RAZIA SOPI DI NTT: TRADISI, NEGARA, DAN PERTARUNGAN EPISTEMOLOGIS ATAS KEBENARAN DAN KEADILAN

Gambar sampul RAZIA SOPI DI NTT: TRADISI, NEGARA, DAN PERTARUNGAN EPISTEMOLOGIS ATAS KEBENARAN DAN KEADILAN

RAZIA SOPI DI NTT: TRADISI, NEGARA, DAN PERTARUNGAN EPISTEMOLOGIS ATAS KEBENARAN DAN KEADILAN

Oleh: Dems Naijes – Mahasiswa Program Doktor IA Undana

Di banyak kampung di Nusa Tenggara Timur, sopi bukan sekadar cairan bening yang memabukkan. Ia lahir dari tetes nira yang dikumpulkan dengan sabar, disuling dengan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun, lalu hadir di meja-meja adat, ritual, dan pergaulan sosial. Sopi adalah tradisi, identitas, dan sekaligus sumber penghidupan. Karena itu, ketika negara hadir dengan razia dan penyitaan sopi, yang dipertaruhkan bukan hanya urusan “miras ilegal”, tetapi juga makna kebenaran dan keadilan: siapa yang berhak mendefinisikan sopi, dan dari sudut pandang pengetahuan siapa keadilan dirumuskan?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membawa kita pada ranah epistemology kajian tentang sumber, bentuk, dan legitimasi pengetahuan. Razia sopi di NTT tidak hanya soal pelaksanaan hukum, tetapi juga soal pertarungan epistemologis antara pengetahuan negara dan pengetahuan lokal; antara cara pandang aparat tentang bahaya miras dan cara pandang masyarakat tentang sopi sebagai bagian dari kehidupan mereka.

Negara dan Kebenaran Resmi: Sopi sebagai “Masalah”

Dari sudut pandang negara, sopi sering dimasukkan dalam kategori seragam: minuman beralkohol ilegal. Dalam logika ini, kebenaran dibangun lewat:

  • data kriminalitas yang mengaitkan miras dengan kekerasan, penganiayaan, dan kecelakaan,

  • peraturan perundang-undangan yang menetapkan syarat izin edar dan standar produksi,

  • narasi “penertiban” dan “cipta kondisi” yang mengandaikan bahwa razia adalah jalan rasional untuk menjaga ketertiban.

Epistemologi negara bekerja melalui angka, regulasi, dan bahasa keamanan. Di dalamnya, sopi diposisikan sebagai objek masalah: sesuatu yang harus dikendalikan, dikurangi, bahkan dimusnahkan jika perlu. Aparat lalu merasa punya legitimasi untuk mengatakan: “kami bertindak berdasarkan data dan hukum; ini objektif.”

Namun di balik klaim objektivitas itu, ada pilihan epistemologis yang sangat spesifik: negara memilih melihat sopi terutama sebagai risiko, bukan sebagai tradisi; sebagai penyebab kejahatan, bukan sebagai bagian dari jaringan ekonomi rumah tangga. Pengetahuan lain seperti musyawarah adat yang dimediasi sopi, solidaritas sosial yang terbentuk di sekitarnya, atau fakta bahwa banyak keluarga menyekolahkan anak dari hasil jual sopi sering kali tidak masuk dalam “data resmi”. Di sinilah epistemologi negara memperlihatkan keberpihakannya: yang tercatat adalah yang sesuai dengan frame keamanan dan ketertiban, sementara dimensi budaya dan ekonomi lokal diletakkan di pinggir.

Tradisi dan Pengetahuan Lokal: Sopi sebagai Kehidupan

Berbeda dengan itu, epistemologi lokal memandang sopi melalui kacamata pengalaman sehari-hari. Bagi petani lontar dan masyarakat adat:

  • sopi adalah hasil kerja: mereka tahu jenis pohon, musim, teknik menyadap, hingga cara menyuling yang baik,

  • sopi adalah bahasa adat: hadir dalam ritual perdamaian, denda adat, upacara pernikahan, dan relasi tamu-tuan rumah,

  • sopi adalah strategi bertahan hidup: di tengah keterbatasan lapangan kerja, penjualan sopi menjadi salah satu sumber pendapatan paling realistis.

Pengetahuan ini bukan tertulis dalam laporan resmi, melainkan tertanam dalam praktik: di tubuh yang memanjat pohon setiap pagi, di ingatan atas ritual adat, di cerita-cerita orang tua kepada anak. Ini adalah pengetahuan lokal (local knowledge) yang tidak kalah sahih, hanya saja tidak diakui sebagai “kebenaran resmi”.

Ketika razia datang, dua dunia epistemologis ini saling berhadapan. Aparat membawa hukum dan statistik, masyarakat membawa pengalaman dan tradisi. Negara mengatakan: “Ini bahaya, harus diberantas.” Masyarakat menjawab: “Ini hidup kami, ini jiwa kami dari dulu.” Di titik ini, yang dipertaruhkan bukan sekadar apakah sopi boleh ada atau tidak, tetapi siapa yang diakui punya otoritas untuk mengatakan apa yang benar tentang sopi.

Pengetahuan dan Kekuasaan: Siapa yang Berhak Mendefinisikan?

Dalam kajian epistemologi kritis, terutama yang dipengaruhi pemikiran Michel Foucault, pengetahuan dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan. Yang punya kekuasaan cenderung juga punya hak untuk mendefinisikan apa yang disebut “masalah”, “bahaya”, atau “normal”. Razia sopi adalah contoh konkret:

  • Negara menggunakan pengetahuan hukum dan data untuk melegitimasi tindakan represif: sopi digolongkan miras ilegal, pelanggaran aturan izin edar, ancaman bagi keamanan.

  • Masyarakat memiliki pengetahuan tradisional yang menunjukkan sopi sebagai sesuatu yang terhubung dengan adat dan nafkah, tetapi pengetahuan ini tidak otomatis diakui dalam forum penentuan kebijakan.

Akibatnya, kebenaran yang menang di ruang kebijakan adalah kebenaran versi negara. Aparat bisa menyita jeriken sopi dan menyebutnya “barang bukti”, sementara bagi pemiliknya itu adalah “hasil panen”. Kata-kata yang digunakan barang bukti vs hasil panen mencerminkan benturan epistemologis yang tajam.

Di sini tampak bagaimana pengetahuan negara bukan netral, melainkan mewakili struktur kekuasaan. Pilihan untuk fokus pada sopi rakyat kecil, sementara peredaran minuman pabrikan di kota sering luput, menunjukkan bahwa bukan hanya kebenaran yang sedang dipertaruhkan, tetapi juga relasi kuasa: siapa yang mudah disentuh razia, siapa yang relatif aman. Dalam bahasa epistemologi kritis, rasionalitas hukum yang tampak objektif itu sebenarnya menyembunyikan politik pengetahuan sebuah seleksi atas apa yang dianggap layak dicatat, dikontrol, dan disalahkan.

Pergub 44/2019: Upaya Menggabungkan Dua Episteme?

Di tengah ketegangan ini, muncul regulasi seperti Pergub NTT No. 44 Tahun 2019 yang mencoba menata produksi sopi dari ilegal ke legal. Secara epistemologis, Pergub ini menarik karena berusaha menjembatani dua dunia pengetahuan:

  1. Dari sisi negara, sopi tetap diakui mengandung risiko, sehingga perlu standar mutu, izin, dan pengawasan.

  2. Dari sisi masyarakat, diakui bahwa sopi dan nira adalah sumber ekonomi dan budaya, sehingga solusi bukan pemusnahan, melainkan transformasi: dari produksi liar ke produksi legal dan higienis.

Dengan demikian, Pergub ini seolah berkata: “Pengetahuan lokal tentang sopi kita akui, tetapi kita juga memasukkannya ke dalam kerangka pengetahuan modern tentang kesehatan, ekonomi, dan hukum.” Ini bisa dibaca sebagai bentuk hibrid epistemology percampuran antara episteme tradisional dan episteme modern.

Masalahnya muncul ketika implementasi di lapangan tidak sejalan. Alih-alih mengutamakan pembinaan dan legalisasi bertahap, yang sering terlihat justru razia yang menyasar produsen kecil tanpa memberi jalur transisi yang nyata. Di sini, Pergub yang epistemologisnya lebih terbuka menjadi seperti teks yang dipinggirkan oleh praktik lama yang lebih represif. Sekali lagi, yang menang adalah episteme kekuasaan: lebih mudah menyita dan memusnahkan daripada mendengar dan mendampingi.

Razia sebagai Kekerasan Epistemik

Dari sudut pandang epistemologi, razia terhadap sopi bisa dibaca bukan hanya sebagai kekerasan fisik (penyitaan, intimidasi), tetapi juga sebagai kekerasan epistemik. Kekerasan epistemik terjadi ketika suatu bentuk pengetahuan, cara hidup, atau cara memahami dunia dianggap tidak sah, tidak rasional, atau tidak penting, lalu disingkirkan dari ruang publik.

Ketika razia datang tanpa dialog dan tanpa pengakuan terhadap makna sopi bagi masyarakat, negara pada dasarnya:

  • menghapus narasi lokal tentang sopi sebagai identitas dan nafkah,

  • mengerdilkan pengetahuan petani lontar menjadi sekadar “produsen barang ilegal”,

  • memaksa satu versi kebenaran (bahwa sopi adalah sumber masalah) sambil menutup mata terhadap versi kebenaran lain (bahwa sopi adalah bagian dari tatanan sosial-ekonomi).

Kekerasan epistemik ini berbahaya karena pelan-pelan membuat masyarakat merasa pengetahuan mereka tidak berarti. Orang bisa jadi patuh karena takut, tetapi di dalam hati menyimpan luka dan kecurigaan. Hubungan rakyat dan negara menjadi retak: hukum tidak lagi dilihat sebagai pelindung, melainkan sebagai alat dari kebenaran yang asing dan memusuhi mereka.

Mencari Keadilan: Menggeser Epistemologi Kebijakan

Jika keadilan tidak mau berhenti sebagai slogan, negara perlu menggeser cara memproduksi dan memakai pengetahuan dalam kebijakan tentang sopi. Beberapa pergeseran epistemologis yang penting antara lain:

   1. Dari Kebenaran Tunggal ke Dialog Pengetahuan

Negara perlu mengakui bahwa cara melihat sopi tidak tunggal. Pengetahuan hukum dan kesehatan penting, tetapi begitu pula pengetahuan adat dan ekonomi lokal. Kebijakan yang adil lahir dari dialog epistemologis: aparat, pemerintah, tokoh adat, gereja, dan produsen sopi duduk bersama, saling menguji asumsi, bukan saling menghakimi.

   2. Dari Data Kriminal ke Narasi Kehidupan

Data tentang kasus kekerasan yang dipicu miras penting, tetapi tidak cukup. Negara harus juga mau mendengar narasi tentang bagaimana sopi menyelamatkan keluarga dari kelaparan, mengikat perdamaian adat, dan membiayai pendidikan. Dengan demikian, definisi “masalah sopi” menjadi lebih seimbang, tidak sekadar soal risiko, tetapi juga soal fungsi.

   3. Dari Objek Masalah ke Subjek Hukum

Produsen sopi tidak boleh hanya dilihat sebagai objek penindakan, tetapi sebagai subjek hukum yang diajak bertransformasi. Ini berarti membuka akses pada informasi, pelatihan, kredit kecil, dan mekanisme perizinan yang realistis. Pengetahuan lokal tentang nira dan sopi harus menjadi modal, bukan beban.

   4. Dari Kekerasan Epistemik ke Pengakuan(recognition)

Keadilan epistemologis berarti mengakui bahwa pengetahuan lokal memiliki nilai. Negara tidak perlu mengadopsi semuanya mentah-mentah, tetapi wajib memperlakukannya dengan hormat. Dalam praktik, ini dapat diwujudkan dengan melibatkan tokoh adat dan organisasi lokal sejak tahap perumusan kebijakan, bukan hanya diundang saat sosialisasi setelah kebijakan jadi.

Penutup: Kebenaran Siapa, Keadilan untuk Siapa?

Razia sopi di NTT, jika dilihat dari permukaan, tampak sebagai urusan rutin penegakan hukum. Namun jika diselami lebih dalam, ia mengungkap pertarungan epistemologis tentang kebenaran dan keadilan. Negara membawa kebenaran versi regulasi dan statistik; masyarakat membawa kebenaran versi pengalaman dan tradisi. Ketika yang satu memaksakan diri tanpa mengakui yang lain, keadilan yang lahir mudah berubah menjadi ketidakadilan.

Pertarungan epistemologis ini tidak harus berakhir dengan kemenangan salah satu pihak. Ada ruang luas untuk mencari kebenaran bersama: sebuah pemahaman baru tentang sopi yang melihatnya sekaligus sebagai tradisi yang layak dihormati, sumber nafkah yang perlu dilindungi, dan objek kebijakan yang memerlukan pengaturan demi kebaikan bersama.

Keadilan yang sejati menuntut negara untuk tidak sekadar bertanya, “Apa kata hukum?” tetapi juga, “Pengetahuan siapa yang kita dengarkan?” dan “Siapa yang merasakan akibatnya?” Selama suara petani lontar, produsen sopi kecil, dan komunitas adat hanya menjadi bisik-bisik di pinggir razia, maka keadilan akan tetap mirip sopi yang baru disuling: bening di permukaan, tetapi menyimpan kepahitan yang hanya benar-benar dipahami oleh mereka yang meneguknya setiap hari.

Salam kasih dari beranda selatan negeri…


Bagikan :