‘Peta Harta Karun’ Terekam dalam Serat Sri Sedana (07.15 M)
Koleksi Filologika Museum Negeri Mpu Tantular Jawa Timur
Museum Negeri Mpu Tantular Jawa Timur adalah sebuah museum negeri yang berlokasi di Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Awalnya, museum ini bernama Stedelijk Historisch Museum Soerabaia, didirikan oleh Godfried von Faber pada tahun 1933 dan diresmikan pada tanggal 25 Juli 1937. Saat ini, museum ini dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur. Memiliki sepuluh jenis koleksi, antara lain : Geologika, Biologika, Etnografika, Arkeologika, Historika, Numismatika dan Heraldika, Filologika, Keramologika, Seni Rupa, dan Teknologika.
Koleksi Filologika yang tersimpan di Museum Negeri Mpu Tantular berupa naskah tulisan tangan (manuskrip) yang telah berumur 50 tahun lebih dan memiliki arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Secara fokus, kajian tentang sejarah dan pranata kehidupan suatu bangsa yang terdapat dalam naskah-naskah kuno dipelajari dalam ilmu filologi. Banyak kalangan merasa asing dengan keilmuan ini, lantaran pembahasannya tidak lagi kekinian. Alasan krusial lainnya adalah penggunaan aksara dan bahasa daerah (Jawa, Bali, Sunda, Batak, dan sebagainya) yang tidak lagi populer karena tidak lagi dituturkan di masa kini, sehingga menyulitkan pembaca untuk mengerti dan memahami isi. Ditambah lagi tulisan naskah kuno yang tersaji dalam bentuk macapatan atau puisi tradisional Jawa, seakan menjadi paket lengkap alasan tidak tertarik belajar filologi.
Kode-Kode Leluhur Tersirat dalam Naskah Kuno Jawa
Sudah seharusnya, kajian naskah kuno tidak hanya berhenti di suntingan dan kritik teks saja, tetapi dilanjutkan pada penafsiran teks. Warisan intelektual Jawa telah dikisahkan oleh para leluhur dalam deretan aksara dan bahasa dengan sistem pengkodean sedemikian rupa. Untuk dapat mengaksesnya dibutuhkan kepekaan dan kejelian dalam membaca teks, karena setiap deretan aksara dalam kesatuan bahasa dapat dimungkinkan merupakan rangkaian puzzle untuk menuju fakta sejarah sebenarnya.
Kenapa naskah kuno harus terkode? Karena adanya anggapan, bahwa leluhur telah menyadari jika meninggalkan warisan berupa catatan atau naskah kuno akan hilang karena kondisi sosial–politik dan alam yang jarang terjadi sebagaimana perpustakaan kuno di peradaban bangsa lain, maka satu-satunya jalan adalah menyimpannya dengan sistem pengkodean yang hanya dapat dibuka melalui penafsiran oleh pewaris bangsanya sendiri.
Di mana tersimpan kode-kode naskah kuno? Terdapat di beberapa sisi naskah, antara lain: manggala (halaman awal naskah) dan kolofon (halaman akhir naskah) yang umumnya mencatat tentang nama penulis yang terkode dalam sandiasma dan tahun penulisan yang terkode dalam candrasengkala; media naskah kuno berupa kertas Eropa umumnya memiliki watermark dan countermark yang dapat telusuri tempat dan tahun pembuatan kertas tersebut; jenis dan urutan macapat yang tersaji dapat pula sebagai clue dalam membaca kisah; penggunaan tata bahasa Jawa dalam kesusasteraan naskah yang memiliki makna-makna tersirat, seperti tembung entar, dasanama, kerata basa, paribasan, bebasan, sanepa, saloka; dan sebagainya.
‘Peta Harta Karun’ Terekam dalam Naskah Kuno Serat Sri Sedana (07.15 M)
Serat Sri Sedana adalah koleksi Filologika Museum Negeri Mpu Tantular Jawa Timur, bernomor inventaris 07.15 M, tebal naskah 258 halaman, berbentuk macapat, dan berbahan lontar. Keadaan naskah relatif baik, meskipun ada beberapa halaman terlihat aus. Waktu penulisannya pada hari Ahad Wage, 2 Jumadilakir 1820 Jawa (1898 Masehi), terbaca di candrasengkala ‘sirna tingalira tunggal’ yang terdapat pada manggala naskah.
Serat Sri Sedana (07.15 M) merupakan naskah sejarah legendaris yang berkaitan dengan mitologi Jawa, mengisahkan tentang turunnya Dewi Sri dan Raden Sedana dari surga ke alam dunia dengan membawa biji padi yang kemudian menjadi bahan makanan pokok orang Jawa. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, tokoh Dewi Sri dan Raden Sedana bukan saja dianggap sebagai tokoh fiktif belaka, melainkan lebih dari itu, mereka berdua dikenal sebagai tokoh mistis yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu sebagai pelindung pertanian pada khususnya dan kebahagiaan pada umumnya. Dewi Sri merupakan tokoh yang terkenal, terutama di kalangan petani. Dalam masyarakat Jawa, ia dimanifestasikan sebagai dewi padi, dewi kekayaan, dewi kesuburan dan kemakmuran, dewi yang melimpahi ketenaran, kesuksesan, yang dapat memberi panjang umur, sehat dan banyak anak. Ia juga dianggap sebagai dewi bumi dan ibu segala makhluk.
Serat Sri Sedana (07.15 M) membahas hubungan antara ilmu filologi, mitologi, dan astronomi-astrologi. Penyebutan perhitungan tradisional menanam padi dalam teks kuno Jawa ini berkaitan dengan sistem horoskop atau pranata mangsa, masuk dalam cabang ilmu astronomi-astrologi. Kalender pranata mangsa terdiri atas dua belas bulan dengan umur berkisar dari 23 – 43 hari, antara lain: mangsa ke-1 berumur 41 hari (22 Juni – 01 Agustus); mangsa ke-2 berumur 23 hari (02 Agustus – 24 Agustus); mangsa ke-3 berumur 24 hari (25 Agustus – 17 September); mangsa ke-4 berumur 25 hari (18 September – 12 Oktober); mangsa ke-5 berumur 27 hari (13 Oktober – 08 Nopember); mangsa ke-6 berumur 43 hari (09 Nopember 21 Desember); mangsa ke-7 berumur 43 hari (22 Desember – 02 Pebruari); mangsa ke-8 berumur 26 – 27 hari (03 Pebruari – 28/29 Pebruari); mangsa ke-9 berumur 25 hari (01 Maret – 25 Maret); mangsa ke-10 berumur 24 hari (26 Maret – 18 April); mangsa ke-11 berumur 23 hari (19 April – 11 Mei); dan mangsa ke-12 berumur 41 hari (12 Mei – 21 Juni).
22 Juni dipilih sebagai permulaan kalender pranata mangsa, rupanya dikaitkan dengan kedudukan matahari yang berhubungan dengan berlangsungnya mangsa di Jawa. 22 Juni bertepatan dengan hari pertama pergeseran dari garis balik utara. Perpindahan kedudukan matahari berpengaruh terhadap keadaan unsur-unsur meteorologis suatu wilayah. Pranata mangsa sebelum disejajarkan dengan kalender gregorian telah dikenal lama di masyarakat Jawa walaupun belum diketahui dengan pasti kapan mulai dikenal, dan telah hidup berabad-abad lamanya di kalangan Jawa sebelum kedatangan Hindu. Perhitungan musim dalam pranata mangsa dibagi menjadi 4, yaitu musim mareng (menjelang musim kemarau) selama 88 hari; musim ketiga (kemarau) selama 88 hari; musim semplah (menjelang musim hujan) selama 88 hari; dan musim rendheng (penghujan) selama 94 hari. Masing-masing mangsa di samping umur diberi pula indikator yang berupa gejala-gejala alam yang muncul dalam masing-masing mangsa dan rasi bintang. Hal ini mempermudah petani untuk menentukan waktu tanam dan menghindari serangan hama, sehingga menghasilkan panen melimpah.
Bagi masyarakat Jawa, kegiatan menanam padi tidak pernah meninggalkan sesaji dalam ritual slametan agar tidak gagal panen. Hal ini berkaitan dengan penghormatan kepada leluhur dan wujud syukur kepada Sang Pemilik Semesta yang telah meminjamkan bumi sebagai perantara bertani. Kajian terhadap sesaji slametan dapat pula memberi gambaran tentang endemik flora-fauna di masa lampau. Selanjutnya, pembacaan mantera menanam padi dan mantera mengusir hama adalah doa yang disampaikan kepada Sang Pemberi Berkah, agar senantiasa diberikan keberkahan dalam aktifitas bertani. Oleh karena teks naskah Serat Sri Sedana (07.15 M) mampu menyajikan ‘peta harta karun’ untuk menguak fakta sejarah sebenarnya, maka koleksi Filologika ini menjadi icon dan primadona bagi para peneliti di bidang pertanian. Selanjutnya, filologi mulai diperhitungkan dalam kancah ilmu pengetahuan dan teknologi dan dianggap sebagai ilmu pembuka peradaban.
***