Saat seseorang memperoleh jabatan dalam sebuah organisasi baik swasta maupun publik, maka ia juga akan mendapatkan wewenang sesuai jabatan yang dipegangnya. Saat wewenang ini muncul, maka akan ada dua pilihan di depan mata. Memanfaatkan kekuasaan berdasarkan tanggung jawab posisi dan mencapai sasaran organisasi atau memanfaatkan kekuasaan untuk mencapai tujuan pribadi.
Mencapai tujuan pribadi dengan penyalahgunaan wewenang, bukanlah hal baru di lingkungan kita. Bukan berarti, hal tersebut membuat kita menormalisasi tindakannya. Namun, ketika praktiknya ada maka cenderung akan sulit membuktikan penyalahgunaan tersebut, justru karena wewenang yang dimiliki pelaku berfungsi sebagai perlindungan terhadap tindakan yang mereka lakukan.
Kita coba buka kembali salah satu contoh kasus yang dikenal dengan nama “mega korupsi E-KTP”. Pada tahun 2018, ketua DPR RI dengan wewenang yang melekat dalam jabatannya menggunakan pengaruhnya untuk turut campur mengarahkan proyek pengadaan E-KTP. Buah dari perbuatannya, melahirkan kerugian keuangan negara sebesar 2,3 triliun rupiah.
Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan menyebutkan dengan tegas larangan bagi pejabat untuk menyalahgunakan wewenang, baik melalui pelampauan kewenangan atau perpaduan kewenangan, maupun bertindak sewenang-wenang. Apabila penyalahgunaan wewenang ini mengakibatkan kerugian negara makan akan ditarik menjadi tindak pidana korupsi. Hal tersebut tegas di jelaskan dalam pasal 3 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabaran atau kedudukan, yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dapat dipidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun serta denda hingga Rp 1.000.000.0000,-.
Dalam contoh kasus di atas, menunjukkan bahwa penyalahgunaan wewenang merupakan awal adanya tindak pidana korupsi. Ketika perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian negara maka kasusnya dapat ditarik ke ranah pidana korupsi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Tipikor.
Pada 11 Februari 2025, Transparancy International (TI) merilis laporan CPI 2024. Indonesia di tahun 2024 berada di skor 37 dari 100, hal tersebut menempatkan Indonesia di peringkat 99 dari 180 negara. Apabila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia menempati peringkat keenam sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Dari sisi penindakan kasus korupsi, di Indonesia sendiri melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang tahun 2024 mencatat terdapat 154 perkara. Sebagian besar merupakan kasus pengadaan bareng/jasa yaitu 68 kasus, kemudian terdapat 63 kasus suap dan gratifikasi. Dari data tersebut, baik itu kasus pengadaan barang/jasa dan gratifikasi, keduanya sangat dekat kaitannya dengan penyalahgunaan wewenang, dimana lebih mengedepankan kedekatan dibandingkan kompetensi dan penilaian objektif lainnya.
Meritokratis Versus Nepotis
Pola tindak pidana korupsi yang diawali dengan penyalahgunaan wewenang biasanya diawali dengan kekuasaan politik dan konflik kepentingan yang saling mendominasi. Patronasi politik membuat pejabat yang berwenang memliki kekuasaan untuk menunjuk “orang dalam” atau yang menjadi orang terdekat untuk mendapatkan jabatan atau wewenang melakukan suatu pekerjaan. Kriteria kompetensi di bengkokkan dan seleksi menjadi sekedar formalitas untuk memenuhi persyaratan. Akibatnya orang yang terpilih bukan karena analisis kompetensi yang mumpuni namun karena pelampauan wewenang yang salah arah.
Parahnya, saat orang terpilih ini menjadi pejabat yang tidak kompeten berada di posisi strategis akan berdampak pada tata kelola anggaran. Tentunya akan membawa kerugian bagi negara dan masyarakat dan hanya memberikan keuntungan pada kantong-kantong pribadi.
Meritokrasi atau yang acap kali dikenal dengan “sistem merit” seharusnya menjadi solusi dalam permasalahan ini. Kita ambil contoh di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN), sudah di atur salam Undang Undang No. 20 Tahun 2023 tentang ASN yang menyebutkan, bahwa penempatan ASN harus didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, bukan relasi personal. Hal ini merupakan prinsip dari meritokrasi, yang mengedepankan kemampuan seseorang berdasarkan kemampuan, prestasi dan kompetensinya bukan karena kedekatan atau istilah yang kita kenal “orang dalam”.
Sampai dengan Tahun 2024 Sistem Merit di Indonesia dikawal oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Di Tahun 2024 KASN memberikan Anugerah Meritrokasi kepada 98 instansi dengan predikat baik dan sangat baik. Kemudian, saat ini melalui Kementerian PAN RB, Sistem Merit terus diperbaharui dengan perbaikan regulasi yang mengatur indikator-indikator implementasi sistem merit di seluruh lembaga pemerintahan. Badan Kepegawaian Negara (BKN) turut berupaya dalam pengembangan manajemen talenta ASN dengan terus melalukan terobosan dalam integrasi kompetensi melalui Sistem Informasi ASN (SIASN).
Menertibkan Jabatan, Menutup Celah Korupsi
Sistem merit, tidak bisa dipandang hanya sebuah sistem manajemen pengelolaan kepegawaian, namun merupakan strategi antikorupsi dari hulu. Secara langsung, sistem merit akan menutup ruang nepotis yang selama ini menjadi awal dari tindak pidana korupsi. Sistem merit menawarkan solusi yang konkret dengan memastikan setiap jabatan diisi berdasarkan kemampuan kompetensi dan penilaian kinerja yang objektif. Menertibkan jabatan di lingkungan birokrasi merupakan langkah awal yang strategis untuk menutup keran tindak pidana korupsi. Pejabat yang tidak kompeten hanya akan menjadi celah kegagalan semua instrumen antikorupsi baik di hulu maupun hilir. Komitmen terhadap penegakan sistem merit yang mengharuskan transparan, terukur dan terintegrasi bukan hanya akan menekan praktik nepotisme, tapi tentunya akan mewujudkan tata kelola birokrasi yang sehat.
Penentuan panitia seleksi (pansel) dengan mengedepankan independensi dapat dijaga dengan memberikan standar atau sertifikasi khusus untuk masing-masing individu yang kompeten di bidang masing-masing jabatan. Dengan pansel lintas instansi dan tersertifikasi, akan mempersempit celah penyalahgunaan wewenang dan praktik nepotisme.
Implementasi talent pool nasional dengan basis data terintegrasi akan menjadi “Bank Data” untuk mendapatkan “The right man on the right place”. Apalagi, bila ditambahkan dengan integrasi LHKPN, rekam jejak pelanggaran kode etik dan displin yang bisa dijadikan bahan pertimbangan oleh panitia seleksi.
Kembali lagi, semua ide anti korupsi akan menjadi solusi ketika ada komitmen kolektif dari hulu ke hilir. Menertibkan jabatan, memang tidak mudah namun hal yang mudah ketika tidak dimulai maka harapan setinggi apa pun tidak akan pernah terwujud. Dengan birokrasi meritokratis, tentu kita akan melihat Indonesia mampu bergerak ke tata kelola pemerintahan yang berpihak pada kepentingan publik, bersih dan profesional.
Semoga terwujud,bukan hanya menjadi ide dalam tulisan!
#aksaraAbdimuda
Daftar Pustaka: