Bayangkan suatu pagi di tahun 2027, ketika PNS membuka slip gajinya dan mendapati nominal yang jauh lebih kecil dari biasanya. Gaji yang dulu tertulis Rp5.000.000 kini hanya tercatat Rp5.000. Sekilas, tampak seperti penurunan drastis. Namun tentu saja, tidak ada yang benar-benar berubah dalam nilai uang itu, yang berubah hanyalah jumlah nol di belakangnya. Inilah skenario yang bisa terjadi ketika Indonesia benar-benar melaksanakan redenominasi rupiah, sebuah wacana lama yang kini mulai masuk tahap serius pembahasan.
Rencana penyederhanaan nilai mata uang rupiah ini kembali dihidupkan oleh pemerintah dan Bank Indonesia dengan target penyelesaian regulasi pada tahun 2027. Esensinya sederhana: menghapus tiga nol dari nilai rupiah tanpa mengubah daya beli masyarakat. Seribu rupiah akan menjadi satu rupiah baru, sepuluh ribu menjadi sepuluh, dan seterusnya. Dalam teori ekonomi, tidak ada perbedaan nilai riil. Namun dalam praktiknya, perubahan angka dalam kehidupan sehari-hari sering kali tidak sesederhana itu.
Redenominasi disebut-sebut akan membawa efisiensi. Sistem akuntansi dan pembayaran akan lebih ringkas, transaksi lebih cepat, dan laporan keuangan menjadi lebih mudah dibaca. Namun di sisi lain, proses adaptasi di lapangan bisa jadi tidak ringan, terutama bagi aparatur sipil negara yang menjadi salah satu kelompok penerima gaji terbesar dari APBN. Bagi mereka, angka bukan sekadar nominal di layar melainkan cerminan kesejahteraan yang dijaga dengan disiplin dan kerja bertahun-tahun.
Dalam konteks ASN, redenominasi rupiah akan memaksa banyak penyesuaian administratif. Slip gaji, sistem payroll, tunjangan, bahkan sistem akuntansi di instansi pemerintah akan mengalami perubahan format. Meski nilai riilnya tetap sama, proses transisi bisa menimbulkan kebingungan. Bayangkan seorang bendahara gaji di kantor pemerintah daerah harus mengonversi ribuan data penghasilan pegawai ke satuan baru. Satu kesalahan kecil dalam perhitungan bisa memengaruhi keakuratan pembayaran gaji dan tunjangan.
Dari sisi psikologis, fenomena ini juga menarik. PNS yang sudah terbiasa melihat gaji jutaan rupiah mungkin akan terkejut melihat angka yang tampak “menyusut”. Tidak semua orang terbiasa dengan konsep redenominasi, sehingga bisa muncul persepsi bahwa penghasilan mereka berkurang, padahal nilai sebenarnya tidak berubah. Di sinilah peran komunikasi publik pemerintah menjadi sangat penting. Sosialisasi yang jelas, mudah dipahami, dan menyentuh lapisan masyarakat menjadi kunci agar kebijakan ini tidak menimbulkan keresahan.
Kekhawatiran lain datang dari sisi harga barang dan jasa. Dalam banyak kasus di negara lain, masa transisi redenominasi sering diikuti oleh kenaikan harga karena pedagang membulatkan nominal ke atas. Di pasar, harga Rp4.900 bisa saja menjadi Rp5.000 baru. Mungkin terlihat kecil, tapi dalam skala besar bisa memicu inflasi ringan yang menekan daya beli masyarakat. Bagi PNS yang penghasilannya tetap setiap bulan, efek ini bisa terasa langsung di dapur rumah tangga. Apalagi ketika biaya hidup di kota besar terus meningkat tanpa diimbangi kenaikan signifikan pada tunjangan kinerja.
Namun tidak semua dampak bersifat negatif. Redenominasi justru bisa menjadi momentum perbaikan sistem keuangan di tubuh birokrasi. Pemerintah bisa memanfaatkan momen ini untuk memperbarui sistem administrasi penggajian menjadi lebih digital, efisien, dan transparan. Jika dilakukan dengan baik, ASN justru akan merasakan manfaat berupa kemudahan dalam pengelolaan tunjangan, insentif, dan laporan pajak.
Secara ekonomi makro, redenominasi tidak akan langsung membuat Indonesia lebih kaya, tetapi dapat memperkuat kepercayaan terhadap rupiah. Nilai nominal yang lebih sederhana memberi citra mata uang yang stabil dan modern. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menumbuhkan kepercayaan investor dan memperbaiki persepsi internasional terhadap ekonomi Indonesia. Meski begitu, manfaat tersebut baru terasa jika didukung dengan stabilitas ekonomi, pengendalian inflasi, dan reformasi birokrasi yang berjalan seiring.
Bagi ASN, kesiapan mental dan finansial menjadi hal penting menjelang kebijakan ini. Mereka harus memahami bahwa angka kecil tidak selalu berarti penghasilan kecil. Persoalan sebenarnya bukan di berapa banyak nol yang dihapus, tetapi bagaimana menjaga nilai hidup agar tetap sama di tengah perubahan sistem. Redenominasi adalah ujian kecil bagi kemampuan birokrasi untuk beradaptasi dengan era baru ekonomi yang lebih efisien.
Pada akhirnya, kebijakan ini bukan soal mengubah angka, melainkan mengubah cara pandang terhadap nilai. Bagi aparatur negara yang hidup dari gaji tetap, redenominasi seharusnya tidak menimbulkan kekhawatiran, melainkan dorongan untuk lebih melek finansial dan tanggap terhadap perubahan ekonomi nasional. Karena ketika nol dihapus dari rupiah, tantangan sebenarnya adalah memastikan bahwa kesejahteraan ASN tidak ikut terhapus bersamanya.