Beberapa saat terakhir semakin ramai dibicarakan (baca: viral) tentang satu data pangan. Itu hanya salah satu data yang menyita perhatian publik. Presiden sendiri di beberapa kesempatan menegaskan, “Urusan data yah BPS, tidak boleh lagi ada data berbagai versi.” Kalimat yang tentunya menjadi pelecut dan sekaligus tanggung jawab besar yang harus diemban oleh ASN BPS se-Indonesia. Dipertegas dengan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.
Sehubungan dengan data pangan (utamanya beras) BPS kembali didesak mengeluarkan data yang bisa jadi acuan pemerintah. Data beras yang dipertanyakan kevalidannya membuka peluang adanya perbedaan sikap dari para pembantu presiden sendiri. Ada yang setuju impor, ada pula yang menolak impor dengan tegas.
Sebagai lembaga penghasil data, BPS tentu harus berdiri terdepan. BPS telah menerapkan metode terbaru dalam pengumpulan data pangan yang dianggap lebih bisa menjawab desakan Forum Masyarakat Statistik (FMS) dan Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Data ini sudah beberapa kali dirilis, meskipun tetap saja banyak kritikan. “Sanggupkah BPS menjawab setiap kritikan?”
BPS tidak berdiam diri saja. Semua langkah penyempurnaan terus dilakukan. Kita semua ASN BPS dituntut harus memberi jawaban yang tegas, “sanggup” atau “tidak”. Kita akan cenderung menjawab “sanggup” dengan percaya diri jika kita sudah bekerja dengan maksimal sesuai SOP. Sebaliknya, kita tidak mungkin berani mengatakan “sanggup” jika kita masih bekerja asal-asalan atau budaya kerja kita masih diiringi moral hazard.
Seperti diketahui bersama bahwa BPS telah melakukan berbagai uji coba perbaikan data dengan berbagai metode atau pendekatan. Sebut saja SKB 2012, SKGB 2012, PIPA 2012, ST2013, SKCB 2015, dan SLPLLTP 2015-2016. Yang terbaru adalah penerapan remote sensing dalam penyempurnaan Kerangka Sampel Area (KSA).
KSA adalah metode yang terbaru. Diuji coba sejak 2015 untuk sampel Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Garut dengan level estimasi kecamatan, sampel Provinsi Jawa Barat dengan level estimasi kecamatan pada tahun 2016, sampel seluruh Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta dengan level estimasi kecamatan pada tahun 2017, serta tahun 2018 di seluruh provinsi dengan level estimasi kecamatan. Sejak 2019 telah dirilis hasilnya, kemudian tahun-tahun berikutnya terus disempurnakan dan diperluas dengan pengukuran tanaman pangan lain, seperti jagung.
Dengan satu data pangan nantinya tentu tidak ada alasan bagi BPS untuk mengkambinghitamkan orang/lembaga lain. ASN BPS harus berdiri terdepan sebagai penanggung jawab tunggal. Data pangan ini bukan satu-satunya yang menjadi tanggung jawab BPS. Hampir semua jenis data harus melalui standar data yang telah ditentukan melalui pembinaan BPS.
Tantangan
Dengan semakin disorotnya BPS sebagai penyedia data dan diharapkan sebagai salah satu penyedia data utama kebijakan pemerintah, maka beban kerja dan tanggung jawab akan semakin besar. Utamanya, akan semakin terasa bagi jajaran petugas pengumpul data di daerah. Survei yang tidak terintegrasi di antara subject matter di pusat akan membuat pekerjaan mengumpul di kabupaten. Slogan untuk tidak membebani petugas pencacah dan responden semakin jauh dari kenyataan. Akibatnya, data berkualitas untuk membangun prestasi bangsa tentu akan semakin sulit tercapai.
Selama ini petugas di daerah semakin sulit untuk sekedar “bernapas” membuat tidak sedikit yang jatuh sakit. Belum termasuk bagi mereka yang kecelakaan dengan luka ringan hingga ada yang meninggal dunia. Ditambah fasilitas kerja di lapangan semakin terbatas dengan alasan sudah remunerasi, padahal remunerasi seratus persen yang sudah lama diidamkan belum juga terwujud. Belum lagi pemetaan pegawai yang masih jauh dari ideal, upaya terdepan untuk mengakomodir “fungsionalisasi” pegawai belum tercapai. Masih banyak yang harus menjadi pelaksana karena alasan tidak dapat formasi.
Satu data akan membuat BPS lebih independen dan jauh dari intervensi tetapi di sisi lain keakuratan data karena human error akan semakin jauh dari yang diharapkan. BPS telah menerima Peraturan Presiden tentang Satu Data Indonesia sebagai salah satu badan yang harus bertanggung jawab penuh terhadap akurasi data. ASN BPS harus berkomitmen menjalankan itu semua dengan sepenuh hati untuk kemajuan bangsa. (*)