"Pinjam Dulu Nanti Kuganti": Tip of The Iceberg

Gambar sampul "Pinjam Dulu Nanti Kuganti": Tip of The Iceberg

Setia dalam perkara kecil, sebelum diberikan perkara yang besar. 

Sebuah pepatah yang dapat dijadikan sebagai prinsip dalam melakukan apapun di hidup ini, termasuk dalam berintegritas. Mudah bagi banyak orang untuk merasa enteng terhadap hal-hal yang dianggap tidak penting alias kecil. Padahal, kebiasaan itu terbentuk dari hal-hal kecil yang sifatnya berulang. Seperti peribahasa mengatakan, “Alah bisa karena biasa!”. Kebiasaan-kebiasaan sepele yang sifatnya buruk memang sudah seharusnya untuk tidak dinormalisasikan.

Setia dalam perkara kecil berarti tidak menganggap remeh terhadap hal-hal sederhana. Prinsip ini sudah penulis pegang sejak kecil, tepatnya sejak menduduki bangku SMP. Semasa sekolah, penulis selalu anti untuk mewajarkan setiap cara untuk memperoleh hasil ujian maupun tugas yang bagus, termasuk mencontek orang lain atau membuat contekan. Mungkin terlihat remeh untuk teman-teman penulis semasa sekolah. Tentu bukanlah mudah untuk menerapkan hal tersebut, terlebih tekanan dari teman-teman yang tampaknya mewajarkan dan menganggap tindakan itu hal yang lumrah. “Demi mendapatkan hasil yang baik” katanya. Tidak terpengaruh dengan tindakan mencontek dan tetap berpegang teguh pada prinsip ternyata membentuk kepribadian penulis menjadi seorang yang ulet dan tekun. Ternyata dalam proses ulangan formatif maupun tugas yang mungkin bagi beberapa orang bukanlah sesuatu yang besar, membuat penulis harus lebih rajin menghafal dan membaca banyak referensi buku. Itulah yang membentuk kepribadian penulis hingga saat ini.

Kebiasaan-kebiasaan yang dianggap wajar haruslah kebiasaan yang bersifat anti-fraud. Tindakan pembiasaan ini termasuk ke dalam teori Fraud Pentagon (Crowe Horwath, 2011) yang meliputi pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rationalization (pembenaran/pewajaran). Jika digambarkan, pembenaran (rationalization) berada di pilar utama yaitu posisi yang paling besar dan dasar terjadinya kecurangan (fraud). Artinya, pembenaran ini menjadi yang paling berbahaya dari 3 faktor kecurangan lainnya. Bagaimana tidak? Seseorang yang tidak melakukan kebiasaan menyimpang biasanya akan dianggap aneh dan malah dianggap tidak benar. Lebih ekstrim lagi, orang tersebut biasa dianggap “sok suci” atau “sok keren” dan akan kehilangan teman karena dianggap berbeda dari yang lain. Kehilangan teman ini menjadi akibat yang ditakutkan karena dampaknya akan membuat seseorang merasa tidak berdaya.

Salah satu contoh pembenaran ini yang umumnya banyak terjadi ialah pemakaian barang-barang kantor/dinas. Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bahwa praktik penyalahgunaan fasilitas kantor menjadi salah satu risiko korupsi tinggi di Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. “– Kan saya yang mengurus BMN!” Sebentar aja kok, nggak lama!” “Yaelah dikit doang” “Sayang kalau nggak dipakai” “Pinjam dulu nanti aku ganti!” merupakan contoh pembenaran yang terdengar sepele, tetapi jika terus dibiarkan, dapat membuka pintu ke perilaku korupsi yang lebih serius. Padahal, mekanisme pinjam-pakai itu harus mengikuti mekanisme formal yang telah diatur oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, sehingga penggunaan pribadi yang tidak mengikuti prosedur tersebut dapat memperlemah akuntabilitas aset negara. Tindakan pembenaran ini berbahaya karena pelakunya sering tidak merasa seperti korupsi, padahal hal tersebut sudah termasuk dalam tindakan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi. 

Barang dinas ialah barang milik negara yang hanya boleh digunakan untuk kepentingan dinas/jabatan, bukan untuk kepentingan pribadi, sekalipun nanti diganti. Seperti ditegaskan oleh OECD (2017) dalam Recommendation on Public Integrity, integritas publik berarti menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi serta menjalankan tugas sesuai dengan standar yang bisa diawasi publik. Penggantian atas yang sudah digunakan untuk kepentingan pribadi tidak serta-merta menghilangkan potensi pelanggaran. Sebaliknya, tindakan ini dapat memicu memicu efek domino yaitu ketika satu orang merasa wajar memakai barang kantor untuk pribadi, orang lain bisa meniru dengan dalih yang sama: “toh nanti bisa diganti”. Akhirnya, perilaku itu menjadi kebiasaan massal yang sulit dihentikan. Dampaknya bukan hanya pada kerugian materiil, tetapi juga pada lunturnya kepercayaan publik. Menurut Rose-Ackerman & Palifka (2016) dalam Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, toleransi terhadap praktik korupsi kecil memperlemah institusi publik karena masyarakat tidak lagi percaya bahwa birokrasi berjalan adil dan transparan. Ini bukan soal “bisa diganti atau tidak”, tetapi soal etika dan aturan sebagai pelayan publik yang berintegritas dan menolak setiap tindakan korupsi.

Kelihatan ekstrim bukan? Ya, untuk melawan tindakan korupsi ini memang hanya bisa dilakukan jika seseorang itu memiliki tekad dan komitmen yang kuat untuk tidak menoleransi hal-hal menyimpang sekecil apapun, dan setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) wajib memiliki itu. Tindakan korupsi bukanlah harus tindakan yang besar seperti kasus penggelapan uang ber-milyar atau triliunan, tetapi juga termasuk hal-hal sederhana seperti pemanfaatan aset negara diluar kepentingan dinas/jabatan. Tekad untuk melawan hal kecil ini harus benar-benar tertanam dalam diri seorang ASN yang adalah sebagai pelayan publik sekaligus teladan bagi masyarakat. Memilih menjadi ASN berarti memilih untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Selalu ingat bahwa tugas utama kita adalah untuk melayani negara yang nantinya akan berdampak pada kemajuan bangsa. Masa depan bangsa kita ada di tangan kita, saya, dan Saudara sebagai ASN yang menjunjung tinggi integritas. Jadilah teladan yang dapat ditiru oleh masyarakat, terapkan zero tolerance terhadap penyimpangan sekecil apapun. Dengan memutus kebiasaan korupsi kecil, kita sedang mencegah lahirnya korupsi besar, serta memastikan bahwa ASN benar-benar menjadi pelayan publik yang bersih, transparan, dan akuntabel.

#Aksaraabdimuda #sembaridinas

Bagikan :