ingatan ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Letak kabupaten ini dari Kota Kendari berjarak tempuh sekira 3-4 jam menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat.
Selembar SK yang membuat saya berlabuh di Bombana, tepatnya di Kantor Pertanahan Kabupaten Bombana. Sebuah perintah dinas yang harus dijalani, meski hati kecil menahan tangis karena harus meninggalkan keluarga.
Saat itu hanya ada semacam mes di belakang kantor berukuran 2x3 meter, berdinding triplek dan tanpa kasur yang menjadi fasilitas untuk saya. Walau begitu saya masih bersyukur masih ada tempat menginap, tidak perlu mencari kontrakan atau kamar kos.
Langkah pertama tentu saja saya mesti belanja kasur busa untuk alas tidur saya. Kasur yang hingga kini masih saya ingat sensasinya, karena dinginnya lantai masih terasa saat rebahan di kasur itu.
Ya begitulah kondisinya, dan saya tidak perlu mengeluh soal fasilitas, karena pada dasarnya saat itu saya sedang berjuang mencari nafkah untuk keluarga dengan balutan tugas dari negara.
Justru hal yang paling saya jaga adalah soal kesiapan diri, secara mental dan psikologis, untuk menjadi bagian dari lingkungan kerja baru. Saya sadar, saya adalah perantau dari Jawa yang berbeda secara latar belakang sosial dan budaya.
Dimulai dari lingkungan kantor yang kecil, saya mencoba berbaur baik dalam hal pelaksanaan tugas hingga hal-hal di luar pekerjaan. Keseimbangan antara tugas dan dan di luar tugas menjadi penting karena saya dan beberapa rekan kerja tinggal di mes belakang kantor.
Sebagai manusia biasa tentu bakal jengah andai tiap saat selalu berkutat soal pekerjaan. Maka di luar jam kerja, kami selalu berusaha melakukan aktifitas yang berbeda. Minimal mencari makan malam di warung yang cukup jauh jaraknya dari kantor.
Sebagai pendatang, saya juga harus beradaptasi terhadap kebiasaan dan budaya setempat. Saya tak akan menampik jika ada ajakan mampir ke rumah kawan, berolahraga bersama, hingga menghadiri acara seperti lahiran anak, khitanan, hingga pernikahan.
Kegiatan-kegiatan semacam itu bagi saya berdampak positif bagi diri saya secara psikologis. Lebih positif daripada saya terus meratap, menyesali keadaan, dan berharap segera kembali ke kampung halaman saya.
Dalam beberapa bulan bahkan logat bicara saya sudah mirip warga setempat. Menjadi sebuah indikasi bahwa saya bisa merasa nyaman dan juga diterima dengan baik ketika bertugas di tempat yang berbeda secara adat dan budaya.
IKN dan Kesiapan ASN
Pengalaman penempatan di rantau membuat saya berpikir ketika saat ini ASN dipersiapkan pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Sudah pasti banyak pro dan kontra, ada yang siap, ada pula yang tidak siap. Sebenarnya wajar dan manusiawi.
Bagi ASN yang betugas di instansi atau Kementerian yang diproyeksikan bakal segera pindah ke IKN, mestinya sudah mulai berpikir dan menyiapkan diri sebaik mungkin.
Saya sempat berbincang dengan kawan yang saat ini bertugas di Otorita IKN. Pola pikir mereka justru fokus terhadap peluang dan manfaat dari penugasan di IKN. Menjadi bagian dari sejarah IKN adalah sebuah kebanggan yang mencakup peluang untuk pengembangan karier, pengalaman baru, dan membangun jaringan menjadi lebih luas.
Perubahan adalah keniscayaan, bahkan bertahan di tempat lama tak menjamin seseorang menjadi nyaman. Maka ketika ASN mendapat penugasan di IKN, membangun pola pikir yang berorientasi pada pertumbuhan diri menjadi penting. Anggaplah perubahan dalam hal penugasan di tempat baru menjadi kesempatan untuk berkembang lebih baik lagi.
Dukungan sosial perlu menjadi bekal yang memantapkan langkah bagi ASN yang hendak ditempatkan di IKN. Komunikasikan dengan keluarga, diskusikan segala hal yang mungkin terjadi dan konsekuensi-konsekuensi yang bakal muncul.
Keluarga adalah alasan utama kita mencari nafkah. Maka, restu dari keluarga serta bagaimana kita meyakinkan keluarga baik di lingkup keluarga inti maupun keluarga besar, adalah bekal sosial dan psikologis yang sangat penting bagi kita.
Berdiskusi dengan rekan kerja dan atasan juga menjadi penting dilakukan. Baik mereka yang memang akan berangkat ke IKN maupun tidak, saling mendukung sesama ASN menjadi penguat mental yang dibutuhkan.
ASN yang pindah ke IKN akan menjadi warga baru, berbaur dengan komunitas baru, populasi dan lingkungan baru, serta tentunya menghadapi budaya baru.
Pemindahan ASN tidak hanya memindahkan fisik pegawai pemerintah di tempat yang baru. Lebih dari itu, pemindahan diharapkan mampu memperkuat ketahanan masyarakat lokal, baik secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.
Ada cita-cita dan harapan besar akan terwujudnya integrasi kehidupan masyarakat yang berkeadilan. Pembangunan IKN yang diikuti pemindahan ASN diharapkan memberikan dampak positif, meningkatkan perekonomian, mengurangi kesenjangan, serta meningkatkan pembangunan yang lebih merata tanpa mengorbankan terkikisnya kearifan lokal.
Maka, ketika Nusantara memanggil, siapkan diri sebaik-baiknya lahir maupun batin. Tatap masa depan dengan pandangan positif dan semangat pengabdian.