Pentingnya Merasa Cukup Agar Tidak Jadi Birokrat Korup

Gambar sampul Pentingnya Merasa Cukup Agar Tidak Jadi Birokrat Korup

Dulu saya suka melihat sosok pejabat yang sederhana. Menurut saya kesederhanaan adalah simbol melawan korupsi. Orang melakukan korupsi karena ingin kekayaan, jadi bisa dipastikan tidak mau hidup sederhana. Sehingga ketika ada pejabat yang terlihat sederhana dan apa adanya maka saya meyakini bahwa orang itu bersih. Naif sekali pikiranku kala itu.

Namun opini saya terpatahkan oleh suatu kasus yang dialami Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini. Di tahun 2013 saya membaca artikel bahwa Rudi melakukan mudik menggunakan kereta ekonomi. Untuk ukuran pejabat rasanya hal itu mustahil. Mana mungkin pejabat tinggi naik kereta ekonomi apalagi  di masa mudik lebaran yang penuh sesak. Saya langsung menaruh kagum pada Rubi. Tapi nyatanya bersikap sederhana tidak cukup membuat orang lolos dari jerat korupsi.

Di tahun 2014 Rudi Rubiandini terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) hingga dijatuhi hukuman pidana selama tujuh tahun. Rudi menerima uang dari Komisaris Utama Kernel Oil Singapura, Widodo Ratanachaitong, sebesar SGD 200 ribu dan USD 900 ribu. Uang ini diberikan terkait dengan pelaksanaan lelang terbatas minyak mentah dan kondensat yang diikuti perusahaan milik Widodo.

Fakta itu membuatku tercengang. Orang yang ngakunya hidup sederhana masih menerima suap. Sejak itu pandangan saya agar terhindar dari perilaku korupsi mulai bergeser.

Ternyata ada yang lebih penting dari hidup sederhana yaitu merasa cukup. Ketika orang merasa cukup dengan apa yang dimiliki, ia tidak ingin menambah apa yang ia punya. Misalnya sudah cukup dengan sebuah mobil yang terparkir di garasi, sehingga tidak silau meski rekan sejawat punya mobil keluaran terbaru yang lebih mahal. Cukup dengan gaji atau pemasukan yang ada karena sudah bisa menghidupi keluarga dengan layak tanpa harus berupaya terus menerus memperkaya diri lewat cara curang.

Lalu apakah tidak boleh beli mobil baru? Boleh asal cukup. Cukup dari kemampuan membayarnya sampai perawatannya. Kalau belum cukup bagaimana? Ya bersabar sampai uangnya sudah terkumpul.

Lantas apa sih yang membuat manusia tidak bisa merasa cukup? Manusia adalah makhluk yang dinamis. Dia selalu ingin berubah menjadi lebih baik, entah itu dari keuangan, karir, kehidupan. Tapi ingat, semua hal tersebut tentu tidak akan ada ujungnya. Karena di atas langit selalu ada langit. Misalnya saat kondisi keuangan sudah memenuhi target, lalu muncul keinginan lagi untuk terus menambah pundi-pundi. Jika tidak bisa dikontrol maka dapat menjadi bumerang dalam kehidupan. Yang kemudian menghalalkan segala cara agar keinginan itu tercapai.

Merasa cukup bukan berarti orang akan stuck dan tidak mau berkembang. Rasa cukup artinya dia mensyukuri dengan apa yang sudah dimiliki, tidak ingin berlebihan. Tidak terganggu dengan pencapaian orang lain. Tidak merasa minder ketika bertemu dengan orang lain di atasnya, baik itu dari materi jabatan dan sebagainya.

Jadi penting bagi seluruh insan manusia termasuk birokrat untuk memiliki rasa cukup dalam dirinya agar tidak terjebak korup. Karena perasaan cukup ini perlu dilatih, tidak bisa muncul begitu saja. Rasa gengsi, haus validasi sana sini, iri, tidak dipungkiri pernah terlintas dalam benak manusia biasa. Siapa sih yang tidak ingin hidupnya enak, dikagumi, dihormati oleh orang lain. Terlebih di era media social semua orang bisa flexing sana sini.  Di media social banyak orang yang menampilkan kemewahan dan kenyamanan hidup, memamerkan barang branded dan liburan yang membuat para netizen membandingkan diri dan tergiur ingin merasakan kehidupan seperti itu. Karena tidak punya rasa cukup dalam diri ditambah pendapatan yang tidak sepadan dengan keinginan, akhirnya mendorong orang untuk mencari jalan pintas korupsi.

Dan ini yang harus dikontrol agar tidak mudah terjerumus dalam pusaran praktik korupsi. Tanamkan dalam diri perasaan cukup dengan apa yang sudah dimiliki. Kenali apa yang benar-benar menjadi kebutuhan dan keinginan. Kita sering susah membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Penuhi kebutuhan terlebih dahulu, baru bisa melengkapi keinginan dengan catatan, tetap sesuai kemampuan. Yang terakhir, hiduplah sesuai penghasilan.

 

Bagikan :