Prioritas Honorer Jadi P3K. Normalisasi Nepotisme?

Gambar sampul Prioritas Honorer Jadi P3K. Normalisasi Nepotisme?

Dalam dua (2) tahu terakhir ini, penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) secara berturut-turut diadakan. Syarat-syarat dalam penerimaannya banyak menjadi sorotan, lantaran mengutamakan tenaga honorer yang bekerja di instansi pemerintah di mana program PPPK ini dibuka. Nah, sebelum saya menulis lebih banyak lagi, izinkan saya menjelaskan terlebih dahulu apa itu PPPK dan kedudukannya. 

Dalam UU No. 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara, Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintahan dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.  Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan dan/atau menduduki jabatan pemerintah (Bab I Pasal I poin 1, 3, dan 4).

Penjelasan di atas sudah cukup untuk membuka tulisan ini tentang PPPK yang dibuka hampir diseluruh instansi pemerintah pusat dan daerah. Saya tidak ingin menjelaskan lebih jauh lagi tentang status PPPK dan PNS karena semua sudah tertera dalam UU No.20 Tahun 2023 yang merupakan UU ASN yang telah diperbaharui dengan dicabutnya UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN. Semua hal yang menyangkut tugas dan fungsinya sudah tertuang dalam UU tersebut. Yang akan menjadi pokok pembahasan saya adalah bagaimana penerimaan PPPK dianggap sebagai sebuah keistimewaan bagi kalangan tertentu.

Baik, kita mulai.

Kita tidak dapat menyangkal bahwa syarat yang dikhususkan untuk mendaftar sebagai PPPK lebih "ketat" dibandingkan mendaftar sebagai PNS. Kenapa? Karena hampir di semua instansi pemerintah (bahkan semuanya) mengutamakan adanya pengalaman kerja dalam jangka waktu minimal tertentu. Apakah ini berarti lebih susah lulus PPPK dibanding PNS? Atau PPPK lebih baik dari pada PNS? 

Adanya penentuan pengalaman kerja minimal jangka waktu tertentu untuk mendaftar PPPK memang menutup kesempatan bagi fresh graduate atau yang belum memiliki kesempatan kerja untuk mendaftar yang artinya memang lebih susah bagi mereka. Bahkan belum mendaftar sudah gugur. Tapi, bagi mereka yang sudah jadi honorer ada keringanan, karena pengalaman kerja sudah ada ditambah lagi ada beberapa instansi pemerintah yang mengadakan pelatihan khusus untuk tenaga honorernya, terkait persiapan penerimaan PPPK. Saya juga bisa berasumsi bahwa PPPK jauh lebih matang ketimbang PNS yang fresh graduate saat penerimaan pertama. Ya, karena memang PPPK sudah jauh lebih berpengalaman. Sudah ada kisi-kisi, pekerjaan seperti apa yang akan mereka kerjakan nanti ketika diangkat jadi ASN.

Tapi, di sinilah sebenarnya pertanyaan besarnya. Dari sekitar 2.3 juta tenaga honorer yang terdata per-September 2023 (Sumber: CNBC Indonesia 13 September 2023), cara masuk mereka ke instansi pemerintah pusat dan daerah perlu dipertanyakan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa kita jarang mendengarkan adanya pembukaan honorer secara terbuka di suatu instansi pemerintah. Kita mungkin kaget ketika tetangga kita tiba-tiba menjadi tenaga honorer di pemerintahan.

Dalam suatu perbincangan dengan seorang alumni baru, saya tiba-tiba ditanyakan; kenapa informasi penerimaan honorer tidak dia dapatkan sementara teman kuliahnya tiba-tiba jadi tenaga honorer di suatu instansi? Tentunya sudah menjadi rahasia umum jika seorang tenaga honorer mungkin saja adalah keluarga dari salah seorang yang bekerja di instansi tersebut, bahkan mungkin saja pejabat tinggi di instansi tersebut yang lebih kita kenal sebagai "orang dalam". Terlepas dari ada beberapa juga honorer yang mendaftarkan diri untuk mengabdi bukan karena orang dalam seperti tenaga kesehatan di pelosok desa yang mendaftarkan dirinya jadi honorer di puskesmas. Dan juga ada sebagian kecil yang memang ikut tes pembukaan honorer/PPNPN.

Ketika saya mengangkat perbincangan dengan senior tentang adanya potensi ketidakadilan bagi masyarakat umum yang juga ingin menjadi ASN, beliau mengatakan bahwa kita tidak bisa pungkiri bahwa tenaga honorer sudah mengabdikan diri pada negara yang perlu jadi pertimbangan sehingga mereka "dikhususkan". Lalu saya mengatakan bahwa; banyak orang yang ingin mengabdi tetapi tidak diberi kesempatan untuk mengabdi. Ketika saya membaca beberapa komentar di Instagram Abdi Muda (salah satu akun media sosial untuk menyuarakan keluhan-keluhan ASN), begitu banyaknya orang yang ingin mengabdi tetapi terbatas informasi dan tidak punya kenalan atau orang dalam di sebuh instansi.

Apakah ini termasuk nepotisme?

Berdasarakan Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), nepotisme adalah perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat atau kecenderungan untuk mengutamakan  (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan , pangkat di lingkungan pemerintah. Dan lagi, nepotisme adalah tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.

Dari sumber lain, nepotisme adalah tindakan mendahulukan dan membukakan peluang bagi kerabat atau teman-teman dekat untuk mendapatkan fasilitas dan kedudukan pada posisi yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku, sehingga menutup peluang bagi orang lain. Nepotisme adalah salah satu tindak pidana sebagaimana termaktub dalam pasal 22 UU 28/1999; Setiap penyelengara negara yang melakukan nepotisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar rupiah (sumber: hukumonline.com).

Saya rasa pengantar tentang nepotisme sudah sangat cukup untuk kita mengambil kesimpulan bahwa pengangkatan tenaga honorer yang mengandalkan "orang dalam" adalah termasuk nepotisme karena juga bisa menghalangi peluang bagi orang lain untuk ikut mengabdi buat bangsa dan negara. Ada masyarakat umum atau lulusan sekolah dan/atau sekolah tinggi yang terhalangi kesempatannya untuk bergabung di pemerintahan dengan adanya honorer yang bergabung dengan jalur "orang dalam" ini.

Oleh karena itu, dengan adanya pengangkatan PPPK besar-besaran yang mengutamakan tenaga honorer bisa jadi merupakan sebuah netralisasi nepotisme yang telah terjadi selama bertahun-tahun jika mayoritas dari 2,3 juta tenaga honorer adalah melalui jalur "orang dalam".

Ketika saya terlibat dalam sebuah bincang-bincang informal tentang penerimaan PPPK yang mengutamakan honorer, saya menguratakan pendapat salah seorang fresh graduate yang sangat ingin mendaftar sebagai PPPK di sebuah instansi pemerintah namun tertutup kesempatannya oleh karena syarat harus berpengalaman. Salah seorang dari kawan bincang saya mengatakan; "jangan cemburu dengan rezeki orang". Ya, saya sangat paham bahwa semua sudah memiliki garis tangan sendiri. Tapi, ini berbicara tentang keadilan di mana semua rakyat harusnya punya hak yang sama. 

Ketika seorang membunuh apakah kita dengan lantang mau mengatakan "biarkan saja, itu sudah ajalnya" atau ketika korupsi terjadi lalu kita mengatakan "biarkan saja itu sudah ditakdirkan menjadi miliknya". Bagaimana mungkin? Sama halnya dengan penerimaan PPPK yang mengutamakan honorer yang masuk dengan jalur orang dalam. Jika dari awal sudah nepotisme kenapa harus dilanjutkan?

Adanya sistem pengadaan PPPK dengan sistem seperti sekarang ini, bisa diasumsikan sebagai kemunduran rekruitmen Sumber Daya Manusia (SDM) di pemerintahan. Bukankah sistem yang sebenarnya sudah sangat bagus dengan adanya persaingan antara semua pihak tanpa memandang kamu kerja diinstansi atau tidak, lewat seleksi terbuka dengan metode CAT BKN? Bukankah itu sudah merupakan suatu kemajuan dengan kemungkinan nepotisme sedikit?

Ada pula yang mengatakan bahwa honorer tetap mengikuti tes untuk menjadi PPPK sehingga tidak mudah juga bagi mereka. Ya, sangat benar. Tapi tes terbatas hanya untuk honorer dan tidak terbuka untuk umum. Bahkan ketika mereka tidak lulus, mereka mungkin saja akan diberikan alternatif sampai mereka bisa lulus dan memenuhi syarat dengan aturan-aturan tambahan yang direvisi oleh instansi itu sendiri karena dianggap telah mengabdi. 

Menurut hemat saya, harusnya tes ini tidak diwajibkan harus yang sudah memiliki pengalaman kerja. Dengan demikian kita bisa melihat persaingan bagi yang sudah mempunyai pengalaman kerja dengan yang belum memiliki pengalaman kerja atau yang peengalaman kerjanya tidak linear dengan jabatan yang dilamar. Harusnya kita bisa membuka kesempatan kepada siapa pun untuk bersaing secara sehat. Toh honorer juga sudah ada nilai plus yaitu pengalaman kerja yang otomatis sudah unggul dalam banyak poin. Bukan malah menutup sama sekali kesempatan kepada mereka yang belum memiliki pengalaman kerja atau yang pengalaman kerjanya tidak linear.

Bukankah malah jadi pertanyaan jika para honorer takut bersaing dengan para fresh graduate. Ada apa sebenarnya dengan tenaga honorer kita, sehingga selama ini banyak yang tidak bisa lolos dengan metode CAT BKN ketiga bersaing dengan fresh graduate? Dunia semakin berkembang dan birokrasi kita semakin membutuhkan generasi muda untuk "cas cus aja" dalam mengerjakan program kerja. Bukan yang susah move on dari metode lama dengan alasan; "dulu kami begini..., dulu kami begitu...".

Lalu dimana fresh graduate kita akan mendapatkan pengalaman kerja jika terus dibatasi? Bagaimana kesempatan fresh graduate kita untuk ikut terlibat membangun bangsa lewat birokrasi? Kesempatan mereka minim. Hanya terbatas pada pembukaan lowongan CPNS, yang mana kesempatan itu juga bisa digunakan para honorer (bahkan PPPK) untuk mendaftarkan diri.

Semangat untuk fresh graduate dan buat yang tidak bisa memiliki pengalaman kerja karena tidak memiliki akses untuk bisa bergabung menjadi honorer. Semangat! hanya itu yang bisa kusampaikan di akhir tulisan ini. Kita hanya bisa berharap bahwa rekruitmen bisa kembali transparan tanpa harus menguntungkan beberapa pihak namun merugikan beberapa pihak lainnya. Sekian. 

 

Referensi:

  1. UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara
  2. Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
  3. KBBI online. (2023). Nepotisme. diakses tanggal 13 Desember 2023 dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Nepotisme
  4. Munawaroh, Nafiatul. (2023). Apa itu Nepotisme dan Contohnya.  Diakses tangggal 13 Desember 2023 dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/apa-itu-nepotisme-dan-contohnya-lt653a4c4018f88
  5. Rahman, Arrijal. (2023). DPR Ungkap Data Mengejutkan, Jumlah Honorer Ternyata 5,6 Juta. Diakses tangggal 13 Desember 2023 dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20230913131900-4-472089/dpr-ungkap-data-mengejutkan-jumlah-honorer-ternyata-56-juta

 

Bagikan :