Publik Indonesia belakangan ini kembali diramaikan dengan isu tunjangan DPR RI. Dari kafe sampai media sosial, topik mengenai gaji, fasilitas, dan tunjangan wakil rakyat seolah tak pernah habis diperbincangkan. Besarannya kerap dipersoalkan, apalagi di tengah kondisi ekonomi nasional yang penuh tantangan.
Wajar saja jika DPR menjadi sorotan. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, segala hal yang berkaitan dengan hak keuangan dan fasilitas anggotanya pasti menjadi perhatian publik. Ada ekspektasi besar agar para wakil rakyat memberi teladan kesederhanaan, transparansi, dan efisiensi.
Namun, di balik hiruk pikuk isu tunjangan DPR, ada sebuah kebijakan tunjangan lain yang jarang sekali diperbincangkan padahal sudah berlangsung lebih dari dua dekade, itulah Tunjangan Khusus Provinsi Papua.
Dasar Hukum yang Nyata: Keppres Nomor 68 Tahun 2002
Berbeda dengan tunjangan DPR yang sering kali ramai diangkat media, Tunjangan Khusus Papua justru sepi dari sorotan. Padahal kebijakan ini jelas dasar hukumnya, yakni Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang Tunjangan Khusus Provinsi Papua.
Dalam Keppres tersebut ditegaskan bahwa penerima tunjangan mencakup:
Tujuannya sederhana tetapi penting: memberikan kompensasi tambahan bagi aparatur negara yang mengabdi di Tanah Papua, wilayah yang dikenal memiliki tantangan geografis, sosial, ekonomi, dan keamanan berbeda dibanding daerah lain di Indonesia.
Berapa Besarannya?
Jika mendengar kata “tunjangan khusus Provinsi Papua”, banyak orang mungkin mengira nominalnya cukup besar. Faktanya, angka yang ditetapkan sejak 1 Januari 2002 justru relatif kecil jika dibandingkan dengan kondisi saat ini.
Berikut contoh besaran Tunjangan Khusus Papua sesuai golongan:
Bandingkan dengan harga kebutuhan pokok di Papua hari ini, di mana beras bisa menembus Rp15.000–20.000 per kilogram, bensin jauh lebih mahal di pedalaman, dan biaya transportasi udara yang menjadi tulang punggung distribusi logistik. Nominal Rp200–600 ribu per bulan jelas terasa tidak sebanding dengan inflasi dan biaya hidup.
Sudah lebih dari 20 Tahun Tidak Pernah Naik
Inilah fakta yang paling mencolok. Sejak pertama kali ditetapkan melalui Keppres Nomor 68 Tahun 2002, nominal Tunjangan Khusus Papua tidak pernah mengalami kenaikan.
Bayangkan, dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun, gaji pokok PNS sudah beberapa kali disesuaikan, tunjangan kinerja di banyak kementerian/badan juga meningkat, bahkan standar tukin Polri terakhir naik pada 2018. Tetapi, Tunjangan Khusus Papua stagnan.
Beberapa kali muncul usulan kenaikan, misalnya dari Kementerian Pertahanan dan sejumlah anggota DPR dalam rapat Komisi I, yang menilai tunjangan tersebut seharusnya disesuaikan minimal 60–65 persen lebih tinggi untuk mengimbangi tantangan nyata di lapangan. Namun, hingga kini usulan itu belum terealisasi.
Dua Kebijakan, Dua Sorotan Publik
Fenomena ini memperlihatkan kontras yang menarik.
Padahal keduanya sama-sama kebijakan negara, sama-sama bersumber dari APBN, dan sama-sama memiliki tujuan. Hanya saja, satu lebih banyak sorotan, yang lain hampir tak terdengar.
Mengapa Penting Dibicarakan?
Tunjangan Khusus Papua bukan sekadar angka di atas kertas. Bagi para aparatur negara yang bertugas di Tanah Papua, kebijakan ini punya makna moral: negara hadir, memberi perhatian, dan mengakui beratnya pengabdian di tanah ujung timur Indonesia.
Namun, jika nominalnya dibiarkan tidak berubah selama lebih dari 20 tahun, makna tersebut berisiko memudar. Alih-alih menjadi bentuk apresiasi, tunjangan ini bisa terasa simbolis semata jika tidak disesuaikan dengan realitas ekonomi.
Penutup: Saatnya Melihat dengan Kacamata yang Sama
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan siapa lebih layak, DPR atau aparatur negara di Tanah Papua. Bukan pula untuk mengadu domba. Sebaliknya, tulisan ini ingin menekankan bahwa tunjangan adalah instrumen kebijakan publik. Ada yang bersifat representatif (seperti DPR), ada yang bersifat afirmatif (seperti Tunjangan Khusus Papua).
Keduanya sah, keduanya punya tujuan. Tetapi keduanya juga seharusnya dibicarakan dengan kacamata yang sama: transparansi, relevansi, dan keadilan.
Mungkin sudah waktunya, selain membicarakan tunjangan DPR RI, publik juga menyoroti tunjangan afirmatif di Papua yang telah 20 tahun berjalan tanpa penyesuaian. Sebab, di balik angka-angka itu ada ribuan ASN, hakim, TNI, dan Polri yang tetap setia mengabdi, meski hak tambahan mereka tak kunjung berubah.
Refrensi :
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002