Kabinet baru yang bernama Kabinet Merah Putih diharapkan benar-benar membawa harapan baru bagi Indonesia. Penggabungan, pemisahan, dan perubahan nomenklatur beberapa kementerian menjadi isu hangat dan prestisius bagi masyarakat termasuk ASN di Indonesia. Salah satu kementerian yang masuk “bursa” perubahan nomenklatur adalah Kemdikbudristek. Kemdikbudristek saat ini di de-merger menjadi tiga kementerian yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Kementerian Kebudayaan.
Pemisahan Kemdikbudristek menjadi tiga kementerian ini cukup membuat kehebohan terutama bagi ASN dan semua SDM yang bernaung dibawahnya, walaupun kasus merger dan pemisahan kementerian sudah sering menjadi agenda umum pemerintahan. Kehebohan tersebut sebagian besar berhulu pada harapan besar akan terjadinya perubahan yang signifikan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ditambah lagi jabatan-jabatan strategis pada kementerian baru tersebut diduduki oleh orang-orang yang berpengalaman dibidangnya. Seakan-akan janji politis presiden baru kali ini yang berkaitan dengan pendidikan akan segera terwujud. Seperti yang diketahui bersama, euforia ini terjadi karena carut-marut persandiwaraan dunia pendidikan di Indonesia memang tiada habisnya dan ingin segera dituntaskan. Masalah pemerataan pendidikan, kurikulum, kualitas guru, kecilnya gaji guru, lulusan yang daya saingnya kurang, ujian nasional, masalah pada pendidikan tinggi, dan masalah lainnya yang seakan-akan selalu mengalami ketersesatan jalan keluar. Bahkan jika dijabarkan mungkin bisa menjadi banyak episode seperti episode merdeka belajar. Tapi sayangnya episode merdeka belajar belum bisa menyaingi episode sinema elektronik di Indonesia.
Tapi jangan terlalu pesimis dulu, seperti kata pepatah “tersesat bukan berarti salah jalan”. Meskipun sering tersesat setidaknya tidak terjerumus pada jalan sesat. Kementerian yang mengurus urusan pendidikan di Indonesia dapat dikatakan sebagai kementerian yang terpandang sekaligus menjadi salah satu kementerian dengan urusan tersulit. Mengapa demikian? Alasan pertama adalah pendidikan akan selalu menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional, sehingga kementerian bidang pendidikan memiliki kewajiban utama dan mulia yakni mengatur proses memanusiakan manusia. Proses pendidikan dengan menjalankan kewajiban utamanya yakni memanusiakan manusia tidaklah mudah. Terkadang masyarakat awam masih banyak yang beranggapan bahwa proses pendidikan di sekolah yang ditugaskan kepada guru-guru adalah pekerjaan gampangan. Kesan itulah yang mungkin menjadi salah satu penyebab mengapa nasib guru dan dosen di Indonesia sebagian besar masih jauh dari makna sejahtera. Intinya begini “mengapa harus menaikkan gaji guru?, pekerjaan mereka kan gampang, tinggal berdiri di depan kelas, mengajar, memberikan nilai dan selesai”, percayalah citra seperti itu masih tertaut pada konsep pikir sebagian masyarakat awam di Indonesia. Alasan kedua adalah kementerian bidang pendidikan termasuk kementerian yang menyedot anggaran negara paling banyak, sehingga manajemennya harus optimal, dan pasti akan senantiasa disorot dan diperhatikan kinerjanya oleh masyarakat. Salah sedikit siap-siap ramai komentar, kritik, bahkan hujatan. Alasan ketiga adalah wilayah Indonesia sangat luas dan berbentuk kepulauan. Optimalisasi pemerataan pendidikan, pemerataan kompetensi guru, dan pemerataan lainnya akan cukup terhambat oleh kondisi geografis.
Kenyataan yang dijelaskan tadi memang tidak terelakkan, dan mungkin jika ditelusuri lebih jauh lagi, banyak alasan yang menyebabkan kementerian bidang pendidikan menjadi salah satu kementerian yang pekerjaannya paling sulit. Kemdibudristek yang terniscayakan pada kabinet sebelumnya dirasa sangat berat memikul beban urusan yang sangat luas dan kompleks. Oleh sebab itu, sudah memang selayaknya di de-merger atau dipisah kementeriannya dengan harapan lebih fokus pada sub bagian kependidikan tertentu. Bahkan jika diperlukan kementerian bidang pendidikan dipecah lagi antara wilayah Indonesia barat, tengah, dan timur. Hal ini bertajuk pada kiat pemerataan pendidikan yang tidak kunjung ada hasilnya yang signifikan. Perlu dipahami bersama bahwa karakterisik geografis, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia itu beragam. Keberagaman tersebut tidak dapat diberikan satu tindakan yang sama, contohnya saja penerapan digitalisasi dan atau daringisasi bidang pendidikan. Terobosan tersebut memang inovatif, tetapi perlu dievaluasi lebih mendalam lagi agar tidak berketimpangan dan terkesan menjadi beban bagi masyarakat pada daerah-daerah tertentu yang belum bisa memaksimalkannya.
Satu hal lagi yang sering mejadi masalah laten adalah daya tangkap atau daya pemahaman pemerintah daerah terhadap suatu kebijakan dari pemerintah pusat, khususnya pada bidang pendidikan. Bisa dikatakan juga bahwa pemerintah daerah di Indonesia itu kebanyakan masih FOMO (Fear of Missing Out) terhadap suatu kebijakan baru. Sebagai contoh digitalisasi tadi, mungkin pemerintah pusat telah menghimbau untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan situasi dan kondisi daerah, tetapi beberapa pemerintah daerah menganggap itu sebuah kewajiban dan harus dilakukan, terutama untuk menjaga citra daerahnya agar tidak terkesan tertinggal. Padahal kemampuan daerahnya sebenarnya belum mampu sepenuhnya melaksanakan kebijakan tersebut. Subjek yang menjadi “korban” biasanya adalah kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan yang paling utama adalah peserta didik. Mereka biasanya dipaksa untuk berubah dan mengikuti himbauan pemerintah, hingga ada kasus peserta didik dan guru pendampingnya harus menuju ke daerah perkotaan yang cukup jauh dari sekolahnya, hanya untuk mencari jaringan internet demi menyelesaikan survei lingkungan belajar dan asesmen nasional. Bayangkan mereka membuang-buang waktu belajar dan bermain yang berharga hanya untuk mencari jaringan internet. Mengherankan memang, tapi itulah kenyataannya. Biasanya fenomena semacam itu dihibur dengan kalimat pernyataan “tidak apa mencari jaringan internet jauh-jauh ke kota, yang penting dapat pengalamannya”, kalimat pernyataan itu memang tidak sepenuhnya salah, tetapi kita tidak tahu apa yang dirasakan subjek yang menjadi “korban” tersebut.
Intinya, kompleksitas masalah pendidikan di Indonesia belum terpecahkan sepenuhnya. Sinar baru dari Kabinet Merah Putih diharapkan dapat menerangi “kegelapan” Indonesia khususnya pada bidang pendidikan, selayaknya guru sebagai pelita kegelapan bagi peserta didiknya. Kemdikbudristek memang perlu dipecah karena mandatnya terlalu luas, dan saat ini kemdikbudristek dapat diibaratkan seperti permainan puzzle yang pecah dan disusun kembali menjadi tiga wujud yang lebih terarah dan bermanfaat bagi kebaikan dunia pendidikan di Indonesia.