PMK 81/2025 DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK: HARMONISASI REGULASI DAN KAPASITAS DESA
Oleh : Dems Naijes – Mahasiswa Program Doktor IA Undana
Ketika Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 diberlakukan, pemerintah menegaskan bahwa tujuan utamanya adalah meningkatkan akuntabilitas Dana Desa melalui pengetatan (proses membuat sesuatu lebih keras atau sulit) persyaratan, digitalisasi pelaporan, dan penataan mekanisme penyaluran anggaran. Secara normatif, ini adalah langkah maju dalam administrasi negara: memperkuat kontrol fiskal, mendorong transparansi, dan menyatukan standar pengelolaan keuangan desa.
Namun, dari segi perspektif Administrasi Publik, PMK 81/2025 justru menjadi contoh klasik tentang bagaimana desain kebijakan yang kuat tidak selalu menghasilkan kinerja kebijakan yang kuat, karena implementasi sering kali bertabrakan dengan realitas kapasitas organisasi di tingkat desa.
Fenomena di Lapangan: Ketika Kebijakan Bertemu Kapasitas Terbatas
Di berbagai daerah, implementasi PMK 81/2025 memunculkan gejolak. Desa-desa di TTU menyampaikan keluhan dalam pertemuan besar yang melibatkan 130 kepala desa. Di Malaka, para kepala desa bahkan mengeluhkan dan menyatakan sikap bahwa PMK 81/2025 hendaknya ditinjau kembali karena dianggap menghambat kewenangan desa dan mengancam kelangsungan layanan publik.
Kasus-kasus seperti: terlambatnya pencairan dana desa, tertundanya insentif guru PAUD dan operasional kantor desa, kesulitan mendirikan koperasi desa/kelurahan Merah Putih dan lemahnya akses internet dan rendahnya literasi digital perangkat desa, menggambarkan bahwa implementasi kebijakan berjalan tidak sinkron dengan kapasitas organisasi desa.
Dalam teori implementasi kebijakan, Van Meter dan Van Horn menekankan bahwa keberhasilan implementasi sangat ditentukan oleh kinerja organisasi pelaksana. Ketika kapasitas SDM, infrastruktur, dan pemahaman teknis tidak memadai, kebijakan sebaik apa pun akan menemui hambatan berat.
PMK 81/2025 sedang menghadapi kondisi ini:
Analisis Top-Down vs Bottom-Up: Kesenjangan Perumusan dan Pelaksanaan
PMK 81/2025 merupakan contoh kebijakan dengan pendekatan top-down. Regulasi dirancang dari pusat, kemudian diturunkan ke daerah sampai ke unit administratif terkecil di desa.
Namun fenomena di lapangan memperlihatkan bahwa: desa tidak dilibatkan cukup dalam proses perumusan, perubahan dilakukan mendadak tanpa masa transisi dan beban administrasi jauh lebih besar dibandingkan kapasitas desa.
Model bottom-up, sebagaimana dikemukakan Lipsky dan Richard Elmore, menekankan bahwa keberhasilan implementasi justru berada pada aktor-aktor akar rumput, dalam konteks ini perangkat desa. Ketika street-level bureaucrats (perangkat desa, operator desa, bendahara desa) kewalahan atau tidak memiliki kapasitas memadai, regulasi menjadi sulit dijalankan secara efektif. Di titik inilah PMK 81/2025 mengalami ketegangan antara logika pusat dan logika lokal.
Street-Level Bureaucracy: Beban Baru bagi Perangkat Desa
Teori Street-Level Bureaucracy dari Michael Lipsky menyatakan bahwa pelaksana di lapangan sering bekerja di bawah kondisi: sumber daya terbatas, tekanan tugas tinggi, ketidakjelasan kebijakan dan ekspektasi masyarakat yang terus meningkat.
Perangkat desa kini menghadapi semua kondisi tersebut sekaligus: Mereka harus belajar aplikasi baru, Menyiapkan dokumen administrasi tambahan, Menyesuaikan struktur APBDes dan Menyelesaikan pekerjaan pelayanan publik sehari-hari.
Akhirnya, perangkat desa terjebak dalam apa yang Lipsky sebut sebagai discretion dilemma: mereka harus memilih mana yang dapat segera diselesaikan, pelayanan publik atau administrasi kebijakan dan penyesuaian APBDes.
Governance dan Desentralisasi: Ketidaksinkronan Tingkat Pemerintahan
PMK 81/2025 juga memperlihatkan pentingnya koordinasi antarlevel pemerintahan. Dalam teori multi-level governance, keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh sinkronisasi antara: pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah desa.
Namun faktanya:
Ketidakharmonisan ini menghasilkan policy gap kesenjangan antara desain dan implementasi.
Solusi Berdasarkan Perspektif Administrasi Publik
Penguatan kapasitas organisasi desa menjadi prasyarat utama agar implementasi PMK 81/2025 dapat berjalan secara efektif. Dalam konteks administrasi publik, kapasitas organisasi mencakup kemampuan teknis, sumber daya manusia, infrastruktur, serta dukungan kelembagaan yang memadai. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan desa perlu memastikan adanya pelatihan rutin yang berfokus pada administrasi keuangan, pengelolaan dokumen, serta penggunaan aplikasi digital yang menjadi syarat utama dalam pelaporan Dana Desa. Selain itu, penyediaan tenaga pendamping tambahan sangat penting untuk membantu perangkat desa yang selama ini dibebani berbagai tugas administratif sekaligus pelayanan publik. Di banyak daerah, keterbatasan akses internet juga menjadi hambatan serius sehingga penyediaan pojok internet desa yang difasilitasi pemerintah daerah dan desa menjadi solusi strategis untuk memastikan proses pelaporan dapat dilakukan tepat waktu. Tidak kalah penting, pemerintah pusat perlu mempertimbangkan penyederhanaan aplikasi pelaporan agar lebih ramah bagi perangkat desa yang memiliki keterbatasan digital. Pada akhirnya, tanpa kapasitas organisasi yang kuat, implementasi kebijakan akan terus tersendat, seberapa baik pun regulasinya disusun.Tanpa kapasitas, implementasi mustahil efektif.
Meskipun pemerintah pusat tetap perlu menetapkan standar yang menjadi acuan nasional, implementasi kebijakan seperti PMK 81/2025 harus memberi ruang bagi perspektif dan kebutuhan lokal. Karena itu, desa perlu dilibatkan dalam proses penyusunan atau revisi regulasi, sehingga aturan yang ditetapkan lebih sesuai dengan realitas administratif dan sosial mereka. Kebijakan juga harus adaptif terhadap kondisi lokal, mengingat kapasitas, infrastruktur, dan karakteristik desa sangat beragam di seluruh Indonesia. Selain itu, penting untuk menyediakan fleksibilitas khusus bagi desa terpencil, yang menghadapi keterbatasan akses internet, geografis, dan sumber daya manusia, sehingga tidak terdiskriminasi oleh standar teknis yang terlalu uniform. Dengan pendekatan yang lebih kolaboratif dan kontekstual, kebijakan dapat berjalan secara lebih efektif dan berkeadilan.
Dalam kerangka implementasi kebijakan, pemerintah kabupaten dan provinsi memegang peran strategis sebagai perantara antara pusat dan desa. Kabupaten perlu membentuk Satgas Percepatan Dana Desa untuk membantu desa dalam menyelesaikan persyaratan administratif dan teknis yang dibutuhkan. Selain itu, kedua level pemerintahan ini harus mengkoordinasikan aspirasi desa ke pemerintah pusat, baik melalui laporan tertulis maupun dialog resmi, sehingga suara desa dapat menjadi pertimbangan dalam penyesuaian kebijakan. Kabupaten dan provinsi juga perlu menyusun mekanisme early warning system guna mengidentifikasi desa-desa yang berisiko tidak dapat mencairkan Dana Desa tepat waktu, sehingga pendampingan dapat dilakukan lebih cepat. Dalam konteks ini, kabupaten berfungsi sebagai manajer implementasi di lapangan, sementara provinsi bertindak sebagai penghubung kebijakan yang menjembatani kebutuhan lokal dengan keputusan nasional.
Untuk memastikan bahwa revisi kebijakan berbasis pada bukti yang kuat, pemerintah perlu melakukan pengumpulan data secara sistematis terkait pelaksanaan PMK 81/2025 di lapangan. Data tersebut harus mencakup jumlah desa yang terdampak, sehingga dapat terlihat skala permasalahan secara nasional; jenis kendala yang paling sering muncul, baik administratif, teknis, maupun infrastruktur; serta analisis kapasitas administratif desa, guna menilai kesiapan SDM dan kelembagaan dalam memenuhi persyaratan regulasi. Selain itu, penting untuk mengukur dampak ekonomi dan sosial dari keterlambatan Dana Desa, karena penundaan pencairan dapat menghambat pembangunan, pelayanan publik, dan penghidupan masyarakat desa. Hasil evaluasi berbasis data inilah yang kemudian menjadi landasan objektif bagi pemerintah dalam mempertimbangkan penyesuaian atau revisi terhadap PMK 81/2025, sehingga kebijakan menjadi lebih responsif, realistis, dan efektif..
Agar lebih efektif dan berkeadilan, PMK 81/2025 perlu disesuaikan melalui beberapa langkah kunci. Pertama, masa transisi harus diperpanjang agar desa memiliki waktu cukup untuk menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan administratif baru. Kedua, diperlukan penyesuaian persyaratan bagi desa dengan kapasitas rendah, sehingga keterbatasan SDM, infrastruktur, atau akses internet tidak otomatis menghambat pencairan dana. Ketiga, pemerintah perlu mempertimbangkan revisi terhadap kewajiban pendirian koperasi desa, yang selama ini dinilai kontroversial dan belum tentu relevan untuk semua wilayah. Keempat, penyederhanaan laporan sangat penting untuk mencegah perangkat desa terbebani oleh tugas administrasi yang berlebihan. Pada akhirnya, kebijakan yang berhasil adalah kebijakan yang adaptif, mampu mengikuti keragaman dan realitas lapangan, bukan kebijakan yang kaku dan seragam bagi semua desa..
Penutup: Kebijakan Harus Menyentuh Tanah
Dari kacamata Administrasi Publik, PMK 81/2025 menunjukkan betapa pentingnya keselarasan antara regulasi dan kapasitas nyata pelaksana di lapangan. Desa bukan hanya unit administratif; mereka adalah street-level Bureaucracy yang menghadapi langsung publik setiap hari.
Ketika kebijakan tidak mempertimbangkan kapasitas dan konteks lokal, implementasi akan tersendat, resistensi meningkat, dan pelayanan publik terganggu.
Harmonisasi antara pusat, daerah, dan desa bukanlah pilihan, melainkan syarat mutlak agar PMK 81/2025 dapat berjalan efektif, adil, dan berkelanjutan. Kebijakan yang menyentuh tanah adalah kebijakan yang memahami desa tidak hanya sebagai angka dalam APBN, tetapi sebagai jantung administrasi publik yang menyentuh kehidupan masyarakat sehari-hari.
Salam dari Beranda Negeri…
Referensi:
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (2025). Database peraturan perundang-undangan terkait PMK 81/2025.
Tersedia di: https://peraturan.bpk.go.id
Van Meter, D., & Van Horn, C. (1975). The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework. Administration & Society, 6(4).
Lipsky, M. (1980). Street-Level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Services. New York: Russell Sage Foundation.
Batastimor.com. (2025). Pertemuan kritis di lantai 2 Kantor Bupati TTU, Ketua APDESI ungkap keluhan 130 desa. Diakses dari
https://www.batastimor.com/ntt/80516345982/pertemuan-kritis-di-lantai-2-kantor-bupati-ttu-ketua-apdesi-ungkap-keluhan-130-des
Tribun Kupang. (2025). Kepala desa se-Kabupaten Malaka nyatakan sikap menolak PMK Nomor 81 Tahun 2025. Diakses dari
https://kupang.tribunnews.com/regional-ntt/941975/kepala-desa-se-kabupaten-malaka-nyatakan-sikap-menolak-pmk-nomor-81-tahun-2025
Harian Muria. (2025). Dana Desa Blora tersendat: 113 desa belum cair tahap II. Diakses dari
https://harianmuria.com/news/dana-desa-blora-tersendat