Pada tanggal 15 Mei 2023 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah mengesahkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Di Laut, Latar belakang lahirnya kebijakan ini adalah dalam rangka untuk menyehatkan ekosistem laut dengan cara mengambil sedimentasi yang berupa pasir laut untuk selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai komoditas ekspor. Sejak awal diterbitkannya, aturan ini menuai banyak pro dan kontra, karena sebelumnya kegiatan serupa yakni ekspor pasir laut telah lama dilarang pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri melalui surat keputusan (SK) Menperindag no 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementera Ekspor Pasir Laut. Alasan utama pelarangan tersebut karena terbukti dapat merusak lingkungan.
Kebijakan serupa terkait dengan pelarangan kegiatan penambangan dan ekspor pasir laut kembali dikeluarkan pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2007, hal tersebut karena semakin maraknya kegiatan tambang pasir laut secara ilegal meski telah dilarang pada tahun 2003 silam. Aturan baru ini menjadi penguat dalam implementasinya sekaligus mempertegas bahwa ekspor pasir laut dapat memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan dan menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia.
Serangkaian aturan pelarangan kegiatan penambangan dan ekspor pasir laut oleh pemerintahan sebelumnya, dengan menimbang dampak yang timbul khusunya kerusakan lingkungan yang terjadi. Lalu, bagaimana aturan pemerintah yang baru ini justru melegalkan kembali kegiatan penambangan ekspor pasir laut? Berdasarkan kajian amdal yang telah dilakukan, penambangan pasir laut dapat mengubah kontur dasar laut yang kemudian akan mempengaruhi arus dan gelombang air laut. Hal tersebut dapat mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil yang telah terdampak aktivitas penambangan lainnya. Penambangan pasir laut telah terbukti dapat merusak ekosistem laut, selain itu menurunnya hasil laut yang mengancam masyarakat khususnya di wilayah pesisir dapat menjadi persoalan serius di kemudian hari karena masyarakat pesisir laut mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai nelayan kecil tradisional yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Dalam jangka
panjang, kebijakan tersebut juga berpotensi mempercepat munculnya beragam dampak bencana iklim.
Selain dampak lingkungan, aktivitas penambangan pasir laut di pulau-pulau kecil wilayah terluar Indonesia dapat mengganggu kedaulatan negara hal ini disebabkan oleh tergerusnya bibir pantai akibat kegiatan ekspor pasir laut yang masif dan telah dilegalkan sehingga dapat menggeser batas negara. Dampak sosial, politik, ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkan dari kebijakan diperbolehkannya kembali penambangan dan ekspor pasir laut dapat memicu konflik horizontal. Masyarakat pesisir yang telah lama mendiami pulau-pulau kecil tersebut mampu bertahan hidup dengan bergantung pada hasil laut, selain itu menurunnya hasil tangkapan akan berdampak pada kondisi kesejahteraan dan kualitas hidup mereka.
Kebijakan pemerintah dalam membuka kembali aktivitas ekspor pasir laut menjadi bukti inkonsistensi pemerintahan saat ini. Kebijakan ini seolah menjadi antitesis atas semangat KTT G20 dalam mengatasi perubahan iklim dan menjaga keberlanjutan kehidupan. Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan konferensi yang telah menelan APBN setidaknya sebesar Rp600 Miliar tersebut melahirkan G20 Bali Leaders Declaration, dimana pada poin ke-15 menyatakan bahwa akan melakukan upaya bersama untuk langkah-langkah penyelematan kehidupan di pesisir dan lautan. Mengapa Indonesia yang merupakan inisiator sekaligus tuan rumah perhelatan tersebut justru menjadi negara yang pertama menegasikan nilai-nilai dalam deklarasi tersebut.
Pengesahan peraturan pemerintah ini perlu untuk ditinjau kembali, pemerintah perlu untuk melakukan kajian lebih dalam serta pertimbangan yang matang dengan melibatkan para ahli sekaligus mendengar aspirasi masyarakat sebelum kebijakan ini sepenuhnya dijalankan. Pemerintah perlu mengupayakan terjaganya ekosistem dan hak-hak masyarakat yang terdampak. Jika memang keberadaan sedimentasi laut yang menjadi persoalan utama, maka langkah yang perlu diupayakan yakni menghentikan atau setidaknya mengurangi hal-hal yang menjadi penyebab munculnya sedimentasi tersebut seperti maraknya aktivitas tambang di daratan.