Sepenggal Kisah Menyambut Hari Ibu: Teman Ibu Ternyata Orang Baik

Gambar sampul Sepenggal Kisah Menyambut Hari Ibu: Teman Ibu Ternyata Orang Baik

 


oleh : Charlie Ch. Legi


SUARA gaduh dari atas atap rumah telah membangunkan ku. Mimpi sedang belajar di pondok pesantren ternama akhirnya menjadi buyar. Padahal hari masih pagi. Saya kemudian memilih salat dan mengaji. 


Sekira pukul delapan, Ibu mengetuk pintu kamar. Saya tersentak dan membukakan pintu. 


"Ayo abang, ikut Ibu ke pasar," ajak Ibu kepada saya. 


Setelah mandi dan berpakaian, Ibu menggamit tangan saya dan membawa berjalan ke arah pasar. Sudah terbiasa bagi kami untuk berjalan kaki ke pasar. Di samping tidak memiliki uang yang cukup untuk memesan ojek online, jarak antara rumah kami dengan pasar hanya sekira dua kilometer. 


Saya memang tidak mengetahui tujuan Ibu ke pasar. Takut untuk bertanya. Karena sedari tadi wajah Ibu masam. Saya lantas memilih diam.

 
Setiba di depan sebuah gedung berkelir  abu-abu hijau, Ibu meminta saya untuk duduk di kursi tunggu. Ibu memilih masuk ke suatu ruangan. Ibu berbincang dengan seorang lelaki. Cukup lama saya menunggu.

 
Tidak sampai sejam, Ibu kemudian keluar dari ruangan. Wajah Ibu tampak berubah. Senyumnya mengembang. Saya bertanya kepada ibu.

 
"Siapa laki-laki tadi Bu?" tanya saya.

 
"Oh, itu teman ibu, besok kita pergi mendaftar sekolah kamu ya nak," kata ibu kepada saya. 


Saya tersenyum sambil mengangguk. Saya senang, mimpi belajar di pondok pesantren bakal kesampaian. Tentunya saya bakal mendapat banyak bekal ilmu agama.

 
Sore harinya, Ayah belum juga pulang. Saya minta ibu untuk menelpon Ayah. Ibu pun menggeleng sambil berkata bahwa handphone miliknya sudah dititip ke lelaki tadi. 


"Handphone milik ibu sudah ibu titip ke lelaki tadi," sebut Ibu. 


Tiga tahun berselang, saya menamatkan diri dari pondok pesantren. Ayah dan ibu memilih untuk menyekolahkan saya di sekolah menengah atas. Begitu juga adik perempuan yang harus bersekolah di sekolah menengah pertama. 


Ibu kemudian mengajak saya ke pasar. Menemui temannya yang tiga tahun lalu dijumpainya. Begitu bertemu temannya itu, Ibu selalu nampak senang. 


"Abang dan adik besok ikut Ibu ke sekolah kalian ya," tegas Ibu. 


Hati siapa yang tidak senang jika bersekolah di sekolah ternama. Punya banyak kawan, dan pastinya mendapat ilmu pelajaran dari guru-guru pilihan.

 
Tiga tahun setelah itu, Ibu kembali mengajak saya ke pasar. Menemui temannya yang dulu.

 
Setelah menemui temannya, Ibu mengajak saya ke kampus ternama di kota saya. Ibu telah mendaftarkan saya kuliah di sana. 


"Paling penting, anak-anak ibu semua bersekolah. Tidak ada yang tidak sekolah. Ilmu itu penting sebagai bekal kalian nanti, ibu ingin kalian lebih dari ibu dan ayah," pesan ibu kepada kami di suatu waktu. 


Setahun kuliah, saya kehilangan panutan selama ini. Ayah berpulang. Saya sedih telah kehilangan sosok Ayah yang tegas dan membina anak-anaknya dengan baik. Meski jarang berkomunikasi intensif dengan Ayah, akan tetapi Ayah telah mengajarkan saya banyak hal.


Sejak saat itu, Ibu lebih banyak di luar rumah. Ibu pergi pagi pulang malam. Ibu menjadi tulang punggung keluarga sekaligus panutan bagi kami. Ibu selalu mengadakan apa yang tidak ada pada kami. 


Suatu waktu, ibu sakit. Kami sedih. Adik saya turun tangan merawat ibu. Ikut memasak dan mencuci baju kami. Ibu tak dibolehkan lagi keluar rumah. 


"Abang, besok temui pak Fikar yang rumahnya di ujung gang. Lanjutkan usaha ibu ya nak," pesan ibu kepada saya. 


Hati saya bertanya-tanya, usaha apa yang dirintis ibu sejak ayah tidak ada. Tak ingin menunggu pagi, saya kemudian menemui pak Fikar. 


Sejam lebih saya bersama pak Fikar. Rupanya lelaki paruh baya tersebut telah banyak membantu ibu selama ini. Pak Fikar merupakan sosok yang selalu ditemui ibu di kantor berkelir abu-abu hijau di pasar. Dari penuturan pak Fikar lah saya mendapatkan informasi bahwa ibu mendatanginya untuk mendapatkan biaya sekolah anak-anaknya. 


Selama ini, ibu menggadaikan barang-barang berharga yang dimilikinya. Mulai dari handphone, kalung dan cincin emas pemberian Ayah, hingga kendaraan roda dua satu-satunya peninggalan Ayah. Dari penuturan pak Fikar pula saya mendapatkan informasi jika ibu sedang membuka usaha kelontong kecil-kecilan selama ini. 


"Ibu mu sangat perhatian terhadap kalian. Ibu yang ingin anaknya sukses dan tak ingin ada raut sedih di wajah anak-anaknya," terang pak Fikar kepada saya. 


Sejak itu saya mengetahui bahwa ibu memiliki toko kecil di dekat pasar. Tak heran ibu selalu pulang malam. Membanting tulang demi kami. 


Hari itu, saat berada di toko milik ibu, handphone saya berdering. Adik menelpon, mengabari bahwa ibu telah meninggalkan kami. Saya menangis sejadi-jadinya. 


Setiba di rumah, saya dapati ibu sudah terbujur kaku di ruang tengah. Warga mencoba menenangkan saya. Saya melihat wajah ibu untuk terakhir kalinya. Wajah yang masih terlihat cantik meski banyak guratan. Bagi kami, ibu merupakan pahlawan. Telah mengajarkan kami banyak hal tentang kehidupan. 


Pak Fikar merangkul saya. Lelaki itu menceritakan semua hal tentang ibu. Dari pak Fikar saya mengetahui bahwa ternyata ibu merupakan nasabah salah satu lembaga keuangan yang juga memiliki tabungan emas. 


Benar kata orang, ibu merupakan madrasah pertama bagi anaknya. Mengajarkan anaknya tentang cinta, kasih sayang dan kebaikan sejak dalam kandungan. Ibu yang juga menjadi pemberi nasehat kepada anaknya dan membantu mengembangkan kecerdasan emosional anaknya. Terimakasih ibu, selamat jalan, teruslah ke surga...***

Bagikan :