“Menakar dengan pikiran dan hati, menolak apapun yang tak masuk dalam takarannya.”
Ungkapan Baharuddin Lopa ini begitu sederhana, tetapi dalam. Ia bukan sekadar kalimat, melainkan prinsip hidup yang terus relevan hingga kini. Lopa, jaksa agung yang dikenal keras dan lurus, adalah salah satu teladan bangsa tentang integritas. Kisahnya yang populer—ketika ia meminta sopir mengeluarkan kembali bensin mobil dinas karena merasa tidak berhak, sebab bensin itu diisi oleh koleganya—terlihat sepele. Namun justru dari hal yang sepele inilah makna integritas lahir: menolak mengambil apa yang bukan haknya, sekecil apapun.
Lopa mengingatkan bahwa integritas bukanlah dokumen di atas kertas atau slogan yang digemakan saat seremoni. Ia adalah pilihan moral yang menuntut keberanian, konsistensi, dan kadang kesunyian. Dan dengan kondisi bangsa yang “tak sedang baik-baik saja”, jalan integritas sebetulnya bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Kita sama-sama tahu, korupsi tidak akan pernah hilang jika hanya mengandalkan penindakan hukum. Perlu lebih dari itu: karakter, teladan, budaya yang hidup di tengah masyarakat. Maka pendidikan antikorupsi menjadi pondasi. Di sinilah lahir Penyuluh Antikorupsi (PAKSI)—orang-orang dari beragam profesi, usia, dan latar belakang, yang dengan kesadaran pribadi maupun penugasan, memilih mengambil tanggung jawab moral: menjaga dirinya, keluarganya, dan lingkungannya dari bahaya korupsi.
Kisah dari Para Penjaga Integritas
Sebagai penyuluh sekaligus asesor antikorupsi, saya berkesempatan mendengar banyak kisah dari para PAKSI. Cerita-cerita itu sederhana, tapi punya daya getar yang kuat.
Ada seorang ASN di rumah sakit yang awalnya melihat peran PAKSI hanya sebagai penugasan tambahan dari pimpinan. Namun seiring waktu, ia justru menemukan bahwa menjadi penyuluh membentengi dirinya. “Awalnya sekadar tugas. Lama-lama saya sadar, ini cara saya menjaga diri. Saya belajar menolak hal-hal yang tidak sejalan dengan nurani,” katanya. Dari titik itu, ia bukan hanya menyampaikan materi, tetapi juga melakukan refleksi pribadi: bahwa menjaga integritas pertama-tama adalah untuk diri dan keluarga.
Di sebuah puskesmas, seorang kepala unit kesehatan selalu menyisipkan pesan antikorupsi dalam orientasi pegawai baru, mahasiswa, maupun siswa magang. Ia percaya, sejak awal seseorang masuk ke dunia kerja, mereka harus paham arti integritas. Pesan itu mungkin terdengar kecil, tapi bagi generasi muda yang baru mengenal dunia profesional, ia menjadi vaksin moral.
Di ruang audit, seorang ASN mengaku kerap menemukan celah penyalahgunaan kewenangan. Ia tidak bisa mengubah keputusan di level tinggi, tapi menjadikan setiap temuan audit sebagai bahan edukasi. Baginya, laporan bukan sekadar angka, melainkan peringatan agar rekan-rekan tidak terjerumus ke dalam praktik curang.
Di kampus, seorang dosen menjadikan dirinya role model. Ia sadar, menanamkan nilai kejujuran sejak dini jauh lebih efektif daripada memperbaiki perilaku di kemudian hari. “Mendidik anak jujur itu hebat,” ujarnya, meyakini bahwa energi positif yang ia tularkan akan tertanam meski tak langsung terlihat hasilnya.
Ada pula pegiat kebudayaan yang sering bersentuhan dengan dana hibah. Baginya, transparansi dan akuntabilitas bukan sekadar aturan, melainkan tanggung jawab agar dana publik benar-benar menjadi sarana melestarikan budaya, bukan ladang penyimpangan. Integritas, dalam dunia ini, adalah syarat agar warisan budaya bisa tetap hidup.
Dan di sebuah BUMN besar, seorang pegawai senior yang puluhan tahun mengabdi menyadari betapa pentingnya menularkan semangat integritas kepada generasi muda. Ia tahu, perubahan besar dalam tubuh perusahaan hanya bisa bertahan bila ditopang oleh karakter jujur dan tangguh. Ia mungkin sudah hampir pensiun, tapi ia ingin meninggalkan warisan yang lebih dari sekadar angka kinerja: warisan nilai.
Jalan yang Tak Selalu Mulus
Menjadi penyuluh antikorupsi tentu bukan perjalanan yang selalu mudah. Ada yang harus melintasi pulau dan lautan demi bisa menyuluh. Ada yang dicibir oleh lingkungannya karena dianggap “sok suci”. Ada yang merasa pesan integritas sering hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Bahkan ada yang menilai kegiatan penyuluhan sekadar formalitas belaka.
Tetapi justru di situlah ujian sesungguhnya. Integritas adalah kesetiaan pada nurani. Banyak PAKSI yang mengaku merasa “tidak nyaman” bila melanggar nilai kejujuran. Rasa tidak nyaman itu menjadi alarm batin, penuntun agar tetap istiqomah.
Seorang PAKSI dari inspektorat berkata, “Kalau saya tidak berintegritas, ada sesuatu yang mengganjal di hati.” Ucapan sederhana, tapi mencerminkan kesadaran bahwa integritas bukanlah aturan eksternal, melainkan suara hati yang dijaga.
Kesadaran ini menjadikan para penyuluh berbeda. Mereka tidak sekadar menyampaikan materi di depan kelas atau forum, tetapi menghidupi nilai itu dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan ketika berada di lingkungan rawan penyimpangan, mereka memilih berdiri tegak. Mereka tahu mungkin akan kehilangan kenyamanan, atau bahkan kesempatan, tapi mereka juga tahu harga diri dan kehormatan tidak bisa ditukar dengan apapun.
Dari Diri ke Lingkungan, dari Lingkungan ke Bangsa
Dari kisah-kisah PAKSI, saya pribadi belajar bahwa integritas adalah kewajiban, bukan sesuatu yang istimewa. Sebagai ASN, menjadi penyuluh bukanlah pencapaian luar biasa, melainkan perpanjangan dari sumpah jabatan: bekerja dengan jujur, adil, dan penuh tanggung jawab.
Saya merasa bersyukur mampu mempertahankannya hingga kini. Saya pernah melaporkan gratifikasi yang saya terima, bukan untuk mencari pujian, tapi agar menjadi edukasi—baik untuk diri sendiri, maupun kelompok sasaran yang saya suluh. Saya bangga menceritakan kisah-kisah kejujuran kepada anak-anak saya, agar mereka tumbuh dengan pemahaman sederhana bahwa “berani jujur itu hebat.”
Dari rumah, nilai itu ditanamkan. Di sekolah, ia diperkuat. Di kampus, di kantor, di komunitas budaya, ia dipraktikkan. Bayangkan jika semua lingkungan bergerak menularkan nilai yang sama. Bayangkan jika setiap anak tumbuh dengan kesadaran bahwa mengambil yang bukan haknya adalah salah, sekecil apapun. Maka benar adanya, kita sedang menyiapkan Generasi Emas Tanpa Cemas. Generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter.
Integritas memang tidak bisa tumbuh instan. Ia perlu ditanam, disiram, dijaga, dan diwariskan. Peran PAKSI adalah menebar benih kebaikan itu, meski kadang terasa kecil. Namun seperti biji sawi yang disebut dalam pepatah, benih kecil itu suatu hari bisa tumbuh menjadi pohon besar yang menaungi banyak orang.
Upaya sederhana seorang penyuluh di ruang kelas, di meja audit, di puskesmas, di kantor desa, atau di BUMN, suatu hari bisa berbuah menjadi budaya integritas bangsa. Korupsi tidak akan hilang hanya dengan penindakan dan perbaikan sistem. Ia akan hilang ketika setiap orang memilih jujur, ketika integritas bukan lagi slogan, melainkan napas dalam kehidupan sehari-hari.
Dan dari cerita-cerita para penyuluh antikorupsi, kita percaya: harapan itu ada. Harapan bahwa Indonesia bisa benar-benar melahirkan generasi emas yang tumbuh dalam kejujuran, dan menjalani hidup tanpa cemas.
#aksaraAbdimuda