Refleksi ASN : Ketika Aplikasi Tak Lagi Solusi, Tapi Beban Baru Birokrasi

Gambar sampul Refleksi ASN : Ketika Aplikasi Tak Lagi Solusi, Tapi Beban Baru Birokrasi

Di banyak instansi, kata “transformasi digital” kini terdengar di setiap rapat, pelatihan, dan laporan kinerja. Setiap K/L berlomba membuat aplikasi baru, seolah-olah bahwa semakin banyak sistem digital berarti semakin modern. Padahal, di balik euforia itu, banyak ASN (kaum umbies) yang justru mengeluh karena pekerjaan tidak berkurang, malah bertambah karena harus input beragam data di berbagai aplikasi.

Aplikasi baru sendiri sering kali tidak menggantikan proses lama, melainkan justru menambah tupoksi baru yang harus dilaporkan. Digitalisasi akhirnya lebih terasa seperti beban tambahan, bukan alat bantu yang mempermudah pekerjaan.

Saya menyebut fenomena ini "aplikasi-isme birokrasi", sebuah kecenderungan untuk mengukur kemajuan dari seberapa banyak sistem dibuat, bukan dari seberapa banyak masalah publik yang benar-benar terselesaikan. Akibatnya, data terpecah di berbagai sistem, pelaporan berulang, dan tujuan utama “mempermudah layanan publik” justru semakin kabur.

Digital bukan hanya soal aplikasi baru

Digitalisasi yang ideal seharusnya dapat mengubah cara berpikir, bukan hanya cara bekerja. Namun, dalam praktiknya banyak inisiatif digital di birokrasi justru masih berhenti di level teknis. Studi The SMERU Research Institute (2024) mengungkap bahwa sebagian besar ASN Indonesia masih berada di tingkat keterampilan digital dasar, dan hanya sebagian kecil yang benar-benar mampu membaca dan mengelola data untuk mendukung pengambilan keputusan. Dengan kata lain, transformasi digital kita baru menyentuh sisi teknis, belum menyentuh ke dalam perubahan mindset dengan cara pikir yang lebih ke arah analytical thinking.

Aplikasi sudah banyak, tetapi cara mengambil keputusan dan mengukur kinerja masih berlogika administratif dengan lebih fokus pada pelaporan daripada pemahaman makna dari data yang dilaporkan. Salah satu penyebabnya adalah kesenjangan generasi dalam birokrasi: generasi Z dan milenial cenderung lebih adaptif terhadap teknologi, sementara sebagian besar pengambil keputusan masih berasal dari generasi sebelumnya yang tumbuh dalam kultur kerja analog. Generasi muda di birokrasi umumnya lebih terbuka terhadap eksperimentasi dan penggunaan data, sedangkan generasi yang lebih senior sering kali menilai keberhasilan dari kepatuhan terhadap prosedur. Akibatnya, adopsi digital berjalan, tetapi transformasi cara berpikir belum sepenuhnya terjadi di level atas.

Kita hidup di era ketika kinerja birokrasi sering diukur dari berapa banyak inovasi digital yang diluncurkan setiap tahun. Aplikasi dibangun secara sendiri-sendiri tiap K/L tanpa desain terintegrasi, data tersebar di berbagai sistem, dan pegawai harus berulang kali mengisi laporan yang sama di tempat berbeda. Alih-alih mempercepat kerja, sistem digital malah memperlambat dan menambah beban administratif yang seharusnya bisa dialihkan untuk pekerjaan yang lebih substantif.

Kita lupa bahwa esensi inovasi digital bukan menambah rantai birokrasi, melainkan memotongnya untuk menyederhanakan proses agar energi ASN tersisa untuk berpikir, menganalisis, dan melayani publik dengan lebih efektif.

Sebenarnya, masalahnya bukan pada teknologinya, tapi pada cara berpikir manusia nya itu sendiri. Kita sering salah kaprah mengira bahwa digitalisasi berarti membuat sesuatu yang berbentuk digital. Padahal, digital mindset justru berangkat dari hal yang paling sederhana: bagaimana cara kita melihat masalah dan mencari solusi dengan perspektif baru.

ASN dengan digital mindset tidak serta-merta melihat solusi dengan membuat aplikasi baru setiap kali menghadapi masalah. Ia akan berhenti sejenak dan bertanya: apakah data yang sudah ada bisa dimanfaatkan lebih baik? apakah proses kerja yang rumit ini sebenarnya bisa disederhanakan tanpa membuat sistem baru yang (justru malah menambah beban kerja baru)?

Dengan cara berpikir seperti itu, teknologi dapat kembali ke fungsinya yang paling dasar: sebagai alat bantu untuk menciptakan nilai tambah dan efisiensi birokrasi. Digital mindset berarti menempatkan data, efisiensi, dan kolaborasi di pusat pengambilan keputusan, serta menemukan cara kerja yang lebih cerdas dan solutif dalam menyeselesaikan masalah.

Dan lebih penting lagi: digitalisasi bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai pelayanan publik yang lebih baik.

Berpikir Digital, Bukan Sekedar Berteknologi

Memiliki digital mindset bukan berarti setiap ASN harus jadi programmer atau ahli IT. Lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah cara berpikir yang kritis, reflektif, dan terbuka terhadap perubahan.

ASN dengan digital mindset akan berani bertanya (walau dalam hati): “Apakah pekerjaan ini benar-benar diperlukan, atau hanya kebiasaan lama yang dibungkus teknologi baru?”

Pertanyaan sederhana seperti ini tampak sepele, tetapi justru penting. Sebab sering kali, transformasi tidak dimulai dari sistem besar atau aplikasi canggih, melainkan dari keberanian kecil untuk mengubah cara berpikir dan bekerja.

Transformasi digital di birokrasi tidak akan berhasil jika budaya kerjanya tetap sama.
Sebagian aparatur masih merasa aman dalam zona nyaman prosedural (menjalankan aturan as usual) tanpa mempertanyakan efektivitasnya. Padahal, dalam dunia yang serba cepat, cara kerja seperti itu membuat birokrasi sulit beradaptasi dengan tuntutan baru masyarakat yang semakin digital. Masih banyak proses yang dijalankan hanya karena “memang dari dulu begitu”, bukan karena terbukti paling efisien.

Di sisi lain, berbagai kementerian dan lembaga masih cenderung membangun sistem dan aplikasi secara terpisah, seolah inovasi berarti bekerja sendiri. Pola kerja ini melahirkan silo policy, di mana setiap instansi beroperasi dalam ruangnya masing-masing tanpa koordinasi lintas sektor. Akibatnya, data terpecah, proses berulang, dan potensi kolaborasi sulit diwujudkan. Padahal, kekuatan digital justru terletak pada keterhubungan dan sinergi antarlembaga. Birokrasi yang adaptif bukan yang memiliki aplikasi paling banyak, melainkan yang mampu mengintegrasikan data, berbagi sumber daya, dan bekerja lintas batas dengan satu tujuan yang sama: pelayanan publik yang lebih cepat, terbuka, dan efisien.

Transformasi digital sejati tidak dimulai dari proyek besar atau peluncuran aplikasi baru, melainkan dari perubahan perilaku sehari-hari: dari cara aparatur memandang data, mengelola waktu, mengambil keputusan, hingga berinteraksi dengan publik. Digitalisasi yang efektif tidak selalu tampak canggih. Kadang justru hadir dalam bentuk yang sederhana mulai dari mempercepat proses persetujuan, menghapus laporan ganda, memperpendek jenjang acc laporan, atau membuka akses informasi publik yang selama ini tertutup.

Namun, perubahan perilaku tidak akan terjadi tanpa kemauan untuk terus belajar. Di era digital, menjadi rajin dan patuh saja tidak lagi cukup. Dunia berubah terlalu cepat, dan birokrasi tidak bisa terus berjalan dengan ritme manual. Belajar di sini bukan sekadar mengikuti pelatihan teknologi, tetapi memahami makna di balik perubahan itu sendiri : mengapa data penting, mengapa kolaborasi lintas lembaga dibutuhkan, dan mengapa efisiensi bukan berarti bekerja lebih keras, tetapi lebih cerdas. Mungkin inilah makna terdalam dari digital mindset: kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi, bahkan ketika sistem dan kebijakan terus berubah.

Transformasi digital bukan perlombaan untuk membangun aplikasi, melainkan perjalanan panjang untuk membangun kesadaran baru. Selama setiap instansi masih berlomba menciptakan sistemnya sendiri, birokrasi akan terus terjebak dalam tumpukan login dan laporan saja. Tetapi jika setiap aparatur mulai berpikir digital dengan terbuka, kolaboratif, dan berbasis data mala birokrasi akan menjadi lebih ringan, lebih cepat, dan lebih manusiawi.

Sebab pada akhirnya, yang membuat birokrasi maju bukanlah teknologi itu sendiri, melainkan manusia yang mau berubah bersamanya.

Bagikan :