Sebuah Panggilan Hati di Balik Berkas Perkara

Gambar sampul Sebuah Panggilan Hati di Balik Berkas Perkara

Bayangkan seorang Ibu Guru bernama Sari. Sepuluh tahun ia mengabdi di sebuah SD negeri di pinggiran Kabupaten Langkat. Setiap pagi, ia menyeberangi sungai dengan perahu kecil untuk sampai ke sekolah, membawa bukan hanya buku pelajaran, tetapi juga semangat untuk mencerdaskan anak-anak desa. Namun, di balik senyumnya yang sabar, tersimpan kegelisahan yang mendalam. Statusnya sebagai guru honorer bagai bayang-bayang yang selalu mengikuti. Gajinya pas-pasan, jauh dari memadai, dan masa depannya tak pasti, bagai perahu yang ia tumpangi tanpa tahu kapan akan sampai di tepian yang kokoh.

Kisah Ibu Sari bukanlah cerita tunggal. Ia adalah satu dari ratusan, bahkan ribuan, potret nyata yang akhirnya bermuara pada sebuah berkas perkara di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan, bernomor 162/B/2024/PT.TUN.MDN. Sengketa hukum ini, yang melibatkan Bupati Langkat dan 95 guru honorer, bukan sekadar persoalan administratif belaka. Ia adalah jeritan hati yang terlembagakan, sebuah tanda bahwa sudah waktunya kita, sebagai ASN, tidak hanya melihat ini sebagai masalah, tetapi sebagai panggilan untuk bertindak dengan hati dan akal budi.

Sebagai seorang yang berkecimpung dalam pengembangan SDM aparatur, saya percaya bahwa setiap tantangan birokrasi adalah kesempatan emas untuk membangun sistem yang lebih manusiawi. Kasus Langkat ini adalah alarm yang menyadarkan kita: sudah saatnya kita mencari jalan tengah yang bijaksana antara kebutuhan operasional di lapangan dan kepastian hukum yang menjadi hak setiap warga negara.

Memahami Akar Permasalahan 

Sebelum melompat pada solusi, mari kita menyelami dahulu akar persoalannya. Keberadaan guru honorer sesungguhnya adalah bukti nyata dari semangat gotong royong dalam dunia pendidikan. Ketika formasi PNS terbatas dan anak-anak tidak boleh kehilangan haknya untuk belajar, para guru honorer inilah yang maju ke garda depan. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa dalam arti yang sesungguhnya.

Namun, dibalik pengabdian mereka, tersembunyi beberapa luka kronis yang harus kita obati:

  1. Kerapuhan Status dan Imbas Psikologisnya. Bekerja dengan status “honorer” bagai hidup dalam ketidakpastian yang abadi. Kontrak tahunan yang bisa berakhir kapan saja menciptakan kecemasan yang luar biasa. Bagaimana seseorang dapat fokus membentuk masa depan generasi penerus jika masa depannya sendiri masih terombang-ambing? Persoalannya melampaui sekadar gaji; ini soal harkat, martabat, dan pengakuan.
  2. Kesenjangan yang Melukai Hati. Coba bayangkan, dua guru berdiri mengajar di sekolah yang sama, dengan beban kerja yang sama, bahkan mungkin dedikasi yang sama besarnya. Namun, yang satu menikmati tunjangan dan gaji yang layak, sementara yang lain harus berjuang menghidupi keluarga dengan penghasilan yang sangat minim. Kesenjangan ini bukan hanya soal angka, tapi dapat mengikis semangat kolektivitas dan meracuni iklim kerja yang sehat.
  3. Jalan Menuju Kepastian yang Terasa Sangat Panjang. Jalur untuk menjadi CPNS ibarat lorong yang sempit dan penuh sesak. Banyak guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun, menguasai ilmunya, dan memahami karakter anak didiknya, justru terpental dalam seleksi karena faktor usia atau hal teknis lainnya. Ini menimbulkan kekecewaan mendalam dan perasaan bahwa pengabdian mereka tidak dihargai.

Kasus di Langkat adalah puncak gunung es dari semua kekecewaan dan ketidakpastian. Gugatan ke pengadilan langkah terakhir, sebagai sebuah upaya untuk didengar ketika suara mereka seolah tak lagi sampai melalui saluran-saluran birokrasi yang biasa.

Merancang Solusi Inovatif

Lalu, apa yang dapat kita lakukan? Pendekatan lama yang reaktif dan sekadar memadamkan api sudah tidak relevan. Kita perlu solusi yang inovatif, berkelanjutan, dan yang terpenting, menempatkan manusia sebagai pusatnya. Berikut adalah beberapa langkah strategis yang dapat kita terapkan:

  1. Pemetaan dan Sertifikasi Kompetensi: Mengubah “Honorer” Menjadi “Berkompetensi”. Alih-alih hanya melihat status, mari kita lihat kompetensi. Pemerintah Daerah dapat menginisiasi program “Audit Kompetensi dan Kinerja Guru Honorer” secara menyeluruh. Program ini bukan sekadar tes, tetapi sebuah proses assessment yang holistik, yang mempertimbangkan masa kerja, portofolio mengajar, hasil karya, dan testimoni dari sekolah serta masyarakat. Mereka yang lulus audit dan tersertifikasi, diberikan label “Guru Kompeten” dan diprioritaskan untuk skema pengangkatan yang lebih pasti, seperti Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Ini adalah cara adil untuk memberi penghargaan pada pengabdian dan kemampuan.
  2. Merancang Skema Remunerasi yang Berkeadilan: Menghargai Pengabdian, Bukan Hanya Status. Sambil menunggu proses formalisasi status, kita tidak boleh tinggal diam menunggu. Pemerintah Daerah dapat merancang Skala Remunerasi Berbasis Kinerja dan Masa Kerja untuk guru honorer. Skala ini transparan dan jelas, diumumkan kepada semua pihak. Seorang guru honorer dengan masa kerja 10 tahun dan kinerja baik, misalnya, berhak mendapat tunjangan tambahan yang signifikan dibandingkan rekannya yang baru satu tahun mengabdi. Langkah ini adalah bentuk nyata keadilan yang dapat segera diimplementasikan, meredakan ketegangan, dan memulihkan rasa hormat.
  3. Membuka Pintu Pengembangan Profesi: Investasi Terbaik untuk Masa Depan. Salah satu keluhan terbesar guru honorer adalah merasa terpinggirkan, termasuk dari akses pengembangan diri. Mari kita ubah narasi ini. Mereka harus diberikan akses setara untuk mengikuti Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), pelatihan, dan diklat. Dengan menginvestasikan sumber daya untuk meningkatkan kompetensi mereka, kita tidak hanya membangun kapasitas individu guru, tetapi juga secara langsung meningkatkan mutu pendidikan di daerah tersebut. Ini adalah strategi “win-win solution” yang cerdas.

Membangun Kolaborasi 

Tidak ada satu pihak pun yang dapat menyelesaikan masalah kompleks ini sendirian. Kunci keberhasilannya terletak pada kolaborasi yang solid.

  1. Sinergi Pemerintah Daerah dan Kementerian PANRB. Pemerintah Daerah tidak boleh bekerja di ruang hampa. Mereka harus aktif dan proaktif menjalin komunikasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). Koordinasi ini bukan sekadar meminta “kuota formasi”, tetapi menyajikan data yang solid dari hasil “Audit Kompetensi” tadi. Dengan data yang akurat dan berbasis bukti, pemerintah daerah dapat melakukan advokasi yang lebih kuat untuk mendapatkan alokasi formasi PPPK yang realistis dan sesuai kebutuhan riil di lapangan.
  2. Komunikasi Transparan dengan Seluruh Pemangku Kepentingan. Proses dan kebijakan apapun yang dibuat harus dikomunikasikan dengan transparan dan intensif kepada seluruh guru honorer, kepala sekolah, dan serikat pekerja. Buatlah forum-forum dialog terbuka. Dengarkan keluh kesah mereka, jelaskan tahapan kebijakan dengan bahasa yang mudah dimengerti, dan jadikan mereka mitra dalam proses perbaikan ini. Transparansi akan meminimalisir salah paham dan membangun kepercayaan yang merupakan fondasi dari segala reformasi.

Hasil Nyata yang Dapat Diraih 

Bayangkan jika langkah-langkah ini kita jalankan dengan konsisten dan penuh komitmen. Apa hasil nyata yang dapat kita harapkan?

  1. Guru yang Bahagia dan Fokus. Dengan status dan kesejahteraan yang lebih terjamin, guru-guru seperti Ibu Sari dapat mengajar dengan hati yang tenang dan pikiran yang fokus. Energi yang sebelumnya terkuras untuk memikirkan ketidakpastian, kini dapat dialihkan sepenuhnya untuk berinovasi dalam mengajar dan mendidik anak-anak.
  2. Peningkatan Mutu Pendidikan Daerah. Guru yang sejahtera dan terus berkembang kompetensinya adalah faktor kunci penentu kualitas pendidikan. Pada akhirnya, investasi kita pada guru honorer adalah investasi langsung pada peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah tersebut untuk puluhan tahun ke depan.
  3. Tata Kelola Birokrasi yang Lebih Bermartabat. Kasus sengketa seperti di Langkat dapat dicegah di masa depan. Pemerintah Daerah membangun citra sebagai institusi yang mendengarkan, adil, dan mampu mengelola sumber daya manusianya dengan bijaksana. Ini adalah bentuk pelayanan publik yang sesungguhnya.

Sebuah Pilihan di Tangan Kita

Putusan PTTUN Medan dalam kasus Langkat bukan sekadar dokumen hukum. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah kita semua. Ia mengajak kita untuk berefleksi: apakah kita akan terus membiarkan para pahlawan pendidikan ini berjuang sendirian diantara ketidakpastian? Atau, kita akan bangkit dan mengambil peran untuk merajut kembali masa depan mereka dengan benang-benang keadilan, kepastian, dan penghargaan.

Mari kita pilih untuk menjadi bagian dari solusi. Mari kita jadikan momen ini sebagai titik balik untuk membangun ekosistem kepegawaian yang tidak hanya efisien secara administratif, tetapi juga berperasaan. Karena pada akhirnya, kepastian yang kita berikan kepada setiap guru honorer adalah fondasi paling kokoh untuk membangun peradaban bangsa yang unggul dan berkarakter. Mari kita wujudkan bersama.

Bagikan :