Regulasi Sebagai Obat Penyakit Laten Perilaku Koruptif

Gambar sampul Regulasi Sebagai Obat Penyakit Laten Perilaku Koruptif

Menjadi Birokrat Yang Baru Seumur Jagung

Sebagai seorang birokrat yang baru seumur jagung (dengan masa kerja 3 tahun), saya tentu masih miskin pengalaman dan ilmu. Meskipun terhitung baru seperti balita yang sudah fasih berjalan dan tengah belajar bagaimana cara berkomunikasi dengan orang terdekatnya, tetap ada banyak cerita bahkan fenomena bagaimana sistem birokrasi ini berjalan. Singkat kata, apabila meminjam anekdot dalam bahasa Sunda: "di birokrasi, ti mulai sajadah nepi ka haram jadah, kabeh oge aya," yang secara terjemahan bebas dapat diartikan: "di dalam birokrasi, semuanya tersedia, baik yang halal maupun yang haram atau dilarang sekalipun." Anekdot tersebut mungkin terlalu bias bagi sebagian orang. Namun secara garis besar, kita bisa menyimpulkan bahwa dunia birokrasi sama dengan kehidupan pada umumnya yang mengenal baik dan buruk, hitam dan putih, serta halal dan haram. Benang merah yang hendak diurai dari ilustrasi tersebut berangkat pada dua kemungkinan, yaitu: "bagaimana kita tidak ikut-ikutan menjadi noktah hitam di selembar kain berwarna putih" atau "berusaha memutihkan yang hitam untuk bersama-sama mempertahankan orisinalitas warna putihnya."

ASN/Birokrat Harus Berhenti Berdiri di Zona Abu-Abu

Sebagai pribadi yang telah disumpah di atas Kitab Suci, sangat fardhu ain hukumnya setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) dituntut menunjukan perilaku yang profesional, netral/imparsial bersikap hati-hati, serta senantiasa untuk tidak menolerir sekecil apa pun bentuk perilaku korupsi (zero tolerance for corruption). ASN dengan kesadaran penuh tidak hanya semata-mata bekerja sebagai alat pemuas kebutuhan pimpinan atau bekerja seolah-olah berdiri di atas kepentingan segelintir orang, melainkan ASN harus menjadi sebuah simbol bagaimana kepercayaan atau amanah dari masyarakat yang dititipkan kepada kita agar dijaga dengan baik. ASN jangan berhenti di zona abu-abu (grey zone), sebaliknya ASN harus memiliki misi membangun kesadaran kolektif tentang makna pentingnya menjaga integritas demi tercapainya iklim birokrasi yang bebas dari beragam praktik perilaku koruptif. Bahkan jika harus diucapkan lebih radikal lagi, ASN harus menjadi obat bagi patogen birokrasi yang beragam bentuk rupa mulai dari kokohnya tembok budaya feodal, sungkan menolak perintah atasan (untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu apa yang diperintahkan undang-undang), bahkan menerima sesuatu yang bukan merupakan haknya.

Penyakit Laten Perilaku Koruptif

Dalam istilah medis, penyakit laten digambarkan sebagai kondisi di mana seseorang merasa baik-baik saja, namun di dalam tubuhnya masih terjangkit virus atau penyakit yang suatu hari dapat menimbulkan gejala klinis. Kondisi serupa dapat dijumpai dalam birokrasi atau pemerintahan, di mana patogen atau penyakit perilaku koruptif dapat terjadi di berbagai sektor pelayanan publik. Pusat Studi Anti Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (ACLC) memberikan beberapa gambaran mengenai jenis korupsi dalam ruang lingkup tata kelola pemerintahan, baik mulai dari korupsi skala kecil (petty corruption) bahkan sampai dengan korupsi yang paling besar (grand corruption). Dalam konteks hukum positif kita, delik mengenai korupsi diatur dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan, mulai dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sampai dengan secara khusus (lex specialis) diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Putusan MK RI Nomor 25/PUU-XIV/2016, yang pada pokoknya keseluruhan berbicara mengenai korupsi terkait dengan adanya kerugian negara, gratifikasi, suap-menyuap, pemerasan, perbuatan curang, penggelapan dalam jabatan, benturan kepentingan dalam pengadaan, bahkan sampai dengan perdagangan pengaruh (trading of influence) di mana seorang pejabat publik menyalahgunakan kewenangan/kekuasaannya (abuse of power) untuk memperoleh keuntungan pribadi. Beberapa tindakan atau perilaku koruptif tersebut seringkali tidak disadari oleh masyarakat apabila tidak bersinggungan langsung dengan kepentingan publik atau bahkan modus operandi yang belum terendus oleh Aparat Penegak Hukum. Hal tersebut tentu sangat berbahaya, mengingat perilaku koruptif dapat menjangkiti siapa saja, tanpa memandang jabatan seseorang di dalam pemerintahan. Sebagai contoh, di daerah tempat penulis bertugas, terhitung sudah puluhan bahkan ratusan kali laporan/aduan dari masyarakat mengenai adanya perilaku menyimpang dari aparatur pemerintahan yang membiarkan beberapa oknum pelaku usaha mendirikan usaha di daerah tanpa mengurus persyaratan perizinan terlebih dahulu. Adanya kondisi tersebut tidak hanya menimbulkan gelombang protes dari elemen kelompok masyarakat (civil society), tetapi juga bocornya potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga daerah tidak memiliki kemandirian fiskal yang berdampak pada ketergantungan secara masif terhadap transfer dari Pemerintah Pusat, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat, bahkan hingga buruknya sarana dan prasarana penunjang aktivitas/kegiatan masyarakat, seperti meningkatnya volume jalan yang rusak serta kondisi sekolah dan sarana peribadatan yang kurang memadai. Beberapa realita tersebut mungkin belum seluruhnya tergambarkan secara utuh, namun sedikit banyak merupakan akumulasi dari faktor perilaku koruptif oknum aparatur yang membiarkan atau memanfaatkan pengaruh jabatannya untuk memperoleh keuntungan pribadi, yang berdampak pada penurunan kualitas hidup masyarakat. Sekali lagi, penyakit laten yang berpotensi "mematikan" kepercayaan publik (public trust) kepada Pemerintah Daerah ini harus segera dicarikan resep obat yang tepat saat pemangku kebijakan sudah mengetahui persis diagnosanya.

Regulasi Menjadi Obat

Di daerah tempat penulis bertugas, seringkali dihadapkan pada berbagai persoalan yang menyangkut tumbuhnya usaha ilegal (yang tidak berizin), bangunan usaha yang tidak terstandarisasi dengan baik (tidak mengantongi izin Persetujuan Bangunan Gedung/PBG sampai Sertifikat Laik Fungsi/SLF), pelanggaran jam operasional toko modern (minimarket dan supermarket) yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat di pasar tradisional, serta adanya pembiaran dari instansi tertentu mengenai berbagai macam jenis usaha yang mengganggu ketertiban umum serta berpotensi merusak lingkungan. Beragam kondisi tersebut sejatinya tidak hanya diakibatkan oleh faktor manusia (man/structure) semata, melainkan juga oleh ketidakmampuan daerah dalam menyediakan perangkat hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Kepala Daerah (Perkada) untuk menanggulangi permasalahan di atas.

Sepanjang penulis berkarier di bidang Penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah selama tiga tahun, banyak regulasi atau peraturan perundang-undangan tingkat lokal (Perda/Perkada) yang sudah tidak mampu mengikuti dinamika perkembangan zaman serta tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kondisi tersebut jelas menimbulkan persoalan nyata tentang bagaimana Pemerintah Daerah belum mampu merespons secara serius permasalahan mengenai perizinan usaha yang ada di daerah.

Kondisi ini diperparah dengan pola perilaku koruptif dari masing-masing oknum instansi atau perangkat daerah yang seolah memanfaatkan situasi kekosongan dan keusangan regulasi dengan cara "bermain mata" dengan para pelaku usaha, sehingga seolah menggelar karpet merah bagi mereka untuk secara bebas menyelenggarakan usaha tanpa mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penulis menemukan berbagai fakta di lapangan berdasarkan data laporan maupun aduan dari masyarakat yang menerangkan bahwa telah terjadi potensi atau dugaan praktik perilaku koruptif dari oknum ASN di perangkat daerah tertentu yang membantu pelaku usaha untuk membuka keran usaha seluas-luasnya dengan iming-iming imbalan materi yang masuk ke dalam kantong pribadi tanpa dasar persyaratan perizinan usaha yang memadai.

Adanya kondisi "oknum ASN 86" dan terkesan "masuk angin" tersebut tentu tidak dapat dibenarkan dan dibiarkan terlalu lama begitu saja, mengingat suatu penyakit yang dibiarkan terlalu lama tanpa diberikan resep obat yang sesuai akan menjadi semakin parah dan menjalar ke mana-mana. Oleh karena itu, pada awal tahun 2025, penulis bersama beberapa rekan yang lain memberanikan diri untuk menginisiasi penyusunan sebuah instrumen hukum tingkat Peraturan Kepala Daerah yang pada pokoknya mengatur substansi mengenai pengawasan dan penertiban di berbagai sektor perizinan usaha untuk secara perlahan memberikan tindakan atau treatment terhadap penyakit yang sudah menjangkiti tersebut.

Kemudian, mengapa pada akhirnya penulis hanya dapat menginisiasi penyusunan regulasi setingkat Peraturan Kepala Daerah, bukan sekaliber Peraturan Daerah? Hal ini berkenaan dengan berbagai macam faktor, mulai dari ketidaktersediaan anggaran, proses legislasi yang memakan waktu cukup lama karena harus melibatkan unsur legislatif (DPRD), hingga sudah sedemikian masifnya praktik perilaku koruptif dari para oknum aparatur.

Singkat cerita, Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud sudah disetujui, ditandatangani, serta diundangkan secara resmi pada tanggal 28 Juli 2025 yang lalu. Penulis berharap Peraturan Kepala Daerah yang disusun dengan menggunakan sumber pembiayaan pribadi ini akan dapat menjadi obat penawar bagi racun atau penyakit perilaku koruptif yang kian hari kian menjangkiti para penyelenggara aparatur di daerah. Semoga semangat penulis dan beberapa rekan penulis yang turut serta merumuskan regulasi tersebut tanpa memakai anggaran negara atau daerah sepeser pun mendapatkan apresiasi yang layak dalam bentuk keseriusan dari Pemerintah Daerah untuk mau mengejawantahkan regulasi tersebut secara serius.

Sesungguhnya, terhadap kondisi faktual hari ini di daerah, penulis tidak dapat berharap terlalu banyak. Dari hati yang paling dalam, dengan kerendahan hati seluas-luasnya, penulis ingin regulasi yang disusun dapat menjadi obat bagi penyakit laten koruptif terutama tidak hanya pengobatan jangka panjang melainkan dapat menyembuhkan sistem yang tengah sakit.

Bagikan :